Bagaikan batu karang yang terguncang oleh badai, demikian pula para bijaksana tidak akan terpengaruh oleh celaan dan pujian. (Sidharta Gautama)
Celaan dalam kehidupan tak akan terelakkan oleh siapapun di dunia ini selama hati yang iri, dengki, dan memandang negatif orang lain masih tumbuh dan berkembang di dalam sanubari setiap pribadi.
Celaan merupakan reaksi pribadi pada pribadi lain yang dilandasi ketidaksukaan pada sesuatu hal dan ketidaksesuaian dengan kemauan pribadi.
Sebagai sebuah reaksi, celaan tak jarang menjadi habitus negatif yang muncul begitu cepat dan menjadi kesukaan dalam hidup yang memberikan kepuasaan diri sebagai pemenuhan kehausan nafsu yang merusak karakter dan relasi.
Celaan seringkali begitu tajam merusak mentalitas diri dan menyerang diri untuk membunuh karakter setiap orang yang dicela sehingga tak ada lagi penghargaan atas nilai luhur harkat dan martabat sebagai manusia yang berharga.
Orang yang mudah untuk mencela telah menutup kejernihan budinya dan ketulusan hatinya pada berbagai bentuk nafsu-nafsu yang sesungguhnya menjatuhkan manusia pada titik terendah peradaban manusia.
Sejatinya celaan tak akan menghantarkan manusia pada keluhuran budi dan hati, namun sebaliknya menghantarkan manusia pada kebrutalan dan radikalime diri yang menjauhkan dirinya dengan nilai-nilai kemanusiaan yang begitu bermakna dan berdaya guna.
Orang yang dicela akan merasakan berbagai pergolakan batin atas segala kata-kata yang begitu deras menghujam diri dan tak jarang meruntuhkan eksistensi dirinya pada realita diri dan komunitas.
Mereka yang lemah secara mentalitas akan terpuruk dan jatuh dalam rasa frustasi dan rendah diri, atau sebaliknya meledak dalam balasan atas celaan itu yang terkadang juga menjadi tidak lebih baik dari orang yang mencela. Celaan dibalas dengan amarah dan celaan yang juga menyakitkan hati.
Di sisi lain, pujian seringkali menjadi angin segar yang memberikan kegembiraan dan harapan pada kehidupan yang damai, nyaman, tentram, dan penuh kelegaan hati.