Lihat ke Halaman Asli

Martua Intan

Pemerhati Lingkungan Hidup

Mengapa Politik Indonesia Tidak Naik Kelas?

Diperbarui: 5 Oktober 2020   17:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dibanding negara-negara yang berada di Asia dan Afrika, Indonesia adalah negara pelopor demokrasi di dunia. Setelah 10 tahun merdeka di tahun 1945, tepatnya tahun 1955 kita melaksanakan pemilihan umum pertama kalinya. Bahkan tercatat ada 52 partai politik peserta pemilihan umum tahun itu. Artinya pelaksanaan demokrasi telah berjalan hampir 65 tahun dengan naik turunnya peserta pemilu setiap beberapa kali penyelenggaraan pesta demokrasi tersebut hingga pemilihan legislatif di tahun 2019 yang lalu.

Seharusnya dengan pengalaman tersebut bangsa ini sudah menjadi soko guru bagi negara-negara yang berada di Asia dalam keberhasilan pesta pemilu dan suasana kehidupan sosial politik di masyarakat pasca pemilu tersebut. Ibarat pertarungan, umumnya hiruk pikuk pertandingan hanya pada saat pesta berlangsung dan saat pemenang diumumkan. 

Setelah itu para peserta akan kembali mempersiapkan pertarungan berikutnya. Ambil contoh saat suatu seri lomba balap motor dalam Moto GP. Bagaimana panasnya suasana sebelum seri berlangsung, saat menentukkan pole position siapa yang terdepan dalam start balapan, saat bertarung dan saat tahu siapa yang menang. Setelah itu kembali kepada kehidupan yang normal.

Seharusnya demokrasi Indonesia harus belajar bahwa suasana pertandingan untuk meraih suara konstituen atau pemilih hanya berlangsung saat dimulainya pesta demokrasi dan saat semuanya tahu siapa yang terpilih dan siapa yang tidak dipilih. Hal itu selayaknya dilakukan bukan saja pada pemilihan legislatif namun juga terhadap pemilihan presiden.

Namun sayang kita mempertontonkan ketidaklayakan kita untuk tidak naik kelas dalam berdemokrasi. Setelah DPR atau DPRD terisi oleh anggota-anggota terpilih, saat Presiden terpilih diumumkan, sungguh miris kita masih menganggap pertarungan belum selesai dan masih seperti berada di lintasan yang sudah sepi dengan hiruk pikuk pesta demokrasi. 

Sebagian kita belum mau menerima apa yang terjadi, berteriak teriak tidak menerima kenyataan bahwa dia kalah. Bayangkan seandainya Hilary Clinton yang secara jumlah suara pemilih memenagkan pilpres Amerika Serikat 2016, namun sesuai aturan atau sistem pemilu di Amerika Serikat, Donald Trumplah pemenangnya. Letupan kecil pasti ada saat itu, tapi secara berangsur-angsur mereka yang berada disisi Hilary Clinton menerima hasil tersebut.

Tapi apa yang dipertontonkan oleh para politisi atau yang mengaku tokoh masyarakat saat ini adalah suatu yang memalukan. Mereka tidak menerima kenyataan apa yang terjadi. Sering berteriak atas nama keadilan  bahwa merekalah yang layak bukan yang menang untuk memerintah.  

Kita akan melihat kedepannya cara-cara tersebut menjadi contoh yang buruk bagi generasi muda yang ada sekarang. Teladan dan contoh seharusnya dipertontonkan oleh politisi dan tokoh masyarakat saat ini, kalau tidak kita tidak pernah naik kelas dalam berdemokrasi.

Suatu ketika seorang  juara tenis Grand Prix Wimbledon diminta bicara setelah memenangkan final yang melelahkan, ia berujar : Saya menikmati pertandingan, saya mengangkat jempol untuk lawan saya atas usaha yang dilakukkannya. Apa balasan sang lawan, yang kalah di final tersebut : ini adalah pertandingan yang melelahkan. Dia pantas menang, dia pantas menerima piala tersebut. Mungkin LAIN WAKTU saya akan mengalahkannya.

Seharusnya para politisi dan yang mengaku tokoh masyarakat kita sering-sering nonton pertandingan tenis atau setidak-tidaknya memegang raket tenis agar tahu artinya sportivitas.

Salam damai dari tanah Borneo.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline