Lihat ke Halaman Asli

Gempa Yogyakarta, Setelah Lima Tahun

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Yogyakarta masih setengah mengantuk kala Matahari bangun dari peraduannya di Sabtu pagi 27 Mei 2006, lima tahun silam. Hari itu adalah hari kejepit sekaligus weekend. Wisatawan, baik domestik maupun mancanegara, datang membanjir menikmati liburan di tengah eksotisnya Yogyakarta. Terlebih selama sebulan terakhir ada magnet wisata baru: Merapi, dengan aktivitasnya yang sedang memuncak. Pemkab Sleman bahkan menawarkan kegiatan Merapi sebagai salah satu obyek tontonan secara gencar, dengan tawaran 'menikmati' gemerlap aliran lava pijar dari tonjolan besar kehitaman ibarat bisul siap pecah yang sesekali membara di puncak Merapi. Suasana terasa damai. Kalaupun ada kecemasan, itu hanyalah di utara sana, tempat penduduk kawasan Merapi sedang ketar-ketir menanti detik demi detik deru debu sang gunung. Tak satupun menyangka, nun jauh di bawah sana di kedalaman kerak Bumi, energi besar siap terlepas. Mengambil momentum tepat di bawah Pegunungan Sewu yang kompak dan keras dengan mematahkan sebuah patahan tua, energi itu pun terlepas merambat kemana-mana. Getaran pun terasa dimana-mana. Mula-mula kecil..mengalun..lantas kemudian membesar...membesar....dan terus membesar hingga mengguncang sangat kuat dengan puncak intensitas guncangan sampai 9 MMI. Yogyakarta dan kawasan sekitarnya ibarat ditempatkan dalam blender selama +/- 1 menit. Inilah gempa Yogya 2006, yang meletup dengan magnitude momen 6,4 dengan pelepasan energi setara 40 kiloton TNT alias dua kali lipat ledakan bom Hiroshima. Lebih dari 6.000 jiwa terenggut, dengan lebih dari 100 ribu lainnya luka berat maupun ringan dan ratusan ribu bangunan rusak parah hingga hancur total. Inilah salah satu bencana geologi paling membunuh dan menelan ongkos cukup mahal dalam konteks Indonesia kontemporer. Setelah lima tahun berselang, apa yang bisa kita pelajari dari Gempa Yogya 2006 ? [caption id="attachment_115201" align="alignnone" width="460" caption="Posisi patahan sumber gempa Yogyakarta 2006 dan sistem patahan Opak berdasar analisa InSAR. Warna kemerahan menunjukkan adanya kenaikan (uplift) sementara warna biru muda menunjukkan pengamblesan (subsidence). Perhatikan, gempa tidak bersumber dari patahan Opak ! Sumber: Tsuji dkk, 2009"][/caption] Gempa Yogya menyajikan banyak elemen kejutan yang sekaligus membuka pemahaman baru bagi para peneliti kebumian. Jika semula episentrumnya disebut berada di sekitar muara Sungai Opak (yang terkesan janggal karena kerusakan di sini justru minimal), penelitian lebih lanjut menempatkannya di kawasan Pegunungan Sewu, berdekatan dengan Karangmojo (Gunungkidul). Jika semula patahan Opak yang membatasi Pegunungan Sewu dengan daratan Bantul dianggap yang bertanggungjawab atas gempa ini, penelitian lebih lanjut justru mengungkap patahan sumber gempa ternyata adalah patahan sangat tua (usianya 2 juta tahun) yang terletak 10 km di sebelah timur patahan Opak dengan orientasi paralel. Kompleksitas geologi setempat membuat gelombang gempa dari patahan-tua-tak bernama ini merambat ke sistem patahan Opak dan cekungan (graben) Bantul serta merambat pula ke sistem patahan Dengkeng (Baturagung) di Klaten bagian selatan. Tak heran jika kawasan yang mengalami kerusakan parah (damage belt) membentang dari Bantul hingga Klaten. [caption id="attachment_115203" align="alignnone" width="374" caption="Sistem patahan Opak dan Dengkeng (Baturagung), tempat energi gempa menjalar setelah dilepaskan dari episentrum. Sumber: Natawidjaja, 2007"][/caption] Cekungan Bantul menyajikan kejutan terbesar. Cekungan ini memang telah diketahui sebagai bekas laut (teluk) yang terkubur endapan lahar yang dimuntahkan Gunung Merapi selama setidaknya 10.000 tahun terakhir. Amat mudanya usia tanah (dalam perspektif skala waktu geologi) membawa implikasi pada belum solidnya tanah di sini. Saat tanah-belum-solid ini diguncang gempa, getaran gelombang mengompaksi (menekan) butir-butir tanah sehingga air yang ada di sela-selanya tertekan kuat dan terpaksa mancur keluar di permukaan Bumi. Fenomena yang dikenal sebagai pelulukan/likuifaksi (liquiefaction) ini ditakuti karena membuat tanah-belum-solid itu kehilangan daya dukungnya sehingga apapun yang berdiri di atasnya bakal ambruk. Nyatanya, cekungan Bantul tak hanya mengalami pelulukan, namun lebih dari itu di dasar cekungan ternyata terpendam patahan lain yang tak dikenal namun diyakini terhubung dengan sistem patahan Opak. Ketika energi gempa merambat ke sekujur sistem patahan Opak dan Dengkeng, patahan-terpendam-tak bernama itu pun turut menerima energi sehingga turut bergerak. Pergerakan tersebut ternyata bersifat menurun (normal faulting/subsidence). Alhasil, dikepung oleh sumber-sumber gempa di sisi kiri dan kanannya, cekungan Bantul pun terguncang keras hingga pemukiman di atasnya sontak berubah jadi puing-puing berserakan. [caption id="attachment_115204" align="alignnone" width="595" caption="Area yang mengalami kerusakan akibat gempa Yogyakarta 2006, nampak membentuk jalur tertentu (damage-belt). Sumber: Meilano, 2006"][/caption] Gempa Yogya menyajikan fakta telanjang bagaimana dampak sebuah gempa kuat dangkal di dekat sebuah kota (besar). Meski secara mengejutkan juga merontokkan sejumlah bangunan modern seperti misalnya pusat perbelanjaan Ambarukmo Plaza dan sebaliknya secara mengejutkan justru tak berdampak terhadap integritas struktur reaktor nuklir Kartini di kompleks BATAN Babarsari (padahal antara reaktor dan Ambarukmo Plaza jaraknya berdekatan), namun faktor utama tingginya korban jiwa Gempa Yogya 2006 terdapat pada rentannya struktur bangunan tempat tinggal (rumah). Ciri khas rumah tradisional limasan membuat dinding rumah yang tipis harus menopang atap genteng nan berat. Ini memang membuat rumah cukup stabil dalam menghadapi terpaan cuaca (termasuk hujan deras atau angin kencang), namun sebaliknya rentan terhadap guncangan tanah. Apalagi bila dinding rumah tidak diperkuat (misalnya terbuat dari kayu/anyaman bambu) ataupun diperkuat secara serampangan (misalnya dari batubata namun tanpa kolom beton penguat). Sehingga ketika guncangan datang menerpa, dinding rumah turut bergoyang sampai ke tingkat dimana atap rumah runtuh oleh beratnya sendiri. Fakta ini sebenarnya sudah pernah terjadi sebelumnya di mancanegara, dalam Gempa Kobe 17 Januari 1995 yang menelan korban jiwa hampir menyamai Gempa Yogya 2006. [caption id="attachment_115205" align="alignnone" width="595" caption="Distribusi korban jiwa gempa Yogyakarta 2006 dalam diagram batang. Nampak jumlah korban sangat besar pada daerah-daeah yang terletak di sepanjang jalur kerusakan (damage-belt). Sumber: Abidin, 2006"][/caption] Realitas ini harus dipertimbangkan dalam mitigasi bencana gempa selanjutnya. Terlebih di Indonesia building code tidak selalu dipatuhi apalagi untuk rumah tinggal dan baru diingat-ingat (dengan penuh penyesalan) tatkala keruntuhan sudah terjadi. Akibat kondisi ini, Puslitbang Geoteknologi LIPI pernah melansir bahwa gempa dangkal dengan magnitude ~5 skala Richter dengan episentrum di sebuah kota di Indonesia mampu menghasilkan kerusakan berskala luas dan mendatangkan korban jiwa. Dengan demikian besarnya proporsi rumah tinggal yang tak menaati building code, mitigasi memang sebaiknya diarahkan untuk mereduksi atau bahkan mengeliminasi kemungkinan cedera kepala/punggung oleh runtuhnya atap akibat gempa. Mayoritas (+/- 60 %) kota di Indonesia berdiri di atas jalur patahan, entah aktif entah tidak, entah sudah teridentifikasi entah belum. Dan mayoritas kota itu pun berdiri di atas lahan berkontur datar yang umumnya merupakan endapan/sedimen berusia sangat muda menurut skala waktu geologi. Sedimen semacam ini ketika terkena gelombang gempa senantiasa memperlihatkan fenomena pelulukan, yang bakal memperparah kerusakan bangunan. Hal ini seyogyanya mendapatkan perhatian lebih. Di Jawa, kota-kota besar seperti Bandung, Jakarta, Semarang dan Surabaya harus mendapatkan perhatian serupa. Pada akhirnya, dengan kian berlalunya waktu, apa yang terjadi di Yogyakarta dan sekitarnya lima tahun silam semoga tetap terpatri dalam kenangan kolektif kita. Bukan, bukan pada kengerian yang ditimbulkannya, namun pada bagaimana mengantisipasi kejadian sejenis di masa mendatang terutama pada bagaimana mereduksi korban baik korban jiwa maupun luka-luka. Ini karena di bawah sana, Bumi terus menggeliat lewat gerak lempeng-lempengnya sehingga gempa pasti akan terjadi di satu lokasi entah dimanapun di Indonesia. Tinggal kapan waktunya dan seberapa besar kekuatannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline