Terkadang apa yang dilihat dan dipikirkan manusia, yang tampaknya sama, sesungguhnya memiliki perbedaan yang mendasar dalam kedalaman makna dan prinsip kehidupan yang dihidupinya. Semuanya menjadi nyata dalam keilahian Sang Ilahi itu sendiri.
Mata begitu nyata melihat segala fenomena dan realita kehidupan ini dengan segala kekuatan dan ketajamannya yang mampu membangun persepsi tertentu di dalam pikirannya. Tak jarang apa yang dilihat menjadi kesimpulan dalam pikiran yang bisa benar, bisa juga salah dalam segala tafsirannya. Sesungguhnya hidup itu tidak sesederhana apa yang dilihat oleh mata karena semua yang terlihat itu hanyalah awalan dari sebuah pergulatan batin dalam diri yang melibatkan nurani dan budi.
Seorang pendeta di pedesaan mengunjungi rumah seorang nenek tua anggota jemaatnya. Sambil minum kopi, ia menjawab beberapa pertanyaan yang diajukan oleh nenek itu.
"Mengapa Tuhan begitu sering mengirimkan wabah kepada kita?" tanya si nenek
"Ya, ya, ya ..." jawab pendeta, "Kadang-kadang orang menjadi begitu jahat, hingga perlu disingkirkan. Maka, Yang Maha Baik mengizinkan datangnya wabah."
"Tetapi," tukas sang nenek, "Mengapa begitu banyak orang baik juga disingkirkan bersama yang jahat?"
"Orang-orang baik itu dipanggil untuk menjadi saksi," pendeta menjelaskan.
"Sebab, Tuhan ingin menjalankan pengadilan yang adil bagi setiap jiwa."
Nyata bahwa memahami dan menangkap makna dan nilai-nilai kehidupan ini membutuhkan gerak batin menuju ke kedalaman hati dan budi. Gerak mata dan persepsi sesaat terkadang memberikan kesimpulan yang mengecoh kebenaran realita di dalamnya.
Orang jahat dan orang baik mati seolah-olah tak ada pembeda di antara keduanya sehingga terasa tak ada keadilan dalam kehidupan ini. Kematian sejatinya bukanlah ukuran kebaikan dan kejahatan seseorang, namun semua itu adalah kuasa dan kearifan Sang Ilahi.
Menjadi sebuah kesadaran penuh dalam kehidupan ini bahwa berbuat baik, beriman, bersahaja dalam tutur dan perbuatan, dan selalu bersyukur atas segala anugerah kehidupan hendaknya menjadi habitus kehidupan setiap hari dan setiap saat. Hidup dan mati orang tidak ada yang tahu, karena semuanya adalah kuasa-Nya.
Namun setiap orang tahu dan sadar bahwa melakukan kebaikan dan kebajikan adalah pengalaman dan pengamalan yang bijaksana dalam kehidupan ini. Beriman kepada-Nya adalah sebuah kemutlakan atas segala kasih-Nya yang begitu besar.
Saatnya untuk kembali ke kandang, diri kita masing-masing, untuk melihat kembali ke dalam diri kita masing-masing, mengoreksi batin dan hidup kita setiap saat, apakah kita hidup dalam belenggu mata dan persepsi belaka ataukah juga melibatkan secara aktif nurani dan suara hati kita dalam setiap detik kehidupan kita? Biarkan suara hati itu selalu menggerakkan jiwa sehingga hidup kita menjadi kesempatan untuk memuliakan Sang Pencipta.
Kembali ke Kandang, adalah sebuah permenungan hidup di malam hari menjelang menuju pembaringan jiwa dan raga setelah seharian merangkai kisah kehidupan lewat segala dinamika yang ada. Terinspirasi dari buku "Burung Berkicau" karya Anthony de Mello SJ (1984, Yayasan Cipta Loka Caraka), renungan malam dalam bingkai "Kembali ke Kandang" ini mencoba memaknai hidup yang penuh makna ini sehingga hidup menjadi lebih hidup lewat kutipan kisah penuh makna dari Anthony de Mello.
@Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H