Lihat ke Halaman Asli

Komet Terjun ke Badai Matahari

Diperbarui: 26 Juni 2015   03:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13100976951821093750

Sebuah komet tak dikenal teramati bergerak menuju ke Matahari dengan perihelion (titik terdekat ke Matahari dalam orbitnya) teramat dekat. Sehingga komet seolah-olah terjun ke Matahari dan teruapkan hingga habis tanpa sisa. Beruntung satelit veteran SOHO (Solar and Heliospheric Observatory) hasil kolaborasi badan ruang angkasa AS (NASA) dan konsorsium Eropa (ESA) yang bertengger di orbitnya sejauh 1,5 juta km dari Bumi sejak 1995 berhasil merekam detik-detik perjalanan komet ini melalui mata tajam teleskop LASCO (Large Scale Coronagraph) C2 dan C3. Fungsi LASCO adalah mengamati lingkungan sekitar Matahari dengan jalan memblokir bagian cakram terangnya yang menyilaukan, ibarat menciptakan gerhana Matahari artifisial terus-menerus sehingga memungkinkan lingkungan dekat matahari bisa diamati dengan seksama. Komet tersebut teramati teleskop LASCO C3 yang medan pandangnya lebar sejak 5 Juli 2011 sebagai bintik cahaya putih berekor yang bergerak secara berbeda dibanding bintang-bintang dilatarbelakangnya. Bila bintang-bintang tersebut bergerak dari kiri ke kanan secara mendatar, maka komet justru bergerak berbeda yakni dari kanan bawah ke kiri atas menuju Matahari. Sangat mengesankan, pada 6 Juli 2011 pukul 00:00 UT, Matahari terdeteksi mengalami peristiwa badai Matahari berskala medium yang melontarkan massa koronanya tepat ke arah komet. Interaksi komet dengan hembusan badai Matahari yang teramat kuat menyebabkan komet mengalami peningkatan kecerlangan yang signifikan seperti terlihat pada rangkaian citra LASCO C3 di bawah ini (tanda panah menunjukkan posisi komet). Komet kemudian teramati teleskop LASCO C2 yang medan pandangnya sempit pada pukul 16:00 UT sebagai bintik terang dengan ekor panjang. Semakin mendekat ke Matahari, tekanan angin Matahari semakin kuat yang membuat ekor komet semakin memanjang. Proyeksi lintasan komet mengindikasikan komet ini melintas sangat dekat terhadap permukaan Matahari. Sehingga komet menderita tekanan angin Matahari dan pemanasan sangat hebat, yang membuatnya mengalami sublimasi brutal hingga habis tanpa sisa seperti telihat pada rangkaian citra LASCO C2 di bawah ini.

13100978861185143626

Bukan Tanda Kiamat Pertanda apakah kejadian ini? Sebenarnya bukan pertanda apa-apa. Komet-komet ini merupakan bagian dari kelompok komet pelintas sangat dekat dengan Matahari alias komet sungrazers. Hampir setiap saat anggota komet sungrazers ini terlihat di sekitar Matahari. Satelit SOHO memperlihatkan selama 15 tahun bertugas telah mendeteksi lebih dari 2.000 buah komet sungrazers, sehingga setiap tahun rata-rata ditemukan 133 buah komet seperti ini, atau rata-rata setiap tiga hari sekali komet seperti ini muncul di dekat Matahari. Dari jumlah tersebut 83 % diantaranya merupakan keluarga komet Kreutz, mengambil nama Heinrich Kreutz, seorang astronom berkebangsaan Jerman yang pertama kali memperlihatkan adanya kekhasan pada komet-komet sungrazer. Keluarga komet Kreutz merupakan keluarga komet berorbit retrograde dengan inklinasi 144 derajat dan longitude perihelion mengelompok di sekitar 280 - 282 derajat. Analisis dinamika komet Kreutz oleh Brian Marsden dari Harvard Minor Planet Center memperlihatkan keluarga komet ini merupakan hasil evolusi komet yang mengesankan sejak lebih dari dua millenium lalu. Komet-komet Kreutz berasal dari sebuah komet sangat besar (dengan diameter inti +/- 100 km atau lebih dari dua kali lipat diameter inti komet Hale-Bopp yang sangat cemerlang di tahun 1997), menempuh orbit sangat lonjong (eksentrisitas 0,99) dengan periode 600-700 tahun dan mencapai perihelionnya di tahun 372 SM. Filsuf Aristoteles, Ephorus dari Cymea dan sejarawan Callisthenes dari Olynthus turut menjadi saksi munculnya komet sangat besar ini, yang nampak sangat terang dengan bentuk ekor sangat panjang memenuhi langit. hanya beberapa hari kemudian terjadilah gempa besar Achaea yang menghancurleburkan kota Helice dan Buris. Inilah yang membuat Aristoteles menabalkan komet sebagai benda langit pembawa bencana, sebuah miskonsepsi yang terus bertahan hingga kini. Perihelion komet ini hanya 70.000 km dari permukaan Matahari dan diameternya cukup besar membuat gaya pasang surut gravitasi (tidal) Matahari memecah-belah komet menjadi sejumlah pecahan berukuran besar dan ratusan ribu pecahan berukuran mini. Gangguan gravitasi 4 planet besar dalam tata surya (Jupiter, Saturnus, Uranus dan Neptunus) membuat orbit tiap-tiap pecahan berubah sehingga periodenya menjadi lebih besar mulai dari 700 tahun hingga 900 tahun. Komet Ikeya Seki (C/1965 S1) dengan diameter +/- 5 km yang nampak sejak September 1965 hingga Januari 1966 dan pada puncaknya memiliki magnitude visual -11 (hampir menyamai Bulan purnama) kala berada di perihelionnya yang hanya sejauh 450.000 km dari permukaan Matahari. Inilah komet yang selalu dihubung-hubungkan dengan peristiwa G 30 S dan huru-hara selanjutnya sepanjang 1965-1966 di Indonesia. Namun sejatinya hubungan tersebut hanyalah kebetulan, apalagi belakangan para astronom mendeduksi bahwa dengan setiap tahunnya rata-rata ditemukan 100-150 komet baru dan jika menggabungkan hasil pengamatan satelit SOHO membuat jumlahnya melonjak menjadi 250-300 komet baru, tidak mungkin untuk mengaitkannya dengan bencana di Bumi.

13100980381001969761

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline