Lihat ke Halaman Asli

Kala Papua dan Laut Banda Diguncang Gempa

Diperbarui: 26 Juni 2015   11:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

129022986453709546

Jarang yang menyadari dalam lima hari terakhir -tepatnya antara tanggal 12 hingga 17 November 2010- sejumlah gempa signifikan menggetarkan kawasan Indonesia bagian timur khususnya Laut Banda dan Papua. USGS National Earthquake Information Center mencatat sedikitnya ada 4 gempa kuat dan 1 gempa moderat melanda kawasan ini pada periode waktu tersebut. [caption id="attachment_76162" align="alignnone" width="629" caption="Posisi episentrum kelima gempa di kawasan Indonesia bagian timur (tepatnya Laut Banda dan Papua) pada 12 -17 November 2010. Sumber : Ma"][/caption] Catatan dimulai dari keremangan fajar di tengah-tengah Laut Banda, saat sebuah guncangan dengan magnitude (Mb) 4,6 skala Richter mengguncang pada 12 November 2010 pukul 05:56 WIB. Magnitude gempa tergolong moderat dan sumbernya sendiri berada pada kedalaman 138 km, sehingga tergolong gempa dalam. Hanya berselang tiga jam kemudian, gempa lain yang lebih kuat datang menerjang. Dengan episentrum juga di Laut Banda, dalam jarak hanya 58 km dari gempa pertama, kawasan ini kembali bergetar, kali ini oleh gempa dengan magnitude (Mb) 5,8 skala Richter. Dengan kedalaman sumber 151 km, gempa kedua pun tergolong gempa dalam. Sementara gempa ketiga meletup lima hari kemudian, tepatnya pada 17 November 2010 dini hari pukul 03:10 WIB. Magnitude (Mb) gempa ini pun 5,8 skala Richter namun dengan kedalaman sumber lebih dangkal, yakni 110 km, dengan jarak episentrum 164 km dari gempa pertama. Melihat kedalaman sumbernya, jelas bahwa ketiga gempa Laut Banda tersebut terjadi di kawasan zona Benioff, yakni zona di asthenosfer (selubung Bumi) yang bersentuhan dengan lempeng tektonik yang menelusup setelah melewati zona subduksi. Dengan demikian gempa ini tergolong gempa intralempeng, karena hanya disebabkan patahnya segmen kerak Bumi dalam salah satu lempeng saja. Ini berbeda dengan gempa Pagai 2010 yang dihasilkan di zona subduksi. Dalam konteks mitigasi bencana, gempa intralempeng secara umum tidak perlu dikhawatirkan karena dengan magnitude-nya dan kedalaman sumbernya, guncangan yang dirasakan di daratan akan minimal. Terlebih posisi ketiga episentrum gempa ada di tengah Laut Banda dan cukup jauh dari pulau/kepulauan terdekat yang berpenghuni. Pre-Quake ? Menarik untuk mencermati bahwa posisi episentrum ketiga gempa relatif berdekatan. Ini bukan karena sumber gempanya suka jalan-jalan, seperti yang selalu dikatakan Andi Arief staf khusus presiden itu, melainkan karena gempa pertama merupakan pre-quake (gempa pendahulu) dari gempa kedua sementara gempa ketiga kemungkinan meletup akibat terpicu gempa kedua. Pre-quake selalu merupakan getaran kecil, yang terjadi selama beberapa kali dalam satu periode waktu mendahului gempa utamanya (mainshock). Idealnya getaran-getaran pre-quake merupakan pertanda akan datangnya gempa yang lebih besar. Sayangnya, sangat sulit untuk mengatakan apakah sebuah gempa kecil tergolong pre-quake atau bukan. Pemerintah Cina di tahun 1975 berhasil menyelamatkan jiwa ribuan orang penduduk Haicheng saat mereka menyadari adaya getaran-getaran kecil terus menerus dengan pola yang khas yang kemudian diidentifikasi sebagai pre-quake. Namun kisah sukses ini tak berulang dalam kejadian gempa Tangshan 1976, yang merenggut lebih dari 665 ribu korban jiwa dan menempatkannya sebagai salah satu gempa paling membunuh sepanjang sejarah modern. Pemerintah kota Kobe (Jepang) pun bernasib serupa dalam kejadian gempa Hanshin Agung-Awaji pada 17 Januari 1995 yang merenggut 6.400 korban jiwa, meski enam jam sebelumnya telah terdeteksi 2 pre-quake. Ketiga gempa di atas harus dibedakan dengan gempa keempat yang meletup 19 jam pasca gempa ketiga. Selain magnitude-nya (Mb) besar, yakni 5,9 skala Richter (menyamai magnitude gempa Yogya 2006), sumbernya pun sangat dangkal yakni hanya 13,6 km dari permukaan. Fakta ini mengindikasikan bahwa gempa keempat merupakan gempa yang dihasilkan oleh aktivitas patahan lokal, atau sama dengan mekanisme pembentuk gempa Yogya. Dapat dikatakan kawasan episentrum dan sekitarnya terguncang hebat dengan skala 7 - 8 MMI, intensitas guncangan yang sanggup merusak/merobohkan bangunan dan menimbulkan longsoran tebing. Gempa ini pun boleh dikata menggetarkan wilayah antara Kep. Aru di timur hingga Pulau Timor di barat. Mujur bahwa episentrum gempa ini sangat jauh pusat populasi setempat, tepatnya lebih dari 150 km dari Saumlaki sehingga dampaknya pun diestimasikan minimal. Papua Seluruh gempa tersebut harus dibedakan dengan gempa 16 November 2010 pukul 08:39 WIB yang terjadi di daratan Papua bagian utara, tepatnya di pesisir sejauh 198 km sebelah barat laut Jayapura. Magnitude (Mb) gempanya 5,8 skala Richter yang setara dengan pelepasan energi gempa 7,5 kiloton TNT (38 % energi bom Hiroshima). Jayapura bergetar oleh guncangan dengan skala 3 MMI, sehingga secara empirik gempa ini memiliki koefisien atenuasi 0,0049 dalam model penjalaran getaran a la Gutenberg-Richter. USGS PAGER (Prompt Assessment for Global Earthquake Response) menyebut ada 620 ribu jiwa yang tinggal di daerah yang mengalami guncangan antara 4 - 8 MMI dengan seribu diantaranya di daerah paling dekat dengan episentrum sehingga terguncang paling kuat (8 MMI). Dengan probabilitas 66 %, USGS PAGER memperkirakan ada potensi korban jiwa namun sangat minim (~ 1 orang) dengan potensi kerugian pun tergolong minimal (mencapai US $ 1 juta atau Rp 9 milyar pada probabilitas 67 %). Sampai sejauh ini belum ada laporan dari daerah yang terdampak gempa, sehingga bagaimana situasinya belum bisa dideskripsikan. Kawasan Laut Banda dan Pulau Papua merupakan keajaiban geologi yang hampir tiada duanya, karena di sinilah tiga lempeng tektonik bertemu. Dasar Laut Banda merupakan bagian lempeng Eurasia, yang dijepit oleh lempeng Pasifik di utara dan lempeng Australia di selatan. Jalur subduksi antara lempeng Pasifik dan Eurasia membujur di sepanjang lepas pantai utara Pulau Seram. Sementara Pulau Papua merupakan hasil interaksi lempeng Pasifik dengan lempeng Australia. Sebagai zona pertemuan antar lempeng, wilayah ini relatif terobek-robek secara geologis yang memunculkan banyak patahan, punggungan, palung laut dan bahkan mikrolempeng (yakni mikrolempeng Halmahera, yang menjadi dasar Laut Maluku). Kenampakan patahan bisa dilihat secara kasatmata dalam bentuk Pegunungan Jayawijaya -yang seperti Pegunungan Himalaya- relatif terus tumbuh meninggi. Sementara di utara Sorong terdapat patahan sangat panjang yang menjulur hingga Sulawesi timur, yakni sistem patahan Sorong. Di Papua Barat juga membujur patahan Tarera-Aiduna dan Ransiki yang kesohor pasca gempa ganda 2004. [caption id="attachment_76163" align="alignnone" width="464" caption="Episentrum dan skala getaran yang dirasakan di sekitarnya (dalam MMI) akibatGempa Papua 16 November 2010. Sumber : USGS, 2010"]

12902300371126617153

[/caption] Kondisi demikian membuat baik Laut Banda maupun Papua merupakan daerah rawan gempa dan tsunami. Rekor tsunami tertinggi di Indonesia (bahkan Asia) terjadi di Laut Banda pada tahun 1799 tatkala gempa mengguncang dan diikuti longsoran besar yang menghasilkan tsunami setinggi 60 meter ! Khusus di daerah sekitar episentrum gempa 2010 ini, 1.300 orang terenggut jiwanya pada 13 Januari 1981 tatkala sebuah gempa kuat (magnitude Mw 6,6 skala magnitudo) mengguncang dengan episentrum sejauh 280 km dari posisi episentrum 2010. Getaran terkuat mencapai 9 MMI yang melanda daerah berpenduduk seribu jiwa, hingga rusak parah dan menelan korban jiwa sangat tinggi. Sementara di tahun 1996, sebuah guncangan lain (magnitude Mw 8,2 skala Magnitudo) meletup di dasar Samudera Pasifik, 256 km dari posisi episentrum 2010. 155 ribu jiwa tinggal di daerah yang terguncang hingga 8 MMI. Gempa ini juga diikuti deformasi dasar laut sehingga terbitlah tsunami yang melanda pesisir utara Pulau Biak, dengan total korban jiwa 108 orang. Namun high risk high gain. Tingginya resiko bencana geologis berarti juga tingginya potensi ekonomis wilayah ini. Papua sangat dikenal sebagai deposit mineral bahan tambang yang luar biasa seperti nikel, emas dan tembaga. Demikian pula potensi gas bumi, yang di Teluk Bintuni bahkan tergolong lapangan gas terbesar di Indonesia yang sedang eksis pasca surutnya lapangan Arun (NAD) dan Badak (Kaltim). Inilah semua anugerah terberi dari Yang Maha Kuasa. Idealnya, dengan tingginya resiko bencana geologi setempat, maka kekayaan itu mampu dimanfaatkan sebesar-besarnya sebagai bekal menyiapkan dan melaksanakan proses-proses mitigasi. Apalagi Papua sudah berstatus daerah otonomi khusus, sehingga birokrasi terkait dengannya bukanlah hal sulit. Sayangnya, dengan realitas Papua saat ini, kenyataan memang sering tak seindah idealnya.



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline