Lihat ke Halaman Asli

Pagai 2010, Sebuah Perulangan Pangandaran 2006

Diperbarui: 26 Juni 2015   12:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika mengikuti tatanama baku, seharusnya gempa yang terjadi pada Senin 25 Oktober 2010 pukul 21:42 WIB itu diberi nama Gempa Pagai mengingat episentrumnya paling dekat dengan pulau Pagai khususnya Pagai Selatan. Tetapi dalam konteks administrasi wilayah, pulau ini merupakan bagian Kabupaten Kepulauan Mentawai, yang mencakup gugusan pulau-pulau Siberut, Sipora, Pagai Utara, Pagai Selatan dan pulau-pulau kecil disekitarnya. Sehingga tidak menjadi persoalan bila gempa tersebut kemudian disebut gempa Mentawai. Untuk membedakannya dengan peristiwa gempa 2007 yang lokasinya hampir berdekatan, maka gempa kali ini dinamakan gempa Pagai 2010.

1. Magnitude

Hampir dalam setiap peristiwa gempa kuat dan besar yang pernah terjadi di Indonesia selalu muncul pertanyaan: sebenarnya berapa besar magnitude-nya? Ini terutama disebabkan oleh perbedaan angka magnitude yang disajikan badan-badan yang berwenang. Angka yang disajikan badan dari Indonesia (dalam hal ini Pusat Gempa Nasional Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika alias BMKG) berbeda dan sering lebih rendah dibandingkan angka dari badan pemantau global (dalam hal ini National Earthquake Information Center United States Geological Survey alias USGS).

Pun dalam gempa Pagai 2010 ini. BMKG mencatat magnitudenya 7,2 skala Richter sementara USGS melansir angka 7,7. Mana yang benar?

Dalam perspektif ilmu kegempaan, kedua-duanya benar karena kedua-duanya menggunakan jenis magnitude yang berbeda. Rilis BMKG didasarkan pada jenis body-wave magnitude (Mb) dan atau surface magnitude (Ms). Mengingat karakteristik Indonesia yang persis berada di jalur sumber gempa, rilis magnitude dalam waktu yang cepat pasca guncangan gempa utama (mainshock) menjadi kebutuhan tak terelakkan apalagi jika gempa tersebut berpotensi memproduksi tsunami. Hal ini dipenuhi oleh Mb yang didasarkan pada analisis gelombang primer di seismogram dan Ms yang didasari analisis gelombang permukaan di seismogram. Meski kelemahannya pun ada. Gempa Aceh 2004, Nias 2005 dan Pangandaran 2006 memberi pelajaran sangat berharga tentang sifat Mb yang tersaturasi ketika digunakan untuk mendeskripsikan gempa-gempa besar, sehingga harga Mb mentok di sekitar 6,0 sampai 6,5.

Kelemahan Mb itulah yang ditutupi oleh moment-magnitude (Mw), jenis magnitude yang biasa digunakan dalam rilis USGS. Jika Mb dan Mw murni berdasar analisis seismogram, Mw sedikit berbeda karena mendasarkan pada dinamika fisis patahan sumber gempa. Bedanya lagi, jika Mb dan Ms sama-sama menggunakan satuan skala Richter (SR), Mw sebenarnya tidak memiliki satuan sama sekali. Meski guna membedakannya dengan jenis magnitude yang lain, biasanya digunakan "satuan" skala Magnitudo (SM) untuk Mw. Kelemahannya, Mw membutuhkan waktu analisis yang jauh lebih lama sehingga bisa terjadi Mw belum selesai dianalisis, tsunami sudah datang menerjang tanpa sempat menyalakan sistem peringatan dini.

Rilis USGS sebenarnya tidak hanya menyajikan magnitude Mw, namun juga jenis magnitude yang lain seperti Mb, MbLg, Ms dan kadang-kadang Me (energy-magnitude). Untuk gempa Pagai 2010 ini, USGS menyebutkan magnitude Mb = 6,5 SR; magnitude MbLg = 5,2 SR dan Ms = 7,3 SR. Kita bisa melihat angka Ms dari USGS tidak berbeda secara statistik dengan angka Ms dari BMKG. Mengapa BMKG tidak menyajikan rilis selengkap USGS? Rasanya hal ini khas Indonesia, tanah subur makmur yang seluas benua Eropa namun punya keterbatasan dalam sumber daya, baik manusia, pendanaan maupun peralatan serta cilakanya tak punya kebijakan yang lebih memerhatikan negeri sendiri. Sampai saat ini BMKG hanya fokus memantau wilayah Indonesia, berbeda dengan USGS yang memerankan diri menjadi pemantau gempa secara global.

Jadi kalo mau dibaca lebih teliti, gempa Pagai 2010 memiliki magnitude Ms 7,2 SR dan Mw 7,7 SM.

Magnitude gempa merupakan ekspresi dari energi yang dilepaskan gempa. Kalkulasi menunjukkan gempa Pagai 2010 ini melepaskan energi 5,335 megaton TNT. Jika dibandingkan dengan letusan bom nuklir di Hiroshima pada 6 Agustus 1945 silam, energi gempa Pagai 2010 ini 267 kali lipat lebih besar. Namun tak perlu khawatir, tak ada pihak manapun yang meledakkan nuklirnya di dasar laut dekat Kepulauan Mentawai, mengingat mekanisme transfer energi ledakan nuklir dengan energi gempa sangat jauh berbeda. Sebab jika estimasi linear dari data empirik yang terkumpul selama periode 1946-1963 ketika USGS bekerja sama dengan AEC (Atomic Energy Commission) memantau hubungan gempa bumi yang dipicu ledakan nuklir di permukaan, bawah tanah dangkal dan bawah tanah dalam menunjukkan, jika ada yang meledakkan bom nuklir 5,335 megaton TNT di Mentawai, gempa yang terjadi unik karena memiliki Mb tinggi (yakni pada rentang 6,7-7,2 skala Richter) alias sama dengan ciri khas gempa besar, namun pola getarannya justru menunjukkan ciri-ciri gempa kecil. Itu semua tidak nampak dalam gempa Pagai 2010.

2. Patahan

Setiap gempa tektonik pada dasarnya disebabkan oleh pergerakan segmen kerak Bumi dalam luasan tertentu secara menurun (normal) atau menaik (thrust) atau mendatar (strike) dalam jarak tertentu pula. Segmen tersebut lebih dikenal sebagai patahan. Sehingga sumber gempa tektonik adalah bidang, bukan titik. Jika dalam rilis-rilis badan-badan pemantau disebutkan adanya episentrum gempa, pengertian episentrum disini salah satunya adalah sebagai titik dimana patahan mulai bergerak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline