Senja menjelang tiba di segenap Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah, pada Jumat 12 Desember 2014 Tarikh Umum (TU) lalu. Dalam kondisi normal panoramanya bakal memukau siapa pun, saat langit berangsur-angsur menjadi memerah tembaga di kala matahari memerah dan meredup, pemandangan yang selalu menimbulkan kesan spiritual dan religius. Namun sore itu tak satu pun yang dapat disaksikan. Bahkan seberkas sinar matahari tak juga nampak. Banjarnegara sedang kehujanan. Titik-titik air hujan yang sangat deras meredam segenap kabupaten tersebut sejak sehari sebelumnya. Stasiun geofisika kelas III Banjarnegara yang dioperasikan oleh BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika) mencatat curah hujan sepanjang Kamis 11 Desember 2014 TU mencapai 112,7 milimeter. Dan sehari kemudian curah hujannya masih sebesar 101,8 milimeter. Dalam dua hari saja intensitas hujan yang mengguyur seantero Banjarnegara telah sebesar 214,5 milimeter. Di waktu-waktu lalu, pada umumnya curah hujan sebanyak itu membutuhkan waktu sebulan Desember penuh (rata-rata) dalam menjatuhi segenap Banjarnegara. Jelas sudah, dengan volume air hujan yang setara dengan yang rata-rata diguyurkan selama 31 hari penuh, hujan sepanjang 11 hingga 12 Desember 2014 di Banjarnegara berkualifikasi hujan sangat deras atau hujan ekstrem. [caption id="attachment_382963" align="aligncenter" width="581" caption="Gambar 1. Wajah dusun Jemblung, desa Sampang (Banjarnegara) antara sebelum dan sesudah bencana tanah longsor dahsyat 12 Desember 2014 TU. Citra sebelum bencana diambil dari sisi utara jalan raya Banjarnegara-Dieng menghadap ke barat laut-utara. Nampak masjid al-Iman di latar belakang. Sementara citra sesudah bencana diambil dari lokasi yang lebih tinggi namun tidak seberapa jauh dari lokasi pengambilan citra sebelum bencana, dengan arah pandang yang sama. Nampak semua sudah berubah menjadi timbunan lumpur. Sumber: Nurmansyah, 2014."][/caption] Hujan yang sangat deras ini membuat sekujur Banjarnegara menggigil dan berharap-harap cemas. Kabar meluapnya Sungai Serayu, sungai utama di kabupaten ini, sembari mengalirkan arusnya demikian deras pun menyebar ke mana-mana. Sedemikian berlimpah air sungai ini sehingga tinggi genangan di Waduk Panglima Besar Sudirman (Mrica), yang ada di aliran Sungai Serayu, pun mencapai maksimum dalam waktu singkat. Akibatnya pengelola dipaksa membuka pintu-pintu pelimpas air (spillway)-nya untuk tetap menjaga keamanan bendung. Air Serayu pun menderas ke hilir dan sempat menenggelamkan sejumlah rumah. Kabar tak berkeruncingan pun menyebar ke mana-mana, mewartakan waduk telah bobol dan menenggelamkan hilir sungai meski hal ini segera dibantah oleh pengelola bendungan. Titik-titik tanah longsor pun bermunculan di mana-mana di kabupaten ini. Namun yang terburuk belumlah tiba. Pada Jumat senja itu mayoritas penduduk Dusun Jemblung, Desa Sampang, Kecamatan Karangkobar lebih memilih meriung di kediamannya masing-masing. Hujan sangat deras hari itu baru saja berlalu. Namun titik-titik air yang lebih lembut masih berjatuhan, membuat orang-orang enggan keluar. Dusun sederhana berhawa sejuk itu terletak pada elevasi 930 hingga 940 meter dpl (dari paras air laut rata-rata). Mayoritas penduduk bergelut di dunia pertanian. Dusun ini nyaris tak dikenal orang luar Karangkobar, meski berada di jalur jalan raya utama yang menghubungkan Kota Banjarnegara dengan Leksana (ibu kota Kecamatan Karangkobar) dan Dataran Tinggi Dieng. Jalan raya yang sama juga menjadi salah satu poros penghubung Banjarnegara dengan Pekalongan di utara. Jalan tersebut telah beraspal mulus dengan kualitas baik, meski naik turun dan penuh tikungan. Terdapat sekitar 150 rumah di dusun ini. Desa Sampang sendiri berpenduduk lebih dari 2.000 jiwa dengan 1.805 orang di antaranya terdaftar sebagai pemilih dalam daftar pemilih tetap Pilpres 2014 lalu seperti dipublikasikan KPU (Komisi Pemilihan Umum). [caption id="" align="aligncenter" width="581" caption="Gambar 2. Panorama dusun Jemblung, desa Sampang (Banjarnegara) dari langit dalam citra Google Earth pra bencana. Nampak bentangan jalan raya Banjarnegara-Dieng/Banjarnegara-Pekalongan, sungai Petir dan masjid al-Iman. Sumber: Sudibyo, 2014 dengan basis Google Earth. "]
[/caption] Situasi berubah dramatis pada pukul 17:00 WIB. Didahului suara mirip ledakan keras hingga dua kali, lereng sisi utara Gunung Telagalele yang persis ada di hadapan dusun ini mendadak longsor. Materialnya mengalir deras tak tertahankan ke kaki gunung. Hampir segenap dusun beserta penduduknya kontan terkubur di bawah timbunan lumpur tebal. Longsor dahsyat ini juga menimbun jalan raya beserta kendaraan apa pun yang sedang melintasinya saat itu. Hanya dalam lima menit, lansekap yang semula indah kini berubah menjadi timbunan tanah yang mengerikan. Luas kawasan yang terkena hantaman longsor dalam bencana dahsyat ini mencapai tak kurang dari 15 hektar dan sebagian menyumbat Sungai Petir, salah satu anak Sungai Merawu dalam DAS (daerah aliran sungai) Serayu. Hingga Minggu 13 Desember 2014 TU, tim evakuasi yang kini sudah beranggotakan lebih dari 2.000 orang dari segenap eksponen relawan telah menemukan 42 jasad korban. Dari perkiraan 108 jasad yang terkubur, maka masih ada 66 orang yang belum ditemukan. Ribuan penduduk baik dari Desa Sampang maupun desa-desa sekitarnya telah diungsikan ke tempat-tempat pengungsian sementara, seiring Bukit Telagalele dan bukit-bukit lainnya di sini yang masih labil. Nama Jemblung dan Sampang pun sontak menjadi episentrum perhatian hingga skala nasional. Lempung dan Napal Skala kedahsyatan bencana longsor Jemblung (Sampang) 2014 ini menggamit kembali ingatan akan sejumlah bencana sejenis yang menerpa Banjarnegara dalam setengah abad terakhir. Misalnya bencana longsor Gunungraja (Sijeruk) 2006, yang terjadi pada 4 Januari 2006 TU dan merenggut 90 nyawa dengan 76 jasad korban berhasil ditemukan dan 14 sisanya tetap hilang. Atau bencana longsor Legetang (Kepakisan) 1955 yang spektakuler, yang terjadi pada 16 April 1955 TU akibat ambrolnya lereng Gunung Pengamun-amun di Dataran Tinggi Dieng dan menimbun tak kurang dari 351 orang. Ketiga bencana longsor dahsyat itu pun harus disandingkan pula dengan bencana longsor dalam skala yang lebih kecil lainnya di Banjarnegara. Dalam kurun lima tahun terakhir, kabupaten ini berhadapan dengan 15 peristiwa tanah longsor atau rata-rata tiga peristiwa longsor per tahun. Semua bencana longsor menimbulkan kerugian material yang besar dan beberapa di antaranya bahkan merenggut korban jiwa, meski tak sefantastis bencana longsor dahsyat Legetang, Gunungraja, dan Jemblung. Pada saat yang sama dengan bencana longsor dahsyat Jemblung ini, Banjarnegara pun sedang berhadapan dengan tak kurang dari 66 titik longsor lainnya. Mengapa bencana tanah longsor seakan jadi penyakit kambuhan bagi Banjarnegara? [caption id="" align="aligncenter" width="581" caption="Gambar 3. Panorama dusun Jemblung, desa Sampang (Banjarnegara) dalam citra Google Earth pra bencana ke arah timur-timur laut. Tanda panah kuning menunjukkan arah gerakan tanah saat bencana longsor dahsyat 12 Desember 2014 TU. Sementara garis putus-putus menandakan perkiraan batas daerah yang tertimbun tanah dalam bencana tersebut. Sumber: Sudibyo, 2014 dengan basis Google Earth. "]
[/caption] Faktor utamanya terletak pada geologi Banjarnegara yang unik, khususnya kawasan Karangkobar-Merawu yang menjadi bagian sub-DAS Merawu. Kawasan ini merupakan bagian dari mandala Pegunungan Serayu Utara yang topografinya relatif bergelombang yang lereng-lerengnya setengah terjal hingga terjal. Segenap kecamatan Karangkobar terletak di dalam pegunungan ini, dengan gunung-gunungnya memiliki kemiringan lereng antara 15 hingga 40%. Kawasan Karangkobar-Merawu ini dialasi oleh batuan sedimen lempung dan napal hasil rombakan gunung berapi jauh di masa silam. Permukaannya ditutupi tanah hasil pelapukan yang cukup tebal. Hal ini masih ditambah dengan tercabik-cabiknya kawasan Karangkobar-Merawu akibat aktivitas tektonik nun jauh di masa silam, yang membuat kawasan ini dibelah-belah dan ditekan hebat demikian rupa oleh beragam sesar (patahan) yang saling bersilang-siur dan aktif pada masanya. Kini sesar-sesar itu telah lama mati, namun imbasnya masih bisa dirasakan dalam wujud rapuhnya lempung dan napal yang mengalasi kawasan Karangkobar-Merawu. Lempung dan napal tersebut cukup sarang sehingga mampu menyimpan air namun juga membuatnya mudah longsor bila kandungan airnya telah jenuh. Kekhasan ini masih ditambah dengan terus bergeraknya kawasan Karangkobar-Merawu akibat desakan dari dalam dari arah selatan. Desakan yang masih terus berlangsung membuat lempung dan napal seakan diremas-remas. Sejumlah gunung batu relatif padat, yang adalah sisa intrusi magmatik nun jauh di masa silam dan relatif tahan terhadap pengikisan oleh cuaca, pun turut terdorong oleh desakan tersebut hingga terputus dari akarnya. Situasi ini kian menambah rapuh lempung dan napal di segenap kawasan Karangkibar-Merawu. Tak heran jika tingkat erosi di sini demikian tinggi, bahkan meskipun vegetasi (tumbuhan) berkayu yang rapat masih menutupi lereng-lerengnya dengan baik. Tanah pucuk (topsoil) yang dihanyutkan air lantas mengalir ke sungai-sungai kecil yang menjadi bagian sub-DAS Merawu. Hampir tiga perempat abad silam geolog legendaris van Bemmelen menyebut Sungai Merawu adalah sungai paling berlumpur di Indonesia. Tingginya erosi di sub-DAS Merawu memberikan kontribusi cukup besar bagi sedimentasi Waduk Panglima Besar Sudirman. Setiap tahunnya waduk ini dimasuki sedimen sebanyak 2,4 juta meter kubik. Sedimentasi tersebut setara dengan lumpur/tanah yang diangkut 1.300 dump truck kapasitas 5 meter kubik dalam setiap harinya. Selain erosi yang sangat tinggi, kekhasan kawasan Karangkobar-Merawu juga menjadikannya kawasan yang sangat rentan terhadap bencana tanah longsor baik dalam skala kecil maupun besar. Tak heran jika PVMBG (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi) menempatkan mayoritas Kecamatan Karangkobar ke dalam zona kerentanan gerakan tanah menengah (zona kuning) dan tinggi (zona merah). [caption id="" align="aligncenter" width="581" caption="Gambar 4. Peta zona kerentanan gerakan tanah untuk kecamatan Karangkobar dan sekitarnya dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. Lingkaran merah menunjukkan lokasi bencana tanah longsor dahsyat Jemblung (Sampang) 2014. Nampak lokasi bencana dan sekitarnya didominasi oleh zona rentan gerakan tanah menengah (zona kuning) dan zona rentan gerakan tanah tinggi (zona merah). Sumber: PVMBG, t.t. "]
[/caption] Bencana tanah longsor dahsyat di kawasan Karangkobar-Merawu umumnya disebabkan akumulasi air hujan dalam lereng setengah terjal hingga terjal sampai mencapai titik jenuh. Selain menambah bobot lereng, akumulasi air juga membuat bagian bawah tanah lereng tersebut seakan dilumasi sehingga menciptakan bidang gelincir. Begitu lereng tak lagi sanggup menahan bobotnya sendiri, bidang gelincir membuat proses melorotnya lereng menjadi lebih mudah. Jika bidang gelincirnya berbentuk cekung, maka tanah longsor bertipe rotasional pun terjadilah. Longsor rotasional cukup khas karena mengandung energi besar sehingga saat segenap lereng merosot, ia mampu meloncatkan kaki lereng (lidah longsor) hingga beberapa puluh atau bahkan beberapa ratus meter dalam kecepatan cukup tinggi sebelum menyentuh tanah. Sementara puncak lereng (mahkota longsor) mungkin hanya beringsut beberapa meter hingga beberapa puluh meter. Loncatan ini sangat sulit dihindari. Namun bencana tanah longsor dalam skala besar tidaklah terjadi sekonyong-konyong. Selalu terdapat gejala pendahuluan sebelum peristiwa utamanya terjadi, dalam rupa terbentuk retakan-retakan di bagian atas lereng yang kemudian terus berkembang memanjang dan kian dalam menjadi retakan lengkung/retakan bulan sabit/retakan tapal kuda. Dari retakan inilah air hujan lebih mudah memasuki lereng dan terakumulasi. Tatkala hal ini sudah terjadi, bencana tanah longsor tinggal menunggu waktu. [caption id="" align="aligncenter" width="581" caption="Gambar 5. Tiga lokasi dalam Kabupaten Banjarnegara yang pernah dilanda bencana tanah longsor dahsyat hingga melenyapkan hampir segenap dusun. Masing-masing adalah dusun Legetang desa Kepakisan (kecamatan Batur), dusun Gunungraja desa Sijeruk (kecamatan Banjarmangu) dan dusun Jemblung desa Sampang (kecamatan Karangkobar). Sumber: Sudibyo, 2014 dengan basis Google Earth. "]
[/caption] Legetang dan Gunungraja Hal tersebut teramati dalam bencana tanah longsor dahsyat Legetang 1955. 70 hari sebelum bencana terjadi, retakan sudah mulai terlihat di dekat puncak Gunung Pengamun-amun (elevasi 2.000 meter dpl) yang berjarak sekitar 500 meter sebelah timur Dusun Legetang, Desa Kepakisan. Para pencari rumput dan kayu bakar di gunung yang saat itu tertutupi hutan lebat pun telah mengetahuinya. Kian lama retakan tersebut kian melebar dan juga kian dalam, mengarah ke sisi tenggara. Retakan yang terus berkembang ini sering menjadi bahan obrolan sehari-hari penduduk Dusun Legetang, yang terletak pada elevasi sekitar 1.800 meter dpl. Namun tak ada yang merasa khawatir atau menduga terlalu jauh. Situasi berubah dramatis pada pertengahan April 1955 TU. Setelah diguyur hujan lebat selama berhari-hari, lereng sisi tenggara Gunung Pengamun-amun telah demikian berat dan terlumasi dasarnya sehingga merosot ambrol dalam volume sangat besar. Penyelidikan geolog MM Purbo dari Jawatan Geologi (kini Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral RI) memperlihatkan kombinasi longsor bertipe rotasional dengan halangan bukti kecil di hadapannya membuat membuat lidah longsor meloncat jauh. Ia juga membentur bukit di hadapannya. Hingga akhirnya material longsor pun terbelokkan ke Dusun Legetang setelah meloncati sebatang sungai kecil jelang tengah malam 16 April 1955 TU. Segenap dusun ini pun terkubur di bawah timbunan tanah yang sangat tebal beserta 332 penduduknya dan 19 orang dari desa lain yang sedang bertamu ke dusun tersebut. [caption id="" align="aligncenter" width="581" caption="Gambar 6. Bagaimana bencana tanah longsor dahsyat Legetang (Kepakisan) 1955 terjadi, dalam ilustrasi berbasis citra Google Earth. Saat lereng tenggara Gunung Pengamun-amun hingga hampir ke puncaknya merosot dengan tipe rotasional (panah kuning tak terputus), materialnya segera membentur bukit dihadapannya. Sehingga berbelok arah menjadi mengubur dusun Legetang (panah kuning putus-putus). 351 orang tewas dan hanya 1 jasad yang berhasil dievakuasi. Sumber: Sudibyo, 2014 dengan basis Google Earth dan Abdrurrahman, 2013. "]
[/caption] Bentang lahan Legetang pun berubah dramatis dari semula cekungan di sebuah lembah menjadi gundukan sedikit membukit. Dari 351 korban jiwa itu, hanya jasad kepala dusun yang berhasil dievakuasi. Sisanya terlalu sulit untuk digali akibat tebalnya timbunan tanah. Bencana dahsyat ini sontak menggemparkan masyarakat Banjarnegara khususnya di Dataran Tinggi Dieng. Penduduk segera menghubung-hubungkan bencana ini dengan sikap warga dusun Legetang, yang jauh dari kehidupan religius. Kini di 'bukit' yang menimbun Legetang terdapat sebuah tugu beton sebagai pengingat akan bencana yang paling mematikan di Dataran Tinggi Dieng dan Banjarnegara. Hal serupa juga terjadi jelang bencana longsor dahsyat Gunungraja. Bahkan retakan di lereng bukit Pawinihan sudah terdeteksi semenjak 2004, atau dua tahun sebelumnya. Retakan tersebut terus berkembang dan melebar akibat erosi parit. Hingga dua minggu jelang bencana, retakan ini telah sepanjang 25 meter dengan lebar 1 hingga 2 meter sedalam 4 meter. Lebih tak menguntungkan lagi, erosi parit juga membuat ujung parit ini terbendung oleh material erosi sehingga air tak leluasa mengalir. Namun sepanjang waktu itu tidak ada langkah antisipasi. Meski demikian hingga November 2005 TU bencana relatif terhindarkan seiring masih seimbangnya arus keluaran air (lewat kemampuan tanah bukit untuk menyerap air) dengan arus masukan air (dari air hujan). Situasi berubah dramatis pada November 2005 TU saat tanah di kaki bukit diperkeras dengan aspal sebagai jalan raya lokal yang menghubungkan Dusun Gunungraja Wetan dengan Dusun Kendaga, keduanya dalam wilayah Desa Sijeruk. Pengaspalan jalan lokal ini jelas bertujuan baik, untuk memperlancar arus transportasi setempat dengan efek multidimensinya. Namun dalam analisis pascabencana yang dilakukan tim Dewan Riset Daerah (DRD) Jawa Tengah, pengaspalan jalan di kaki bukit membuat keseimbangan terganggu. Kini arus masukan air menjadi lebih besar dari arus keluarannya. Puncaknya terjadi pada selang waktu antara 27 Desember 2005 hingga 4 Januari 2006 TU, saat Banjarnegara diguyur hujan lebat. Masukan air di lereng bukit Pawinihan itu pun meningkat hebat tanpa diimbangi oleh peningkatan kemampuan keluaran air. Lereng yang jenuh air membuat bobotnya bertambah besar sembari menciptakan bidang gelincir didasarnya. Maka bencana tanah longsor dahsyat pun terjadilah, tak peduli bahwa lereng bukit itu masih tertutupi tumbuh-tumbuhan berakar tunggang dengan baik. Sebagian Dusun Gunungraja pun lenyap di bawah timbunan tanah, yang merenggut nyawa 90 orang dari sekitar 600 orang penduduknya. [caption id="" align="aligncenter" width="581" caption="Gambar 7. Bagaimana bencana tanah longsor dahsyat Gunungraja (Sijeruk) 2006 terjadi, dalam ilustrasi berbasis citra Google Earth. Saat lereng timur Bukit Pawinihan merosot dengan tipe rotasional (panah kuning)materialnya segera meloncat dan mengubur dusun Gunungraja. 90 orang tewas dan 76 jasad yang berhasil dievakuasi. Sumber: Sudibyo, 2014 dengan basis Google Earth dan data dari Sutopo & Wilonoyudho, 2006. "]
[/caption] Bagaimana dengan longsor dahsyat Jemblung? Relawan MDMC (Muhammadiyah Disaster Management Centre) yang sempat melakukan assessment sebelum bencana menyebutkan telah ada retakan di lereng utara Gunung Telagalele semenjak sebulan sebelum bencana. Retakan tersebut bahkan telah berkembang seiring datangnya musim penghujan. Berkaca dari pengalaman longsor dahsyat Gunungraja, yang hanya berjarak 5 kilometer di selatan Dusun Jemblung, maka sejumlah langkah antisipasi telah dilakukan. Penduduk yang bermukim di rumah-rumah yang persis ada di bawah retakan pun telah dievakuasi. Dapat dikatakan bahwa penduduk Dusun Jemblung telah mengetahui potensi longsor tersebut dan telah melakukan antisipasi. Satu hal yang belum jelas benar adalah seberapa jauh longsor yang bakal terjadi itu melanda. Anggapan yang berkembang, longsor yang bakal terjadi mungkin berskala kecil hingga sedang. Sehingga evakuasi hanya dilakukan di rumah-rumah di lereng, yang posisinya paling dekat ke retakan. Asumsi ini ternyata tak terbukti. Longsor yang benar-benar terjadi ternyata berskala besar. Analisis tim respon cepat bencana UGM (Universitas Gadjah Mada) menyebut lereng yang longsor berdimensi tinggi 100 meter dan lebar 500 meter. Tipe longsornya mungkin rotasional, yang membuat lidah longsor meloncat dan menerjang hingga sejauh 600 meter. 35 rumah dan 1 masjid (Masjid al-Iman) bersama dengan penggal jalan raya Banjarnegara-Dieng tertimbun material longsor hingga bermeter-meter. Dari 308 penduduknya, 200 orang diantaranya berhasil menyelamatkan diri. Longsor dahsyat Jemblung merupakan yang terbesar di antara 34 titik tanah longsor lainnya yang berhasil ditemukan. Seluruhnya terletak di kawasan Karangkobar. [caption id="" align="aligncenter" width="581" caption="Gambar 8. Panorama dusun Jemblung, desa Sampang (Banjarnegara) dan Gunung Telagalele dalam ilustrasi berbasis citra Google Earth dengan arah pandang ke selatan. Garis putus-putus menunjukkan perkiraan posisi asal material longsor. Tanda panah kuning menunjukkan arah gerakan tanah dalam bencana longsor dahsyat tersebut. Sumber: Sudibyo, 2014 dengan basis Google Earth dan keterangan Azizah, 2014. "]
[/caption] Pascabencana, tim kaji cepat yang beranggotakan UGM, BMKG, PVMBG, LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) dan lainnya memperlihatkan potensi bencana masih tetap membayangi Dusun Jemblung ke depan. Potensi pertama datang dari material longsoran yang sebagian membendung Sungai Petir. Jika hujan deras, bendungan ini akan menghalangi air sungai untuk beberapa saat sebelum kemudian jebol menjadi banjir bandang. Sementara potensi kedua datang dari mahkota longsor. Di sini terdapat telaga sepanjang 30 meter yang digenangi air hingga sedalam 1 meter. Bila hujan deras kembali mengguyur, air dalam telaga ini dapat menekan tanah di bawahnya yang telah demikian lunak dan rapuh sehingga longsor dapat kembali terjadi. Bahkan dalam prediksi terburuk, skala bencananya bisa melampaui apa yang barusan Dusun Jemblung alami! Antisipasi Dalam bencana tanah longsor pada umumnya, sedikitnya ada tiga faktor yang berkontribusi. Dalam kasus Banjarnegara khususnya di kawasan Karangkobar-Merawu, faktor pertama adalah kondisi geologi yang unik. Faktor kedua adalah hujan deras hingga hujan ekstrem. Dan faktor ketiga adalah tersumbatnya drainase sehingga air tidak bisa terbebas dengan leluasa dari lereng yang berpotensi longsor. Faktor pertama dan kedua adalah faktor yang terberi (given), atau sudah dari sononya demikian. Sehingga tak bisa dikendalikan manusia. Namun berbeda dengan faktor ketiga. Manusia dapat mengelola drainase lereng, sehingga tingkat kejenuhan airnya dapat direduksi. Saluran-saluran drainase sederhana dapat dibangun untuk keperluan itu. Di samping itu retakan yang sudah terbentuk harus segera ditimbuni lagi hingga rata. Juga tak boleh ada penggalian baik di lereng maupun kaki lereng, baik kecil-kecilan apalagi besar, atas alasan apa pun. [caption id="" align="aligncenter" width="581" caption="Gambar 9. Citra medan pandang lebar (wide-field) lokasi bencana tanah longsor dahsyat Jemblung (Sampang) 2014, diambil Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi per 13 Desember 2014 TU. Arah pandang ke selatan-tenggara. Nampak posisi mahkota longsor dan telaga/genangan air tepat dibawahnya. Sumber: PVMBG, 2014. "]
[/caption] Bencana tanah longsor senantiasa membayangi Banjarnegara sebagai implikasi dari takdir kebumiannya yang unik. Takdir yang membuat tanah di sini sangat subur dan dapat ditumbuhi beragam tanaman budi daya. Takdir yang juga menjadikannya kawasan berpanorama indah dan sejuk. Jika dikelola dengan baik, dua hal tersebut dapat menjadikan Banjarnegara gemah ripah loh jinawi. Namun high risk high gain, di balik segala keuntungan tersebut tersembunyi pula bakat marabahaya. Di masa beratus hingga ribuan tahun silam, potensi bencana tanah longsor mungkin tak menjadi masalah besar seiring jumlah penduduk yang masih jarang. Namun kini jumlah penduduk telah berlipat ganda, sehingga resikonya semakin besar. Maka patut disambut baik upaya tim UGM beserta institusi lainnya untuk memetakan potensi longsor Banjarnegara hingga ke tingkat dusun (sub-desa). Patut disambut pula gagasan gubernur Jawa Tengah untuk menransmigrasikan lokal penduduk dusun Jemblung yang masih tersisa. Gagasan transmigrasi lokal atau relokasi yang masih tetap berada dalam lingkup Banjarnegara patut dikembangkan tak hanya untuk Dusun Jemblung pasca bencana. Namun juga untuk dusun-dusun lain yang kelak diketahui memiliki potensi longsor yang tinggi. Agar kelak korban tak lagi berjatuhan...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H