Sebuah getaran mengguncang ketenangan Jawa Tengah dan Jawa Barat pada pagi buta 4 April 2011 pukul 03:07 WIB. Pusat gempa berada di kedalaman Samudera Hindia 270 km sebelah barat daya kota Cilacap sehingga gempa ini kemudian dinamakan gempa Cilacap. Pusat Gempa Nasional BMKG mencatat gempa Cilacap mempunyai magnitud 7,1 skala Richter dan kedalaman sumber 10 km, sehingga dinyatakan berpotensi tsunami. Peringatan dini tsunami segera diudarakan dan memicu evakuasi penduduk pesisir selatan Jawa, terutama di kota Cilacap. Peringatan dini lantas dicabut setelah dua jam kemudian tidak ada tanda-tanda perubahan muka air laut Samudera Hindia. Sementara National Earthquake Information Center USGS mencatatnya sebagai gempa dengan magnitud momen (Mw) 6,7. Meski ada selisih hingga 0,4 magnitude, namun beda angka magnitud antara yang dirilis BMKG dan USGS sebenarnya hanyalah perbedaan dalam pemilihan jenis magnitudnya semata dan bukan perbedaan nyata. Meski tergolong kuat, namun jauhnya posisi sumber gempa terhadap daratan Pulau Jawa menyebabkan getarannya terlemahkan begitu mencapai daratan. Getaran maksimum 3 MMI (Modified Mercalli Intensity) terasakan di pesisir selatan Jawa Barat dan Jawa Tengah khususnya di kota Cilacap, Tasikmalaya dan Garut. Skala getaran 3 MMI ini setara dengan getaran yang kita rasakan kala berdiri di pinggir jalan saat sebuah truk tronton melintas. Secara kualitatif getaran 3 MMI belum mampu menghasilkan kerusakan/keruntuhan bangunan, karena untuk itu dibutuhkan getaran minimal 6 MMI. Maka tidak mengherankan bila USGS PAGER dalam 20 menit pascagempa menyatakan (pada probabilitas 99 %) gempa Cilacap tidak menimbulkan korban jiwa maupun kerugian ekonomi. Namun secara keseluruhan terdapat 44,8 juta penduduk Jawa yang merasakan getaran gempa Cilacap sehingga sempat memicu kepanikan kecil di pagi buta itu. Apalagi Cilacap saat itu sedang diharubirukan dengan kebakaran 3 tanki penyimpanan minyak di kilang Lomanis. Gempa Cilacap disebabkan oleh pematahan segmen kerak bumi di lingkungan zona subduksi Jawa. Setelah terpatahkan, segmen kerak bumi seluas 30 x 15 km persegi itu bergeser menurun miring sejauh rata-rata 1 m dengan pergeseran terbesar 1,5 m. Pergerakan ini melepaskan energi seismik 170 kiloton TNT, setara ledakan 8,5 butir bom nuklir Hiroshima. Pergerakan yang sama juga menyebabkan terjadinya deformasi dasar laut berupa pengamblesan (subsidence) yang membentuk lembah (graben) dengan kedalaman rata-rata 90 cm. Deformasi ini mengusik kolom air laut Samudera Hindia diatasnya dan sebagai upaya stabilisasinya terbentuklah gelombang tsunami. Namun dengan terbatasnya luas sumber gempa dan kedalaman lembah, energi tsunaminya pun sangat kecil yakni hanya 0,14 kiloton TNT (0,7 % energi bom nuklir Hiroshima) sehingga tak berdampak apapun kepada pesisir. Perhitungan menunjukkan di pantai Pangandaran ketinggian tsunami hanya 5 cm. [caption id="attachment_102662" align="aligncenter" width="627" caption="Peta kegempaan Jawa hingga 2007, baik di darat maupun di laut. Di Samudera Hindia nampak dua lokasi dimana episentrum gempa-gempanya sangat rapat, yakni Pangandaran (2006) dan Pancer (1994). Di antara keduanya membentang seismic gap sepanjang 400 km, yang sangat berpotensi menjadi sumber gempa kuat/besar dan tsunami Jawa mendatang. Tanda bintang hijau menunjukkan episentrum gempa Cilacap 4 April 2011, yang tidak banyak mengubah situasi di seismic gap. Sumber: Ntawidjaja, 2007"][/caption] Gempa Cilacap terjadi di zona subduksi Jawa di kedalaman Samudera Hindia. Zona subduksi ini adalah jalur pertemuan lempeng oseanik Australia yang bergerak ke utara pada kecepatan 7 cm/tahun dengan lempeng kontinental Eurasia yang stabil dan menjadi landasan Pulau Jawa. Zona subduksi ini secara kasat mata nampak sebagai palung Jawa yang memanjang dari barat ke timur dan di sebelah utaranya terdapat pegunungan memanjang bawah laut yang dikenal sebagai busur luar. Subduksi Jawa memiliki umur cukup tua yakni lebih dari 150 juta tahun sehingga sempat dianggap bersifat aseismik atau tidak menghasilkan gempa. Namun peristiwa gempa Pancer (Banyuwangi) 1994 dan Pangandaran 2006 (keduanya sama-sama memiliki magnitud momen 7,8) menunjukkan subduksi ini tetap harus diperhitungkan sebagai sumber potensial gempa besar mendatang layaknya subduksi yang lebih muda seperti Pasifik utara yang banyak menghasilkan gempa besar/akbar, termasuk yang terakhir gempa akbar Tohoku 2011 dan tsunami besarnya. Baik gempa Pancer maupun Pangandaran disebabkan patahnya segmen kerak bumi seluas 200 x 100 km persegi. Keduanya tergolong gempa unik karena melepaskan tsunami yang jauh lebih besar dibanding getaran gempanya sendiri, yang dinamakan gempa lambat atau tsunami earthquake. Rupanya getaran keras yang ditimbulkan kedua gempa (dengan intensitas hingga 8 MMI di dekat sumbernya) membuat pegunungan bawah laut di sebelahnya terguncang keras hingga memicu longsoran berskala besar. Ini menghasilkan olakan tambahan yang memperdahsyat tsunaminya, meski sifat kedahsyatannya hanyalah lokal. Keunikan ini nampak dalam gempa Pangandaran 2006 dimana kekuatan tsunaminya hampir separuh dari kekuatan tsunami Aceh 2004 padahal gempanya sendiri 126 kali lebih lemah dibanding gempa Aceh 2004. Akibatnya tinggi maksimum tsunami Pangandaran sampai 21 m seperti tesisa jejaknya pantai Permisan (Nusakambangan), padahal jika gempa itu bukan gempa lambat maka perkiraan ketinggian tsunaminya ‘hanya’ 3-4 m. Pada subduksi Jawa, antara sumber gempa Pancer 1994 dan Pangandaran 2006 terbentang kawasan sepanjang +/- 400 km yang menarik perhatian karena memiliki aktivitas kegempaan lebih rendah. Kawasan ini dikenal sebagai seismic gap, dan merupakan area yang sedang menimbun energi seismik secara terus-menerus karena belum mengalami pematahan. Realitas ini menggelisahkan mengingat pelepasan energi seismik berupa gempa kuat disertai tsunami mendatang yang bakal menerpa pesisir selatan Jawa berpotensi bersumber dari sini. Bila dianggap terdapat dua segmen dalam seismic gap ini, magnitud gempa potensial di masing-masing segmen barangkali akan menyamai gempa Pancer maupun Pangandaran. Namun bila keseluruhan seismic gap sepanjang 400 km ini terpatahkan serentak, magnitud gempa yang dihasilkannya sekitar 8,5 atau lebih dalam episode gempa akbar (megathrust). Mana yang akan terjadi? Kita tidak tahu. Namun estimasi ini menggelisahkan mengingat dengan sifat subduksi Jawa, gempa kuat/besar di sini sangat berpotensi memproduksi tsunami yang jauh lebih kuat dibanding gempanya. [caption id="attachment_102663" align="aligncenter" width="655" caption="Rekaman hidrogram (tinggi muka air) di PLTU Cilacap saat tsunami 17 Juli 2006 silam. Nampak tinggi tsunami maksimum mencapai 3,5 meter. Cilacap beruntung sebab terlindungi Pulau Nusakambangan. Andaikata pulau ini tidak ada, dengan posisinya yang langsung berhadapan dengan sumber gempa, tsunami di Cilacap saat itu bisa setinggi 21 meter. Inilah bukti kerentanan pesisir selatan Jawa terhadap tsunami. Sumber: Lavigne, 2007"][/caption] Semula gempa Cilacap dikira bisa mengurangi sedikit potensi energi di seismic gap ini. Namun analisa lebih lanjut memperlihatkan gempa Cilacap ternyata adalah gempa intralempeng, yakni gempa akibat patahnya segmen lempeng Australia yang telah menelusup di bawah lempeng Eurasia. Gempa ini diduga merupakan kelanjutan dari gempa Pangandaran 2006 (sebagai hasil picuan) dan bukan gempa subduksi, sehingga dengan demikian seismic gap nyaris tak tersentuh. Alhasil pesisir selatan Jawa senantiasa berada di bawah bayang-bayang potensi gempa dan tsunami Samudera Hindia. Perhatian lebih harus ditujukan ke pesisir selatan Jawa Tengah dan DIY yakni pantai selatan Kab. Cilacap, Kebumen, Purworejo, Kulonprogo dan Bantul. Sebab pada kawasan inilah penghalang besar (berupa pegunungan kapur) tidak ada sehingga pantainya relatif datar, sementara penghalang alami lainnya (misalnya bukit pasir dan hutan pantai) relatif rusak, menjadikan kawasan ini paling rentan terhadap ancaman tsunami.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H