Jiwa dan raga yang selaras merupakan citra diri manusia yang seimbang dalam menata hidup. Perkataan dan perbuatan yang selaras juga menjadi sebuah citra diri manusia yang patut diteledani. Keseimbangan dalam hidup menjadi sarana yang ampuh untuk tujuan hidup yang bermakna.
Pengarang Norman Vincent Peale menyatakan, "Tidak ada yang lebih membingungkan selain orang yang memberi nasihat yang baik tetapi menunjukkan contoh yang buruk." Ini sebuah kontradiktif antara perkataan dan perbuatan, yang seringkali menghasilkan ketidakpercayaan orang lain pada pribadi tersebut bahkan lebih dari itu menimbulkan kekecewaan dan kepedihan hati.
Keteladanan menjadi sesuatu yang esensial dalam hidup ini. Keteladanan memberikan inspirasi dan motivasi bagi siappun yang melihat dan merasakannya dalam komunikasi dan relasi antar pribadi. Menjadi proses yang panjang dan penuh tantangan, tatkala setiap pribadi mengembangkan keteladanan yang seirama antara perkataan dan perbuatan. Sejatinya, perkataan tanpa perbuatan adalah mati, tak berguna, bahkan menjadi tragedi diri yang semakin merapuhkan jiwa dan raga sebagai sosok manusia seutuhnya dan sepenuhnya.
Keteladanan diri bukanlah tentang pencitraan yang merujuk pada motivasi agar dilihat dan dinilai baik oleh orang lain, namun keteladanan diri adalah sebuah manajemen kepemimpinan diri, bagaimana mengolah diri secara berkualitas. Kepemimpinan sejatinya bukan tentang jabatan, tetapi justru kepemimpinan bermula dari memimpin diri sendiri dengan menyelarasakan dan mengembangkan akal budi, nurani, tindakan, dan komitmen diri pada kebaikan dan kebenaran. Itulah dasar atau pondasi kepemimpinan, sebelum memimpin orang lain dalam komunitas maupun jabatan.
Peter F. Drucker, seorang penulis, konsultan manajemen, "ekolog sosial", dan sering disebut sebagai bapak "manajamen modern", menyatakan dengan tegas, "Pemimpin yang efektif bukan soal pintar berpidato dan mencitrakan diri agar disukai. Kepemimpinan tergambar dari hasil kerjanya, bukan atribut-atributnya." Kembali Drucker menggarisbawahi tentang pentingnya keselarasan antara perkataan dan perbuatan dalam hidup ini.
Banyak orang atau pun pejabat yang sangat andal dalam kata-kata dan mencitrakan dirinya sangat baik namun sesungguhnya minim (bahkan kosong) dalam perbuatan (kerja). Ada "pembohongan publik" yang terurai dalam kata-kata, tidak selaras dengan realita ataupun fakta yang ada. Bahkan, ada yang bisa memberikan kata-kata hebat namun tidak bisa menjalankannya, hanya bagus dan manis di mulut. Dalam istilah Jawa disebut dengan "Jarkoni", iso ngujar ra iso nglakoni (bisa berujar/berkata-kata tapi tidak bisa menjalankan).
Perkataan dan perbuatan adalah satu kesatuan, sebuah sinergi hebat dalam membentuk karakter setiap pribadi. Perkataan tanpa perbuatan, hanya akan menjadi hampa tanpa makna. Perbuatan tanpa perkataan, akan menjadi kekacauan karena tidak pernah memahami semua yang terjadi. Keduanya saling mempengaruhi satu sama lain, untuk membangun makna yang berguna.
Konfusius, seorang filsuf abak ke-6 SM, pernah mengatakan, "Knowledge without practice is useless. Practice without knowledge is dangerous." Ilmu pengetahuan tanpa praktik tidak ada gunanya. Amalan tanpa ilmu pengetahuan itu berbahaya. Dalam dunia pendidikan atau pun pembelajaran, pentingnya sinergi yang kontekstual antara pengetahuan dan praktik agar segalanya menjadi berguna dan memiliki dampak positif.
Akhirnya, membangun citra baik sebagai sebuah keteladanan sangatlah penting dalam kehidupan ini dengan mengusahakan keseimbangan antara perkataan dan perbuatan. Lebih dari itu, keteladanan dalam diri juga perlu dikembangkan dengan mengusahakan kesatuan hati dan budi dalam komitmen baik sepanjang hayat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H