Lihat ke Halaman Asli

Duh, Sinabung!

Diperbarui: 24 Mei 2016   20:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13914333881043494510

Sampai hari ini (3 Februari 2014) jumlah korban jiwa akibat letusan Gunung Sinabung mencapai 15 orang, sementara 2 orang lainnya masih menjalani perawatan intensif akibat luka-luka berat yang dideritanya. Diduga masih ada korban lainnya yang belum ditemukan di Desa Sukameriah yang hanya berjarak mendatar 2,7 km dari puncak. Pencarian masih dilakukan namun belum berjalan dengan efektif karena berkali-kali terganggu oleh luncuran demi luncuran awan panas Sinabung. 

Inilah duka lara terbaru di Gunung Sinabung semenjak gunung berapi ini menunjukkan peningkatan aktivitasnya mulai 15 September 2013 silam. Seluruhnya merupakan korban dari erupsi Sabtu 1 Februari 2014. Saat itu Gunung Sinabung meluncurkan awan panasnya hingga tiga kali, masing-masing pada pukul 07:03 WIB, 10:30 WIB dan 11:27 WIB. Namun luncuran awan panas pukul 10:30 WIB adalah yang terjauh, yakni 4,5 km dari puncak ke arah tenggara. 

Tak pelak sebagian Desa Sukameriah yang memang ada di lereng Sinabung sebelah selatan-tenggara pun tergulung awan panas. Lebih mengenaskan lagi, sebagian korban tewas adalah relawan yang sedang berjibaku mengingatkan orang-orang yang nekat memasuki kawasan terlarang Gunung Sinabung, yakni radius 5 km dari puncak, dengan alasannya masing-masing. 

[caption id="attachment_320177" align="alignnone" width="614" caption="Gambar 1. Peta sebaran endapan awan panas guguran produk letusan Gunung Sinabung hingga 30 Januari 2014 (area merah) berdasarkan data dari BNPB dalam peta topografi dari Google Maps. Ujung endapan telah menyentuh jarak mendatar 4,5 km dari puncak. Nampak posisi desa Sukameriah tepat di batas terluar endapan awan panas guguran, sehingga berpotensi terkena tebaran debu vulkanik panas. Disinilah korban-korban peristiwa 1 Februari 2014 ditemukan. Lingkaran 3, 5 dan 10 masing-masing menunjukkan radius mendatar sebesar 3 km, radius 5 km dan radius 10 km dari kubah lava Gunung Sinabung. Panduan arah, atas = utara, kanan = timur. Sumber: Sudibyo, 2014. "][/caption] Tragedi ini terjadi di tengah kecenderungan menurunnya aktivitas erupsi Sinabung. Maka masih berstatus Awas (Level 4), BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) atas rekomendasi PVMBG (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi) mulai mewacanakan pemulangan kembali sebagian pengungsi khususnya yang tempat tinggalnya berjarak lebih dari 5 km terhadap puncak Sinabung. Jika wacana ini dilaksanakan, maka 13.828 jiwa atau hampir separuh jumlah pengungsi akan kembali ke kediaman masing-masing dalam waktu yang tak terlalu lama. 

Namun wacana ini hanya bisa dilakukan tatkala infrastruktur desa tersebut sudah beres, misalnya jalan raya sudah bersih dan aliran listrik sudah tersambung kembali. Wacana ini juga hanya bisa dilaksanakan jika aktivitas Gunung Sinabung memang benar-benar menurun berdasarkan pengamatan terus-menerus. Di sisi lain, wacana ini masih tetap melarang aktivitas apa pun, apalagi kepulangan pengungsi, dalam radius 5 km dari puncak. Siapa sangka kalau di tengah berkembangnya wacana ini, Gunung Sinabung mendadak menunjukkan peningkatan aktivitas yang berpuncak pada peristiwa memilukan 1 Februari 2014 lalu? 

Tipe Merapi Meski sudah menunjukkan peningkatan aktivitas semenjak 15 September 2013, namun Gunung Sinabung sesungguhnya baru benar-benar mengalami erupsi magmatik mulai 5 November 2013 ditandai dengan munculnya awan panas. Sebelumnya letusan Sinabung lebih merupakan erupsi freatik atau freatomagmatik, yakni letusan yang sepenuhnya dikendalikan oleh uap air superpanas bercampur debu dan bongkahan bebatuan beku yang menyumbat saluran magma (diatrema) di bawah kepundan. Jika uap airnya berasal dari air bawah tanah yang terpanaskan tanpa bersentuhan langsung dengan magma segar, namun terpanaskan oleh gas-gas vulkanik panas yang dilepaskan magma segar, maka erupsinya disebut erupsi freatik. Sedangkan bila uap airnya berasal dari air bawah tanah yang bersentuhan langsung dengan magma segar maka erupsinya adalah erupsi freatomagmatik. 

Pada erupsi magmatik, yang dikeluarkan adalah benar-benar magma yang masih segar (bersuhu tinggi) yang berasal dari kantung magma sebuah gunung berapi. Tak seperti yang dikhawatirkan sejumlah kalangan mengenai kemungkinan terjadinya letusan besar mengingat gunung berapi ini telah lama sekali tidak meletus, magma segar Gunung Sinabung ternyata tidak bertekanan tinggi kala mulai muncul di lantai kawah. 

Erupsi magmatik Gunung Sinabung lebih condong kepada erupsi tipe Merapi. Dalam tipe erupsi ini, karena tekanan gasnya sangat kecil maka magma segar yang keluar di kepundan akan menumpuk sebagai lava dan terus menumpuk hingga menjadi timbunan menyerupai bukit yang disebut kubah lava. Meski terlihat padat dan kokoh, sebuah kubah lava yang baru terbentuk sejatinya cukup rapuh karena bagian dalamnya masih berupa lava yang bersifat cair kental membara. Karena itu, ia amat rawan untuk runtuh/gugur. Sebagian kubah lava yang runtuh/gugur ini menjadi awan panas yang disebut awan panas guguran (dome-collapse pyroclastic flow), yang lantas mengalir menuruni lereng menyusuri alur lembah-lembah sungai dengan dikendalikan gaya gravitasi. Selain menjadi awan panas, material kubah lava yang longsor juga mengalir sebagai lava pijar yang membara. Dengan demikian perilaku erupsi Gunung Sinabung saat ini mirip dengan apa yang terjadi pada Gunung Merapi sepanjang abad ke-20 dan 21, kecuali letusan besar 1930 dan 2010.

[caption id="attachment_320180" align="alignnone" width="607" caption="Gambar 2. Gunung Sinabung kala menghembuskan kolom letusan secara vertikal dan meluncurkan awan panas gugurannya pada 15 Januari 2014 lalu. Awan panas guguran nampak masih menyusuri jalur yang dilintasi awan-awan panas guguran sebelumnya. Diabadikan oleh Endro Lewa. Sumber: Lewa, 2014. "]

13914336341995507671

[/caption] Meski menyandang nama awan, awan panas guguran tidaklah berisi uap air. Sebaliknya ia merupakan campuran debu vulkanik dan bongkahan-bongkahan beragam ukuran dari lava yang mulai membeku. Saat mengalir menuruni lereng gunung, ia nampak bergumpal-gumpal mirip gumpalan awan biasa, sehingga membuatnya menyandang nama "awan". Bagi penduduk di sekitar Gunung Merapi, awan panas guguran memiliki sebutan yang lebih intim, yakni wedhus gembel, karena gumpalan-gumpalan tersebut jika dilihat dari jauh menyerupai rombongan domba yang sedang berarak menuruni lereng gunung. 

Awan panas guguran melejit dengan suhu awal yang sangat tinggi, yakni bisa mencapai 700 derajat Celcius. Dalam perjalanannya menuruni lereng gunung hingga akhirnya berhenti, suhunya akan menurun menjadi sekitar 300 hingga 400 derajat Celcius. Gerak awan panas guguran dalam menuruni lereng gunung berapi merupakan gerak longsor sehingga kecepatan awal awan panas bisa mencapai 100 km/jam. Kombinasi tingginya suhu dan juga besarnya kecepatan hempasan inilah yang membuat awan panas guguran amat mematikan bagi manusia. Bahkan meskipun kita tidak berada di dekat lembah sungai yang menjadi jalur lintasannya, awan panas guguran tetap amat mematikan mengingat debu vulkanik yang mengepul darinya pun masih memiliki suhu cukup tinggi yang sanggup menyebabkan luka bakar parah bagi manusia. 

Kubah lava terbaru di Gunung Sinabung mulai terbentuk semenjak 16 Desember 2013 ditandai dengan mulai terjadinya gempa hibrid dan mulai menurunnya nilai RSAM (realtime seismic amplitude measurement). Semenjak itu kubah lava Sinabung tumbuh dengan pesat seiring besarnya muntahan magma yang pada awalnya sebanyak 3,5 meter kubik per detik. Sehingga dalam 10 hari kemudian volume kubah lava Sinabung telah melebihi 1 juta meter kubik dan membentuk bukit selebar 210 meter dengan ketinggian 56 meter. Kubah lava yang terus tumbuh dan membesar inilah yang menjadi sumber bagi awan-awan panas guguran semenjak awal 2014. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline