Lihat ke Halaman Asli

Martua Intan

Pemerhati Lingkungan Hidup

Korupsi Ibarat Kanker Stadium 4, Bisakah Diobati?

Diperbarui: 22 September 2021   10:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok. Pribadi

Lebih dari 300 Kepala Daerah (Gubernur, Walikota dan Bupati termasuk wakil kepala daerah) yang terjerat kasus korupsi sejak diberlakukannya pemilihan kepala daerah langsung tahun 2005. Sebenarnya akan lebih banyak lagi namun ada beberapa hal yang menjadi penyebab tidak tertangkapnya mereka yang bernasib mujur. 

Pertama, daerah yang diduga terjadinya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) tersebut tidak terlalu menarik diungkap, bisa jadi terpencil, tidak populer. Kedua, keterbatasan aparat untuk memprioritaskan daerah tertentu sebagai sasaran OTK. Ketiga, rapinya birokrasi setempat, unsur lembaga kemasyarakatan, dan kebiasaan yang menghalalkan memberikan komisi atau fee (Tahu Sama Tahu) untuk melegalkan praktik-praktik KKN tersebut.

Uniknya kita selama ini hanya pintar berwacana, dari semua pihak yang sepertinya peduli dengan pemberantasan praktik-praktik korupsi, kolusi dan nepotisme di segala lini kehidupan berbangsa dan bernegara. Ada yang bilang, tindakan pencegahan menjadi ujung tombak mengurangi praktik korupsi baik dengan aturan, sosialisasi bahkan seminar-seminar yang seakan memberikan angin segar. 

Lucunya kita mendengar beberapa kepala daerah bahkan mendapat penghargaan atas usaha-usahanya mendorong pemerintahan daerah yang bersih, tidak beberapa lama kemudian terkena OTK oleh penegak hukum. Menjadi pertanyaan kita bersama, dimana letak kesalahannya. Apakah sistemnya yang salah, tidak juga. 

Perundang-undangan untuk pencegahan korupsi sudah dibuat sedemikian rupa. Atau pelaksana dalam hal kepala daerah beserta jajarannya yang tidak memililiki integritas. 

Hal ini bisa diperdebatkan. Namun umumnya kepala daerah yang terpilih adalah tokoh-tokoh yang populer di pemilihnya, walau tidak sedikit yang memang diset untuk mengamankan beberapa kepentingan misalnya kepentingan bisnis, oligarki kekuasaan berharap sang kepala daerah ini sebagai jalan masuk menguasai segala sumber daya daerah tersebut.

Kalau berkaca, anggaplah setelah orde baru berkuasa hingga kini (55 tahun) dan melihatnya sampai hari ini banyak kepala daerah tertangkap akibat KKN yang mereka lakukan, sebaiknya dilakukan rombakan besar-besaran terhadap sistem pemerintahan daerah. 

Tidak cukup DPR saja yang mengodok sistem tersebut, namun semua pemangku kepentingan harus duduk bersama dalam merombak secara besar-besaran sistem pemerintahan daerah. Tujuannya adalah untuk memangkas terlalu besar kekuasaan kepala daerah dalam mengelola daerahnya. 

Demikian juga dewan legislatif daerah harus juga diawasi oleh masyarakat dalam fungsinya sebagai wakil rakyat pasca pemilihan legislatif. Bilamana tidak berfungsi, bisa saja oleh saran masyarakat ditandai sebagai tidak layak ikut dalam pemilihan legislatif periode berikutnya.

Slogan mewujudkan pemerintahan daerah yang bersih (good governmance) jangan hanya menjadi pajangan, namun kenyataannya uang yang seharusnya digunakan untuk mensejahterakan rakyat dipakai untuk kepentingan pribadi dan konco-konconya dari kepala daerah yang bersangkutan. Bahkan istilah rampok lebih cocok disemat kepada mereka daripada kata maling.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline