Neil Alden Armstrong telah berpulang pada Sabtu 25 Agustus 2012 setelah bergulat dengan komplikasi pasca operasi jantung koroner. Sampai saat ini belum jelas benar apakah jenazahnya telah dimakamkan. Keluarga memang telah menggelar seremoni pelepasan pribadi yang tertutup bagi umum pada Jumat 31 Agustus 2012 di Camargo Club, Cincinnati, Ohio (AS). Di antara undangan nampak hadir sejumlah astronot segenerasi Armstrong seperti Edwin Aldrin dan Michael Collins (rekan seperjalanan dalam misi Apollo 11) serta para astronot Apollo lainnya seperti Bill Anders, Dick Gordon, Jim Lovell dan Gene Cernan. Hadir pula John Glenn, orang AS pertama yang mengorbit Bumi sekaligus salah satu astronot Mercury Seven (generasi astronot pendahulu program Apollo) yang masih tersisa. Di udara, empat jet tempur F/A-18 dari Skuadron 106 dan 34 yang berpangkalan di Pangkalan Angkatan Laut Oceana, Virginia (AS) terbang melintas dengan suara bergemuruh dalam formasi Missing Man, formasi istimewa sebagai penghormatan atas kepergian Armstrong. Namun dalam acara yang diselenggarakan berdekatan dengan saat-saat Bulan mencapai status purnamanya sekaligus Blue Moon (purnama kedua dalam satu bulan kalender Masehi yang sama) itu, tidak terlihat peti jenazah Armstrong. [caption id="attachment_211403" align="alignleft" width="260" caption="Gambar 1. Empat jet tempur F/A-18 dalam formasi Missing Man guna mengenang Armstrong. Sumber : Space.com, 2012. "][/caption] NASA sendiri hendak menyelenggarakan peringatan nasional mengenang Armstrong pada Selasa 12 September 2012 mendatang di Gereja Katedral Nasional Washington, meski detail acaranya belum dipublikasikan. Presiden Obama telah memerintahkan kantor-kantor pemerintah AS di segenap penjuru untuk mengerek bendera setengah tiang pada saat tersebut. Namun dalam seremonial itu juga dapat dipastikan takkan ada peti jenazah. Musababnya, keluarga bakal memakamkan jenazah manusia pertama yang mendarat dan melangkahlah kaki di Bulan ini di laut. Namun kapan pemakaman dilaksanakan, dimana lokasinya dan bagaimana detailnya, seperti apakah jasad Armstrong dikremasi dahulu baru kemudian abunya ditaburkan ke laut, tidak dipublikasikan. Konspirasi? Pemakaman di laut? Ya. Mungkin ini permintaan Armstrong sendiri semasa hidupnya, mengingat ia adalah sosok yang pernah bergabung bersama Angkatan Laut AS dengan menempati posisi pilot jet tempur yang membuatnya terlibat dalam 80 kali pertempuran udara selama Perang Korea. Pemakaman di laut yang bakal berlangsung secara tertutup sekaligus merefleksikan sikap hidupnya selama ini yang rendah hati dan low-profile meski namanya demikian populer di kolong langit. Keputusan pemakaman di laut sekaligus mengakhiri diskursus yang sempat mengapung sesaat setelah Armstrong wafat, kala sejumlah kalangan sempat mendesak Gedung Putih agar jasad sang astronot dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Nasional Arlington dengan didahului upacara penghormatan berskala nasional. [caption id="attachment_211404" align="alignleft" width="427" caption="Gambar 2. Edwin Aldrin (kanan) dan Michael Collins (kiri), 2 rekan seperjalanan Armstrong pada misi Apollo 11, di tengah-tengah seremoni mengenang Armstrong di Cincinnati, Ohio (AS). Sumber : Space.com, 2012. "]
[/caption] Yang jelas pemakaman Armstrong tidak membuat satu episode konspirasi pendaratan di Bulan yang selama ini berseliweran turut terkubur. Konspirasi ini, yang menganggap pendaratan manusia di Bulan sebagai tipu-tipu ala AS guna memuncaki perlombaan antariksa melawan Uni Soviet di tengah kancah Perang Dingin, mulai menyeruak pada 1974 seiring terbitnya buku We Never Went to the Moon, America's Thirty Billion Dollar Swindle karya Bill Kaysing. Kaysing adalah pustakawan di Rocketdyne, perusahaan yang menjadi salah satu kontraktor badan antariksa AS (NASA) guna menyiapkan mesin-mesin roket Saturnus 5, namun telah mengundurkan diri sejak 1963 atau tiga tahun sebelum roket Saturnus 5 yang pertama lepas landas. Roket Saturnus 5 adalah roket dengan bobot bervariasi antara 2.900 ton hingga 3.040 ton yang memiliki daya dorong amat luar biasa sehingga mampu menempatkan 119 ton muatan ke orbit LEO (Low Earth Orbit, orbit dengan ketinggian < 1.000 km) maupun 45 ton muatan ke orbit Bulan. Sebagai sosok yang tidak pernah berada dalam lingkaran grup ilmuwan-insinyur dalam program Apollo, Kaysing secara berani menyatakan peluang keberhasilan pendaratan manusia di Bulan hanyalah 1 berbanding 6.000 alias 0,017 %. Meski angka ini tidak ketahuan berasal darimana, Kaysing sukses memantik keraguan publik terhadap pendaratan di Bulan. Sehingga sampai 2001 silam tercatat beragam survei di publik AS menempatkan proporsi responden yang tak percaya manusia pernah mendarat di Bulan dalam rentang angka bervariasi, yakni mulai 6 hingga 20 %. Angka ini membengkak jadi 28 % pada survei sejenis di Rusia. Keraguan soal pendaratan manusia di Bulan umumnya berkutat pada faktor fotografis, lingkungan dan mekanis. Dari sisi fotografis, kebohongan dilekatkan pada foto bendera yang nampak "berkibar", juga pada tidak munculnya bintang-bintang di langit Bulan padahal disana tidak ada lapisan udara. Selain itu juga ditekankan pada tidak pernah terdeteksinya sisa perangkat keras yang ditinggalkan para astronot di Bulan. Dari sisi lingkungan, kebohongan dinisbatkan pada eksistensi sabuk radiasi van-Allen di Bumi, yang dianggap sebagai area mematikan bagi makhluk hidup seiring beragam radiasi yang bisa dijumpai di sini. Sedangkan dari sisi mekanis, salah satu keraguan itu dilekatkan pada tiadanya jejak "kawah buatan" (produk semburan gasbuang roket pendarat) di titik pendaratan, juga pada semburan gasbuang di Bulan yang transparan. Atas dasar faktor-faktor tersebut, dapatkah dipastikan bahwa kita manusia memang tidak pernah mendarat di Bulan? Data Non Fotografis Sebuah misi antariksa entah ditujukan kemana pun, bukanlah sebuah aktivitas berbau narsis layaknya aksi keseharian kita dalam era pasca-modern yang dengan cepat tersebar ke ranah publik melalui unggahan (upload) foto-foto hasil jepretan kita ke media sosial lewat jaringan internet. Misi tersebut, entah berawak maupun tidak, selalu membawa sejumlah instrumen. Kamera adalah satu instrumen yang nyaris wajib untuk dibawa, meski tidak semua misi antariksa mengharuskannya. Namun selain kamera, masih banyak lagi instrumen ilmiah yang diangkut sebuah wahana antariksa yang mengemban suatu misi antariksa. Tiap instrumen menghasilkan data non-fotografis yang berbeda-beda. Setiap data yang telah diolah memang menyajikan impresi yang jauh berbeda dibandingkan selembar foto, karena data-data tersebut umumnya menghasilkan beragam peta dengan resolusi jauh lebih rendah. Namun setiap peta ini dapat menyajikan informasi penting yang seringkali tak tertangkap oleh kamera maupun pandangan mata manusia. Dengan demikian baik foto maupun data non fotografis mempunyai kedudukan yang serupa dan saling melengkapi. Sehingga membaca semuanya membuat kita dapat memahami target suatu misi antariksa secara komprehensif. Kedudukan foto dan data-data non fotografis dalam misi antariksa dapat disandingkan dengan selembar foto dan data-data spesifik manusia dalam ranah hukum dan medis. Bagi kita yang awam, selembar foto adalah alat untuk mengenali satu sosok tak dikenal karena bisa langsung dicocokkan. Namun di tangan mereka yang ahli, data-data non fotografis seperti data gigi, sidik jari, sidik iris (mata), data rekam medis maupun data genetis (DNA) dapat menyajikan identifikasi jauh lebih akurat dan lebih meyakinkan ketimbang pencocokan bukti-bukti fisik berdasar selembar foto seperti yang kita lakukan. Misi antariksa berawak ke Bulan pun tak berbeda. Tak hanya kamera berbagai rupa, namun beragam instrumen penyaji data non-fotografis pun dibawa dalam misi pendaratan Bulan yang berlangsung enam kali berturut-turut dengan selang waktu rata-rata antar misi berurutan setengah tahun. Apollo 11 mengawali misi pada Juli 1969. Berturut-turut kemudian berlangsung misi Apollo 12, Apollo 14, Apollo 15 dan Apollo 16. Misi terakhir adalah Apollo 17 pada Desember 1972. Masing-masing misi mendaratkan 2 astronot, sehingga secara keseluruhan ada 12 orang yang pernah mendarat dan berjalan-jalan di Bulan. Selepas Apollo 12, sebenarnya terdapat misi Apollo 13 (April 1970) namun batal mendarat karena gangguan teknis parah yang memaksanya harus secepatnya kembali ke Bumi. Instrumen ilmiah dalam misi pendaratan di Bulan secara umum diklasifikasikan ke dalam kelompok instrumen penganalisis tanah, interior (bagian dalam), atmosfer dan antariksa dekat Bulan. Data-data yang diproduksinya dianalisis dengan pendekatan geofisika dan meteorologi. Dari kelompok-kelompok instrumen tersebut, banyak yang peletakan dan pengoperasiannya harus dilakukan/diawali dengan campur tangan manusia. Berikut beberapa diantaranya. Data : Interior Bulan Interior Bulan diselidiki bermacam instrumen, salah satunya seismometer alias pencatat gelombang kegempaan (seismik) Bulan, yang didaratkan dalam misi Apollo 11 hingga 16 dan secara mengagumkan mentransmisikan data ke Bumi secara terus-menerus hingga September 1977 (kecuali seismometer Apollo 11 yang hanya bertahan 3 minggu). Lamanya pencatatan ditunjang oleh ketersediaan sumber listrik stabil berumur panjang, yakni generator radioaktif termolistrik. Bulan ternyata juga memiliki gempa, yang disebut gempa bulan, namun karakteristiknya jauh berbeda dibanding gempa bumi. Hampir semua gempa bulan adalah gempa dalam, bersumber dari kedalaman 800-1.000 km. Analisis gelombang seismik memperlihatkan kawasan sumber gempa terletak di dekat zona perbatasan lapisan selubung (mantle) dan inti Bulan. Analisis yang sama juga menunjukkan kerak Bulan cukup tebal, yakni 60-70 km (3 kali ketebalan kerak bumi). Perbandingan kekerapan gempa terhadap waktu memperlihatkan gempa-gempa bulan ini dipengaruhi gaya pasang-surut gravitasi (gaya tidal) Bumi. Di sisi lain jumlah gempa bulan yang tergolong gempa dangkal amat sedikit, menandakan stabilnya lapisan kerak dan selubung Bulan serta tiadanya aktivitas vulkanisme Bulan terkini. Stabilnya interior Bulan menyebabkan jumlah energi kegempaan tahunan Bulan hanya 1/10 juta energi seismik tahunan Bumi. [caption id="attachment_211405" align="alignleft" width="380" caption="Gambar 3. Seismometer dan magnetometer sedang dipasang di permukaan Bulan dalam misi Apollo 11. Sumber : NASA, 1969. "]
[/caption] Instrumen penyelidik interior lainnya adalah magnetometer, yang dipasang serangkai dengan seismometer. Magnetometer bertugas mengukur medan magnet di Bulan, intrinsik (berasal dari Bulan sendiri) maupun ekstrinsik (berasal dari Bumi dan Matahari). Magnetometer memastikan Bulan ternyata memiliki medan magnet intrinsik, namun sangat lemah dan terlokalisir sehingga tidak menghasilkan kutub-kutub magnet sebagaimana halnya Bumi. Saat Bulan lewat dalam magnetosfer Bumi, garis-garis gaya magnet Bumi menyapu Bulan demikian rupa sehingga bisa dilakukan teknik electromagnetic sounding menggunakan magnetometer guna mengukur suhu interior Bulan. Dengan cara ini diketahui bagian Bulan sedalam 800-1.500 km bersifat cair karena panasnya. Di bawah pengaruh gaya tidal Bumi, kawasan transisi antara bagian yang padat dan yang cair ini meletupkan gempa-gempa bulan. Instrumen penyelidik lainnya adalah cermin pemantul laser (retroreflektor). Ini cermin berbentuk persegi yang dirancang sedemikian rupa sehingga jika tersinari seberkas cahaya (dari arah manapun, asal bukan dari samping atau belakang), maka cahaya itu akan dipantulkan kembali ke arah sumber cahayanya. Cermin retroreflektor sebenarnya ditujukan guna mengukur jarak Bumi-Bulan dengan ketelitian sangat tinggi sekaligus dinamikanya dari waktu ke waktu dengan cara menembakkan seberkas sinar laser dari suatu observatorium di Bumi untuk kemudian sinar pantulnya ditangkap kembali oleh teleskop di observatorium tersebut. Instrumen ini membuat kita mengetahui jarak Bumi-Bulan dengan akurasi hingga 3 cm, sekaligus mengetahui bahwa Bulan terus-menerus menjauhi Bumi dengan pertambahan jarak per tahun sebesar 3,8 cm. Namun dari aspek geofisika, pengolahan data cermin retroreflektor juga memperlihatkan bahwa bagian Bulan pada kedalaman sekitar 1.000 km berbentuk cair, konsisten dengan data yang dihasilkan magnetometer. Ia juga memperlihatkan, inti Bulan memiliki ukuran sekitar 350 km atau hampir sama dengan kesimpulan berdasarkan analisis gelombang gempa bulan. [caption id="attachment_211406" align="alignleft" width="369" caption="Gambar 4. Contoh rekaman seismogram gempa bulan (atas) dan perbandingannya dengan rekaman gempa bumi (bawah). Nampak perbedaan karakteristik gelombang dan durasi, meski kekuatan gempanya nyaris sama. Sumber : NASA, 1970 dan USGS, 2012. "]
[/caption] Instrumen penyelidik lainnya adalah pengukur aliran panas permukaan Bulan. Aliran panas permukaan (heatflow) suatu benda langit penting diketahui guna memastikan benda langit tersebut masih aktif ataupun tidak secara tektonik dan vulkanik. Semakin besar nilai aliran panas permukaannya, semakin aktif benda langit itu. Instrumen ini berupa termometer khusus dalam sejumlah titik di sebuah tabung. Tabung tersebut dimasukkan ke dalam tanah Bulan (hasil pengeboran) hingga sedalam 2,3 m. Seperti halnya pengukuran gempa dan medan magnet bulan, pengukuran panas permukaan Bulan juga berlangsung dalam jangka panjang. Dari instrumen ini diketahu aliran panas permukaan Bulan rata-rata sebesar 21 miliwatt per meter persegi, atau hanya 18-24 % nilai aliran panas permukaan Bumi. Hasil ini menegaskan Bulan secara umum tidak lagi aktif secara tektonik maupun vulkanik, konsisten dengan kesimpulan berdasarkan data gempa bulan. Data : Tanah Bulan Selain interior, permukaan (tanah) Bulan hingga kedalaman tertentu juga diselidiki menggunakan beragam instrumen. Misalnya instrumen penyelidik mekanika tanah Bulan, yang diturunkan dalam misi Apollo 11 hingga 17. Instrumen ini berbentuk bor tanah yang bisa bekerja manual (dengan tenaga manusia) maupun mesin bertenaga batere. Secara manual pengeboran hanya bisa berlangsung hingga sedalam 20 cm saja. Namun dengan menggunakan mesin, pengeboran bisa mencapai kedalaman 3 m. Instrumen ini memperlihatkan permukaan Bulan diliputi debu amat halus (ukuran rata-rata kurang dari 0,1 mm) yang berbeda dengan debu Bumi, salah satunya karena debu Bulan bermuatan listrik statis. Sehingga debu Bulan dapat melekat kuat pada baju astronot dan peralatan lainnya. Debu Bulan juga menyerap panas Matahari, sehingga membuat segala yang ditempelinya menjadi demikian panas. Guna memahami sifat tanah Bulan, diterapkan pula metode seismik aktif yang menyerupai survei dalam mencari reservoir minyak dan gas di Bumi. Metode ini dilaksanakan dalam misi Apollo 14, 16 dan 17 dengan menggunakan geofon dan dinamit khusus. Sejumlah geofon dipasang pada titik-titik tertentu dalam satu jalur, sementara di titik-titik lainnya dipasang dinamit yang dirangkai pemicu khusus. 19 dinamit dipasang dalam misi Apollo 14 dan 16, sementara dalam Apollo 17 dinamit digantikan 8 mortir seberat 57-2.700 gram. Peledakan dilakukan setelah astronot dalam masing-masing misi mengangkasa kembali ke orbit Bulan. Hasilnya, gelombang primer (P-wave) Bulan merambat pada kecepatan 0,1-0,3 km/detik. Ini lebih kecil dibanding rambatan gelombang primer Bumi, namun konsisten bagi media berupa batuan basalt (batuan vulkanik) yang kaya retakan amat intens atau mengalami breksiasi besar-besaran akibat bombardemen meteor. Metode ini juga menyimpulkan ketebalan batuan basalt di permukaan kerak Bulan berkisar 1,4 km. Sifat tanah Bulan juga dicoba lebih dipahami dengan instrumen pengukur sifat listrik permukaan Bulan, yang didaratkan misi Apollo 17. Instrumen ini berupa transmitter (pemancar) yang diletakkan dalam jarak tertentu dan receiver (penerima) yang terpasang di mobil Bulan (Lunar Rover). Pengukuran dilaksanakan pada berbagai titik yang berbeda, dengan memindah-mindahkan baik posisi transmitter maupun mobil Bulan secara konsisten. Hasilnya, hingga sedalam sekitar 2 km, batuan basalt Bulan dan batuan lain dibawahnya bersifat amat kering. Ini konsisten dengan hasil analisis 382 kg batu-batu Bulan yang dibawa pulang ke Bumi, dimana semuanya tidak mengandung air baik sebagai tetes-tetes cairan maupun senyawa hidrat. Data : Atmosfer Bulan Misi Apollo 12, 14 dan 15 mendaratkan instrumen tabung katoda dingin guna menyelidiki eksistensi atmosfer Bulan. Seperti seismometer, magnetometer dan termometer pengukur aliran panas permukaan Bulan, tabung katoda dingin juga bekerja dalam jangka panjang dan berhasil mengirim data secara kontinu hingga 1975. Hasilnya cukup mengejutkan, karena Bulan sebenarnya juga memiliki atmosfer. Namun udara Bulan amat sangat tipis dan bergantung pada siang atau malam hari. Pada malam hari, tiap sentimeter kubik permukaan Bulan mengandung 200.000 molekul udara. Angka ini hanya 1/100 trilyun kepadatan molekul udara di permukaan Bumi. Pada siang hari udara Bulan tak terdeteksi, kalah oleh gempuran partikel-partikel yang dipancarkan Matahari (angin Matahari). [caption id="attachment_211409" align="alignnone" width="414" caption="Gambar 5. Memasang pengukur aliran panas permukaan Bulan dalam misi Apollo 15. Sumber : NASA, 1971. "]
[/caption] Angin Matahari juga menjadi subyek penyelidikan atmosfer Bulan. Misi Apollo 11 hingga 16 mendaratkan lembaran Alumunium yang kemudian ditegakkan menghadap ke Matahari. Pada setiap akhir misi, lembaran Alumunium ini dibawa kembali ke Bumi untuk dianalisis. Dari sini diketahui bahwa 95 % materi angin Matahari berupa proton dan elektron, sementara sisanya berupa ion-ion dari isotop Helium-3, Helium-4, Neon-20, Neon-21, Neon-22 dan Argon-36. Jumlah proton Matahari yang diterima Bulan amat bergantung pada posisi Bulan. Dari 27 hari yang dibutuhkannya guna mengelilingi Bumi, 18 hari diantaranya menempatkan Bulan di luar magnetosfer Bumi. Pada saat itu proton Matahari yang diterima tiap sentimeter kubik permukaan Bulan mencapai 10-20 proton (dengan kecepatan 450-650 m/detik). Sementara dalam 5 hari kemudian Bulan berada dalam magnetosfer Bumi sehingga tak satupun proton Matahari terdeteksi. Dan dalam 4 hari sisanya, Bulan berada di batas magnetosfer Bumi sehingga proton Matahari mulai terdeteksi namun dengan kecepatan jauh lebih rendah. [caption id="attachment_211408" align="alignleft" width="369" caption="Gambar 6. Mempersiapkan peledakan dinamit di Bulan, misi Apollo 17. Sumber : NASA, 1972. "]
[/caption] Pendaratan itu Bukan Dogma Instrumen-instrumen di atas hanyalah sebagian dari banyaknya instrumen ilmiah yang dibawa dalam sejumlah misi pendaratan manusia di Bulan. Instrumen-instrumen dan metode yang telah dipaparkan di atas hanya bisa dioperasikan maupun diawali pengoperasiannya lewat tangan manusia. Teknologi robotika di era 1960-an, bahkan sebagian hingga masa kini, belum mampu mengoperasikan instrumen-instrumen tersebut secara otomatis. Inilah garis batas tebal yang memisahkan kisah sukses kita dalam eksplorasi Bulan dengan Mars. Pada Mars, meski eksplorasi telah berlangsung sejak 1970-an hingga kini, ditandai dengan pendaratan robot penjelajah canggih Curiosity (misi Mars Science Laboratory) sebagai misi terkini, namun tiadanya pendaratan manusia menyebabkan pencapaian kita di Mars tidaklah sebaik Bulan. Misalnya saja, sampai detik ini kita belum pernah berhasil mengebor tanah Mars hingga kedalaman lebih dari 0,5 m. Sampai detik ini juga kita belum pernah berhasil menempatkan seismometer guna mendeteksi gempa-gempa mars ataupun mengukur aliran panas permukaannya guna memastikan status tektonik dan vulkaniknya. Dan seperti apa persisnya interior Mars pun, hingga kini kita belum bisa memastikannya, kecuali hanya menerka-nerka lewat data-data yang disajikan satelit. Bahkan guna memastikan apakah tanah Mars benar-benar mengandung air ataupun tidak, sampai kini kita hanya bisa bermain tebak-tebakan. Data-data non fotografis Bulan demikian berlimpah sehingga menjadikan data fotografis sebagai sekeping kecil. Sebagian besar data tersebut juga dapat diakses oleh siapapun ilmuwan di kolong langit. Data-data yang bejibun membuat pengetahuan kita akan Bulan yang diperoleh dalam misi pendaratan manusia di Bulan menjadi jauh berlipat ganda dibanding yang pernah kita ketahui sebelumnya terhitung sejak era peradaban manusia bersemi. Di sisi lain, dengan data non fotografis demikian berlimpah dan hingga kini tak satupun kalangan ilmuwan terkait yang mempersoalkan validitasnya, maka cukup menggelikan bila sejumlah kalangan meragukan terjadinya pendaratan di Bulan hanya berdasarkan pendekatan fotografis, lingkungan maupun mekanis. Apalagi hal-hal yang diklaim sebagai bukti fotografis, lingkungan dan mekanis akan konspirasi pendaratan manusia di Bulan ternyata semuanya dapat dijelaskan lewat disiplin-disiplin ilmu terkait. Misalnya, tentang foto. Dari sisi ilmu fotografi, siapapun yang memotret langit pada siang hari takkan bisa menjumpai adanya bintang-bintang dalam fotonya akibat terangnya langit oleh sinar Matahari. Mengabadikan bintang-bintang hanya bisa dilakukan di kala malam (saat bagian langit terlindungi dari terangnya sinar Matahari) dan itupun harus dengan waktu paparan (exposure time) lama. Rumus ini berlaku di mana saja, tak peduli di Bumi maupun di antariksa. [caption id="attachment_211410" align="alignnone" width="370" caption="Gambar 7. Membandingkan foto langit dalam misi Apollo 16 (atas) dengan foto langit di latar belakang stasiun antariksa Mir saat dikunjungi misi Soyuz-TM2 (bawah). perhatiakn bahwa keduanya juga tak menampilkan bintang-bintang di langit, karena kedua foto sama-sama diambil pada exposure time kecil meski menggunakan kamera berbeda. Sumber : NASA, 1972 & Glavkosmos, 1987. "]
[/caption] Meski lebih berat sisi politisnya, program pendaratan manusia di Bulan juga memiliki sisi ilmiah, yang mewujud pada penempatan beragam instrumen ilmiah baik yang ditempatkan di permukaan Bulan maupun yang dibawa terbang mengelilingi Bulan (dalam modul komando), serta baik instrumen yang harus dioperasikan/diawali operasinya dengan tangan manusia maupun yang otomatis. Sebagai aktivitas yang mengemban misi ilmiah, maka pendaratan manusia di Bulan bukanlah dogma, bukan soal urusan percaya-tak percaya. Dalam perspektif ilmiah, seluruh data yang diperoleh dari program pendaratan manusia di Bulan (baik data fotografis maupun non fotografis) tetap dipandang secara kritis guna menguji validitas (kesahihan)-nya lewat beragam cara. Dan hingga kini tak satupun ilmuwan terkait (dalam disiplin ilmu astronomi, geologi, fisika dan biologi maupun ilmu turunannya seperti astrofisika, astrogeologi, geofisika, astrobiologi dan sebagainya) yang meragukan kesahihan data tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H