Lihat ke Halaman Asli

FX Aris Wahyu Prasetyo Saris

Menikmati menulis dan membaca dalam bertualang makna kehidupan menuju kebijaksanaan abadi.

Pendidikan Humanis (9): Pameran, Kolaboratifnya Pembelajaran

Diperbarui: 11 September 2021   06:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Buku #The_Educatorship, 2016.

Cita-cita bukan sesuatu yang ada jauh di depan. Justru cita-cita dimulai saat ini dan di sini. Saatnya sekolah menjadi lingkungan yang tepat bagi anak-anak menyusun puzzle cita-cita mereka dalam kebersamaan dan kepercayaan.

Pagi itu ruang kerja guru tampak sunyi dan sang guru pun tampak asyik di depan laptopnya mengerjakan sebuah rancangan pembelajaran untuk minggu depan sembari diiringi musik klazik. 

Serasa menemukan situasi terbaiknya, ide sang guru begitu mengalir dari kata demi kata di layar laptopnya. 

Rangkaian kata demi kata itu diberi judul "Kolaborasi, Mengapa Tidak?" oleh sang guru. Tampaknya ada sesuatu yang baru yang akan dibawa sang guru ke dalam kelas untuk minggu depan.

Seminggu berjalan dan waktu menantikan realisasi rancangan sang guru pun tiba. Apakah yang akan terjadi? Tampak sang guru sudah berjalan menuju sebuah kelas dengan langkah santai seolah-olah tidak ada sesuatu yang baru yang hendak terjadi di kelas. 

Serasa semuanya akan berjalan seperti hari-hari biasanya. Hanya sang guru, Sang Penguasa Semesta, dan laptoplah yang tahu rahasia itu.

Sesampainya di kelas sang guru seperti biasa tegur sapa dengan anak-anak dengan senyum dan gaya khasnya. Sesekali melepas guyonan yang membuat kelas senang dan nyaman untuk memulai pembelajaran bersama sang guru. 

Canda tawa tidak akan lepas dari interaksi sang guru dan anak-anak seiring dengan dinamika yang ada. Kecintaan dan ketertarikan anak-anak pada gaya sang guru telah mengantarkan anak-anak itu memperoleh kenyamanan dan makna dalam pembelajaran.

Tiba saatnya sang guru melontarkan pertanyaan kepada anak-anak. "Pelajaran apakah yang kalian sukai?" Anak-anak diminta menentukan minimal 2 mata pelajaran dari pertanyaan sang guru itu. 

Spontan kelas pun mulai disibukkan dengan hiruk pikuk anak-anak yang mencoba melihat kembali pelajaran-pelajaran yang ada. Di sisi lain, sang guru pun harus siap kalau mata pelajarannya tidak disukai anak-anak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline