Lihat ke Halaman Asli

Menjejak Dua Dunia di Khatulistiwa

Diperbarui: 25 Juni 2015   00:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13482378581241191206

Jagat raya itu luas tak terkira, namun selalu ada garis pangkal untuk menentukan posisi segenap isinya. Bagi Bumi, salah satu garis pangkal itu adalah garis khatulistiwa alias ekuator. Garis khatulistiwa adalah garis tak kasat mata yang membagi Bumi menjadi dua belahan sama besar, masing-masing belahan utara dan selatan. Garis sekaligus garis lintang (garis berarah barat-timur) yang terpanjang di antara garis-garis lintang lainnya, karena panjang bentangannya mencapai 40.074 km. Inilah garis pangkal guna menentukan koordinat lintang (latitude) untuk lokasi manapun di permukaan Bumi tanpa terkecuali. [caption id="attachment_213690" align="alignnone" width="567" caption="Gambar 1. Distribusi satelit buatan yang masih aktif maupun bekas di orbit. Konsentrasi satelit yang membentuk busur setengah melingkar A dan B menandakan lokasi orbit geostasioner. Sumber : NASA, 2012. "][/caption] Garis khatulistiwa juga penanda utama yang amat menentukan wajah iklim di Bumi. Wilayah yang bertumpu garis khatulistiwa dengan batas Garis Balik Utara (GBU) di sisi utara dan Garis Balik Selatan (GBS) di sisi selatannya dikenal sebagai wilayah beriklim tropis dengan ciri khasnya berupa suhu udara yang panas dan hanya memiliki dua musim, yakni musim hujan dan kemarau. Tidak hanya di darat, garis khatulistiwa dan iklim tropis yang ditimbulkannya amat mempengaruhi dinamika laut. Misalnya dalam pola pergerakan arus laut. Di ketiga samudera yang membentang melewati garis khatulistiwa, masing-masing Samudera Hindia, Pasifik dan Atlantik, senantiasa ditemukan arus khatulistiwa yang mengarah ke barat dan terbagi dua : arus khatulistiwa utara (di sisi utara ekuator) dan arus khatulistiwa selatan (di sisi selatan ekuator). Sebagai akibat pergerakan ini, maka muncullah arus balik yang disebut arus sungsang khatulistiwa. Perilaku arus khatulistiwa dan arus sungsangnya di setiap samudera amat mempengaruhi dinamika arus laut di sekujur penjuru Bumi. Misalnya terhadap Arus Teluk, yang suhu hangatnya membuat perairan Eropa barat dan Inggris Raya tak pernah mengalami situasi laut beku meski di bulan-bulan musim dingin. [caption id="attachment_213691" align="alignnone" width="509" caption="Gambar 2. Arus laut di Samudera Pasifik, samudera terbesar di Bumi. Nampak keberadaan arus khatulistiwa utara dan selatan beserta arus sungsangnya. Sumber : Sudibyo, 2012. "]

13482379201283137206

[/caption] Garis khatulistiwa juga amat berperan di langit. Dalam konteks egosentrik, persis di atas garis khatulistiwa juga membentang garis ekuator langit, yang adalah juga garis pangkal penentuan koordinat deklinasi untuk benda langit apapun. Selain itu pada ketinggian 35.786 km di atas garis khatulistiwa, tiap satelit buatan manusia yang menempatinya dalam sebentuk orbit sirkular bakal mengelilingi Bumi dengan periode 23 jam 56 menit 4 detik atau tepat sama dengan periode rotasi Bumi. Satelit itu senantiasa berada di atas suatu titik yang tetap, sehingga antenna pemancar/penerima yang diarahkan padanya cukup dipasang pada sudut tertentu tanpa diubah-ubah. Makanya orbit ini dinamakan orbit geostasioner. Seiring era telekomunikasi dan informatika yang begitu massif, orbit geostasioner menjadi sumberdaya alam terbatas yang demikian berharga karena dikehendaki banyak pihak. Pontianak Indonesia menjadi negara dengan perlintasan garis khatulistiwa terpanjang. Tanpa memperhitungkan lingkungan zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen, garis khatulistiwa mulai menyentuh Indonesia dari garis bujur 98,20996 BT hingga 130,10490 BT yakni mulai dari pulau Lorang, Kab. Nias Selatan (Sumatera Utara) di titik barat hingga pulau Kawe, Kab. Raja Ampat (Papua barat) di titik timur melintasi pulau-pulau Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Halmahera. Dengan demikian panjang garis khatulistiwa yang melintas Indonesia mencapai 32 derajat bujur atau setara 1/11 panjang keseluruhan garis khatulistiwa. Strategisnya posisi Indonesia salah satunya ditopang oleh eksistensi garis khatulistiwa, sehingga tak mengherankan jika unsur garis ini sampai masuk ke lambang negara Garuda Pancasila, yakni sebagai garis tebal yang membentang mendatar di tengah-tengah perisai. [caption id="attachment_213692" align="alignnone" width="228" caption="Gambar 3. Lambang Negara Republik Indonesia. Garis mendatar tebal di tengah-tengah perisai (yang tertutupi lambang bintang) merupakan simbol garis khatulistiwa. Sumber : Setneg RI, 2012. "]

1348238396697186779

[/caption] Dengan perlintasan demikian panjang, ada banyak titik dimana lokasi garis khatulistiwa ditandai dengan penanda. Di Pulau Sumatra, terdapat Gerbang Khatulistiwa dan Taman Equator di Bonjol serta Bola Khatulistiwa di Koto Alam Kab. Limapuluh Kota (keduanya di Sumatra Barat). Juga berdiri Tugu Equator di kab. Pelalawan (Riau). Sementara di Pulau Kalimantan terdapat Tugu Khatulistiwa Pontianak (Kalimantan Barat) dan Tugu Khatulistiwa Santan Ulu, Bontang (Kalimantan Timur). Dan di Pulau Sulawesi terdapat Tugu Khatulistiwa Parigi Moutong (Sulawesi Tengah). Namun di antara penanda-penanda tersebut, Tugu Khatulistiwa Pontianak adalah yang terpopuler. Demikian populernya sehingga kota Pontianak sendiri pun akhirnya identik dengan kota (garis) khatulistiwa. Tugu Khatulistiwa Pontianak berdiri di Siantan sejauh 5 km dari pusat kota Pontianak. Butuh waktu 30 menit guna mencapainya dengan taksi dari pusat kota, sementara dari bandara Supadio dibutuhkan waktu hingga 1,5 jam. Segera setelah melintasi Jembatan Kapuas yang membentang panjang di atas sungai terbesar di Indonesia beserta anak sungainya yang tak kalah lebarnya, Sungai Landak, maka mulailah kita menyusuri jalan raya Pontianak-Singkawang di sepanjang bantaran sungai, sembari menikmati lalu-lalang kapal-kapal beraneka ukuran yang menghilir mudik ditingkahi aroma pusat-pusat pengolahan ikan yang menusuk hidung. Setelah melewati pangkalan Pertamina, sampailah kita di lokasi Tugu Khatulistiwa. [caption id="attachment_213693" align="alignnone" width="452" caption="Gambar 4. Berbagai monumen penanda garis khatulistiwa di Indonesia. Dari atas searah dengan jarum jam adalah Gerbang Khatulistiwa Bonjol (Sumbar), Bola Ekuator Koto Alam (Sumbar), Tugu Khatulistiwa Parigi Moutong (Sulteng), Tugu Khatulistiwa Santan Ulu Bontang (Kaltim) dan Tugu Equator Pelalawan (Riau). Sumber : Wikipedia, sihitampekat.blogspot.com, riaudailyphoto.com, bumi-nusantara.blogspot.com, kotoalam.wordpress.com, 2012. "]

1348238488327054366

[/caption] Sejarah Tugu Khatulistiwa Pontianak bisa dirunut sejak tahun 1928 tatkala berlangsung ekspedisi internasional penentuan lokasi garis khatulistiwa yang diselenggarakan oleh Topographeschen Dienst in Nederlands Indie (Dinas Topografi Hindia Belanda) pada Maret 1928. Menggunakan instrumen teodolit yang tergolong cukup maju untuk ukuran zamannya, titik perlintasan garis istimewa itu berhasil dideduksi di sekitar kota Pontianak. Selanjutnya sebidang sebidang tanah di tepi Sungai Kapuas dipilih sebagai lokasi didirikannya penanda sederhana yang berbentuk panah. Dalam dua tahun kemudian, suatu elemen lingkaran ditambahkan. Namun pada tahun 1938 semuanya dibongkar dan dibangunlah sebuah monumen unik hasil rancangan Frederich Silaban, arsitek legendaris yang dikenal dengan karya monumentalnya seperti Monumen Nasional (Monas) dan Masjid Istiqlal. Tugu khatulistiwa ala Silaban berbentuk berbentuk tiga lingkaran metal saling berpotongan yang melambangkan bola dunia dengan anak panah dan lempeng logam terpasang mendatar di tengah-tengah. Pada salah satu lingkaran metal tercetak EVENAAR (bahasa Belanda untuk khatulistiwa) sementara di lempengnya tertulis 1092000 OLVGR (posisi garis bujur timur tempat tugu khatulistiwa berdiri). Semuanya ditopang empat batang kayu belian setebal 30 cm dengan bagian depan setinggi 3,05 m dari tanah sementara bagian belakang setinggi 4,4 m. Sejak itulah Tugu Khatulistiwa menjadi ikon Pontianak. [caption id="attachment_213694" align="alignnone" width="525" caption="Gambar 5. Tugu Khatulistiwa Pontianak dalam bentuk duplikat beralaskan kubah raksasa, diabadikan dari arah barat daya. Sumber : Sudibyo (dokumentasi pribadi), 2012. "]

1348238625192943148

[/caption] Lintasan Khatulistiwa yang Sesungguhnya Berpuluh tahun kemudian berlangsung renovasi besar-besaran sekaligus penataan ulang lingkungan sekitar Tugu Khatulistiwa. Sebuah kubah beton raksasa yang khas pun didirikan pada tahun 1990-1991 guna melindungi Tugu Khatulistiwa. Di puncak kubah ini didirikan duplikat tugu dengan ukuran 5 kali lipat lebih besar. Pada atap kubah juga dibikin celah transparan memanjang yang berarah barat-timur, sejajar dengan garis khayali barat-timur. Lewat celah inilah sinar Matahari mampu menembus ke bagian dalam kubah dan akan mencapai saat terpentingnya pada saat fenomena kulminasi atas Matahari terjadi. Peristiwa itu terjadi setiap tanggal 21-23 Maret (pukul 12:50 WIB) dan tanggal 23-25 September (pukul 12:36 WIB) bagi kota Pontianak, kecuali pada tahun kabisat yang maju sehari lebih awal. Dalam fenomena tersebut Matahari berkedudukan tepat di titik zenith kota Pontianak (ketinggian 90 derajat dari segala penjuru), sehingga pada hakikatnya Matahari tepat berada di atas Tugu Khatulistiwa. Sinar Matahari pada saat itu akan masuk ke dalam kubah dan berimpit dengan proyeksi garis barat-timur yang diterakan di lantai kubah. Jika kita berdiri di garis ini pada saat fenomena tersebut, terjadilah situasi ‘menghilangnya bayang-bayang’. Meski bukanlah fenomena khas garis khatuslitiwa, karena peristiwa sejenis juga terjadi di lokasi manapun sepanjang berada di antara Garis Balik Utara dan Garis Balik Selatan, namun inilah magnet utama yang menyedot kunjungan turis hingga menyentuh angka 3.000 wisatawan mancanegara dan 30.000 wisatawan domestik per tahun. [caption id="attachment_213695" align="alignnone" width="423" caption="Gambar 6. Tugu Khatulistiwa Pontianak yang sesungguhnya, berada di dalam kubah pelindung. Perhatikan lintasan garis kehijauan (yang sering dianggap sebagai garis khatulistiwa) di lantai dengan proyeksi sinar Matahari berbentuk garis nampak di sisi selatan. Diabadikan dari arah timur. Sumber : Sudibyo (dokumentasi pribadi), 2012. "]

13482387371711969456

[/caption] Penelitian ulang menunjukkan lintasan garis khatulistiwa sebenarnya tidak tepat melalui Tugu Khatulistiwa Pontianak. Penyelidikan BPPT menggunakan teknologi navigasi GPS (Global Positioning System) pada tahun 2005 dan diulang kembali oleh tim kecil dalam Musyawarah Kerja Nasional Hisab & Rukyat tahun 2012 menunjukkan garis istimewa tersebut sebenarnya melintas 105 m di sebelah selatan tugu. Mengapa bisa berbeda? Kunci perbedaan terletak pada masalah akurasi. Pada 1928, akurasi pengukuran berbasis teodolit hingga 100 m masih dipandang cukup baik mengingat target bidikan teodolit adalah benda-benda langit, terutama Matahari. Sementara Matahari sendiri bukanlah benda langit berbentuk titik layaknya bintang-bintang lainnya, melainkan cakram bercahaya dengan diameter 0,5 derajat. Sementara teknologi GPS, yang mulai dikembangkan sejak era 1980-an, mampu menyajikan ketelitian sangat tinggi hingga orde beberapa meter (untuk instrumen umum) maupun hingga beberapa milimeter (untuk instrumen khusus). Menjejak Dua Dunia Kini pada salah satu titik perlintasan tersebut telah berdiri penanda khusus berupa sebidang bujursangkar yang ditumpangi garis lurus memanjang tepat pada salah satu diagonalnya. Penanda ini terletak di ujung jalan setapak yang berpangkal dari halaman Tugu Khatulistiwa Pontianak menuju ke tepian Sungai Kapuas. Patut disayangkan bahwa tidak ada papan informasi ataupun petunjuk barang secuil pun tentang keberadaan penanda lintasan garis khatulistiwa yang sesungguhnya ini. Kecuali telah berbekal informasi, pengunjung bakal terkecoh dan menganggap Tugu Khatulistiwa yang telah bernaung kubah sebagai lokasi lintasan garis khatulistiwa. Apalagi di lantai kubah terdapat proyeksi garis barat-timur dengan warna berbeda dibanding sekitarnya, yang mengesankan sebagai lokasi garis khatulistiwa. Kekurangan seperti ini patutlah diperbaiki, apalagi pengelola Tugu Khatulistiwa Pontianak relatif bersikap terbuka terhadap koreksi garis khatulistiwa. Berbeda pengelola monumen legendaris sejenis, seperti Royal Observatory of Greenwich di London (Inggris), yang terkesan cuek dengan koreksi lintasan garis bujur utama (bujur nol) yang memunculkan garis bujur IRM (IERS Reference Meridian) dan kini menjadi dasar implementasi navigasi GPS. Garis bujur IRM terletak 102 m di sebelah timur garis Greenwich. Bahkan, entah disengaja atau tidak, lokasi dimana garis IRM melintas kini dipasangi sebuah bak sampah. Bagi sebagian orang, ini melambangkan rasa jijik khas Inggris atas dilucutinya status garis Greenwich sebagai garis bujur nol. [caption id="attachment_213696" align="alignnone" width="530" caption="Gambar 7. Menjejak dua dunia di lokasi lintasan garis khatulistiwa yang sesungguhnya (garis A-B-C), dengan kubah Tugu Khatulistiwa Pontianak di latar belakang. Sumber : Sudibyo (dokumentasi pribadi), 2012. "]

1348238993100635485

[/caption] Selain fenomena 'menghilangnya bayang-bayang', yang sejatinya bukan fenomena khas khatulistiwa namun selama ini sering disalahpahami hanya bisa terjadi di area lintasan garis khatulistiwa, sebenarnya terdapat dua fenomena khas di sepanjang lintasan garis khatulistiwa. Yang pertama adalah fenomena 'berdiri di dua dunia'. Tatkala kita berdiri di atas garis khatulistiwa dengan menghadap ke barat atau ke timur, maka satu kaki kita menapak belahan Bumi utara sementara kaki lainnya menapaki belahan Bumi selatan. Sensasi ini cukup mengasyikkan. Memang fenomena sejenis dapat pula dijumpai misalnya di garis bujur nol. Namun situasinya berbeda. Sebab meski sama-sama garis tak kasat mata, garis khatulistiwa adalah garis faktual, alias nyata adanya. Posisi garis khatulistiwa bisa diderivasikan dengan beragam cara, mulai dari penentuan sumbu rotasi Bumi hingga posisi benda langit. Beda halnya dengan garis bujur nol, yang lebih merupakan garis kesepakatan karena tak ada satupun mekanisme khusus untuk menetapkan lokasinya. Sehingga garis bujur nol secara hakiki dapat ditetapkan di manapun. Hanya kesepakatan antar manusia lewat Konferensi Meridian Internasional 1884 yang menyebabkan posisi garis bujur nol adalah seperti saat ini. [caption id="attachment_213698" align="alignnone" width="555" caption="Gambar 8. Peta penyinaran Matahari pada saat equinox 22 September 2012 pukul 22:46 WIB. Daerah yang gelap mengalami situasi malam hari sementara yang terang adalah siang. Nampak titik-titik yang terletak pada garis bujur sama mengalami terbit/terbenamnya Matahari pada saat yang sama pula. Sumber : Sudibyo, 2012, berdasarkan Sky View Cafe."]

13482391771291052208

[/caption] Fenomena khas yang kedua adalah 'equinox', yang bermakna panjang siang dan malam setara. Saat pusat cakram Matahari berkedudukan di atas garis khatulistiwa (deklinasi nol), maka panjang siang hari dan malam hari di sekujur penjuru Bumi (kecuali di kutub) pada saat itu adalah sama, yakni masing-masing 12 jam. Konsekuensinya daerah-daerah yang menempati garis bujur yang sama akan mengalami peristiwa terbit dan terbenamnya Matahari pada jam yang sama. Referensi : Sudibyo. 2012. Ensiklopedia Fenomena Alam dalam Al-Qur'an, Menguak Rahasia Ayat-Ayat Kauniyah. Surakarta : Tinta Medina.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline