Di tengah hiruk pikuk jelang pemilu legislatif, pada Selasa 8 April 2014 pukul 17:00 WIB lalu Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) memutuskan menurunkan status aktivitas Gunung Sinabung setingkat lebih rendah dari Awas (Level IV) menjadi Siaga (Level III). Keputusan ini didasari oleh cenderung menurunnya aktivitas vulkanik Gunung Sinabung akhir-akhir ini berdasarkan parameter jumlah gempa letusan, jumlah gempa vulkanik dalam, jumlah gas belerang (SO2) yang dilepaskan dan deformasi/kembang-kempisnya tubuh gunung.
Gempa letusan, sebagai pertanda terjadinya letusan-letusan eksplosif, sudah tak terdeteksi lagi semenjak 16 Maret 2014. Gempa vulkanik dalam memang masih berfluktuasi namun secara umum cenderung menurun sejak 5 Februari 2014. Berkurangnya jumlah gempa vulkanik dalam merupakan pertanda bahwa pasokan magma segar dari perutbumi ke tubuh Gunung Sinabung telah menurun. Menurunnya pasokan magma segar juga terlihat dari berkurangnya gas belerang. Sejak 16 Maret 2014 Gunung Sinabung melepaskan gas belerang yang berfluktuasi antara 444 ton/hari hingga 777 ton/hari. Jumlah tersebut lebih kecil ketimbang periode sebelumnya yakni rata-rata 1.234 ton/hari dan jauh lebih kecil dibanding saat puncak erupsi di pertengahan Januari 2014 silam yang bisa mencapai 3.796 ton/hari. Berkurangnya pasokan magma juga terlihat dari data deformasi, yang cenderung memperlihatkan terjadinya deflasi (pengempisan) tubuh gunung meski nilainya pun berfluktuasi.
[caption id="attachment_331384" align="alignnone" width="599" caption="Gambar 1. Gunung Sinabung yang anggun dengan gas-gas vulkanik mengepul sebagai asap melalui kawah-kawahnya, diabadikan oleh Kristianto pada 26 November 2013. Mulai 8 April 2014 status gunung ini telah diturunkan dari yang semula Awas (Level IV) menjadi Siaga (Level III). Sumber: Kristianto, 2013 dalam ESDM, 2014. "][/caption]
Dengan diturunkannya status Gunung Sinabung, maka pada awal April 2014 ini tak ada lagi gunung berapi Indonesia yang menduduki peringkat status tertinggi. Dari 23 buah gunung berapi Indonesia yang beraktivitas di atas normal, 20 di antaranya menempati status Waspada (Level II) sementara 3 sisanya (yakni Gunung Sinabung di Sumatra Utara serta Gunung Karangetang dan Lokon di Sulawesi Utara) berada dalam status Siaga (Level III). Penurunan status Gunung Sinabung membuat sebagian besar pengungsi diperkenankan kembali ke tempat tinggalnya masing-masing. Terkecuali penduduk 7 desa (Sukameriah, Bekerah, Simacem, Guru Kinayan, Kutatunggal, Berastepu, Gamber) dan 1 dusun (Sibintun) yang tetap harus tinggal di pengungsian karena tempat tinggal mereka masih terlalu dekat dengan kawah aktif di puncak (yakni dalam jarak kurang dari 3 km) ataupun berada di sektor tenggara sehingga terlalu dekat dengan lidah lava.
Lidah Lava
Semenjak awal 2014 Gunung Sinabung memperlihatkan perkembangan baru. Magma Sinabung memang menyeruak di dalam kawah aktif menjadi kubah lava, yang telah berkali-kali longsor dan menghasilkan awan panas guguran. Salah satunya bahkan menciptakan peristiwa memilukan 1 Februari 2014, kala 17 orang meregang nyawa oleh terjangan awan panas guguran saat mereka berada di dalam daerah terlarang. Namun magma yang menyeruak menjadi lava juga mengalir turun ke arah tenggara dalam jumlah besar. Ia turun melintasi lereng gunung yang sama dengan tempat awan panas Sinabung melanda selama ini. Lavanya pekat sehingga gerakannya pelan dan seluruhnya mengalir di lereng yang sama sembari mulai membeku sehingga nampak sebagai lembaran besar cukup tebal. Inilah fenomena lidah lava. Lidah lava merupakan ciri khas sebuah gunung berapi yang tak lagi mempunyai penghalang dalam saluran magmanya. Sehingga magma langsung keluar dan meleler ke lereng bersamaan dengan terlepasnya gas-gas vulkanik tanpa harus mengakumulasi tekanannya terlebih dahulu.
[caption id="attachment_331385" align="alignnone" width="632" caption="Gambar 2. Kiri: citra satelit Earth Observatory-1 (EO-1) melalui instrumen Advanced Land Imager (ALI) pada kanal cahaya tampak terhadap Gunung Sinabung dan lingkungan sekitarnya, yang diambil pada 6 Februari 2014. Nampak kawah di puncak gunung terus mengepulkan gas-gas vulkanik. Lidah lava pun terlihat jelas (tanda panah) dan telah mengalir sejauh sekitar 1,5 km dari kawah aktif menyusuri endapan awan panas guguran (pyrocalstic flow deposits). Kanan: panorama lidah lava Sinabung pada 6 April 2014. Garis-garis menunjukkan perkembangan lidah lava dari waktu ke waktu. Sumber: NASA, 2014; PVMBG, 2014. "]
[/caption]
Hingga 13 Maret 2014, lidah lava Sinabung telah mengalir sejauh 2,4 km dari kawah aktif. Hampir sebulan berikutnya lidah lava yang sama telah beringsut menjauh hingga mencapai 2,5 km dari kawah aktif. Seperti halnya kubahlava, lava yang mulai membeku di dalam lidah lava pun dapat ambrol/gugur sewaktu-waktu baik oleh faktor internal maupun eksternal di bagian-bagian tertentu. Guguran tersebut dapat menghasilkan awan panas guguran. Secara umum guguran bagian tertentu lidah lava akan menjalar sejauh 100 hingga 300 meter dari sumbernya. Eksistensi lidah lava di lereng tenggara Gunung Sinabung-lah yang membuat penduduk desa-desa di sekitar lereng ini belum diperkenankan kembali ke tempat tinggal mereka masing-masing. Mengingat radius hingga 5 km ke tenggara dari kawah aktif masih menjadi daerah terlarang yang selalu terancam oleh awan panas guguran terutama dari lidah lava.
Selain lidah lava, aktivitas Gunung Sinabung semenjak September 2013 juga menunjukkan perkembangan lain yang menarik. Pada arah yang berseberangan terhadap arah lidah lava, yakni lereng utara-barat laut khususnya dalam sebuah garis imajiner penghubung kawah aktif dengan Danau Lau Kawar, terbentuk sebuah retakan panjang yang terus mengepulkan asap. Retakan ini terbentuk lebih awal dibanding lidah lava, yakni pada 15 Oktober 2013. Retakan memanjang memang bukan hal baru di Gunung Sinabung. Tepat di sebelah utara retakan memanjang ini terdapat retakan memanjang lain yang lebih dulu ada, terbentuk entah kapan, dan menjadi deposit belerang yang ekonomis sehingga sempat ditambang oleh penduduk setempat. Retakan memanjang ini diperkirakan terbentuk sebagai kombinasi akan lemahnya tubuh gunung (seperti terlihat dari terjadinya alterasi belerang) dengan kuatnya tekanan gas vulkanik pada saat itu. Pada umumnya retakan memanjang di lereng gunung yang terbentuk saat sebuah gunung berapi dalam tahap letusan merupakan pertanda dari letusan samping, yakni letusan yang bersumber dari kawah baru yang terletak di lereng gunung bukan di puncaknya. Namun entah kenapa letusan samping tak terjadi di Gunung Sinabung. Sebaliknya gunung berapi ini justru memuntahkan seluruh awan panas dan lavanya ke arah tenggara, berkebalikan dengan posisi retakan memanjang tersebut.
Retakan memanjang itu memberikan gambaran baru perilaku Gunung Sinabung. Tepat di kaki gunung sebelah utara-barat laut terdapat sebuah perairan tawar berupa Danau Lau Kawar. Semula cekungan besar yang menjadi tempat danau ini berada disangka sebagai bekas kawah maar dari aktivitas Gunung Sinabung nun jauh di masa silam yang kemudian tergenangi air. Belakangan muncul pula opini cekungan tersebut adalah jejak pergerakan sesar sekunder yang masih terhubung di sistem sesar besar Sumatra. Namun pendapat yang lebih dominan seperti misalnya yang dikemukakan Syamsul Rizal Wittiri dan Indyo Pratomo, dua vulkanolog Indonesia, memprakirakan cekungan tempat Danau Lau Kawar ini adalah produk erupsi lateral. Erupsi lateral adalah letusan samping berskala besar dengan tekanan cukup kuat sehingga mampu melongsorkan sebagian lereng gunung sisi utara. Material longsoran terkumpul di kaki gunung sebagai tanggul alamiah dalam bentuk setengah lingkaran sehingga terbentuklah cekungan yang lama-kelamaan digenangi air sebagai danau. Erupsi lateral adalah erupsi yang lumrah dijumpai pada gunung-gemunung berapi Indonesia pada salah satu tahap perkembangannya. Di masa silam erupsi lateral pernah terjadi misalnya di Gunung Papandayan (1772), Galunggung (kurang lebih 4.000 tahun silam) dan Slamet. Umumnya erupsi lateral menyebabkan wajah gunung berubah dramatis ditandai oleh terbentuknya kaldera tapalkuda. Hanya saja skala erupsi lateral di Gunung Sinabung masa silam kemungkinan lebih kecil. Posisi retakan memanjang baru tersebut, demikian pula retakan memanjang sumber belerang yang telah ada sebelumnya, nampaknya tepat berada di bekas areal erupsi lateral masa silam.
[caption id="attachment_331386" align="alignnone" width="652" caption="Gambar 3. Kiri: pemandangan kubahlava Sinabung pada 13 Januari 2014 saat sebagian massanya telah longsor menjadi awan panas guguran. Nampak lava segar terus menyeruak dan menumpuk di puncak kubah. Sementara di tepi kubah lava mulai meluber dari pinggir kawah dalam keadaan panas membara. Lava yang meluber inilah yang di kemudian hari menjadi lidah lava. Kanan: titik-titik semburan asap di sepanjang retakan memanjang di lereng utara-barat laut gunung, yang mengarah ke Danau Lau Kawar. Sumber: ESDM, 2014; Wittiri, 2014 dalam Geomagz, 2014. "]
[/caption]