Tidak ada seorangpun yang pernah dihormati karena sesuatu yang telah dia terima. Kehormatan merupakan penghargaan atas apa yang telah diberikannya. (Calvin Coolidge)
Menerima menjadi sebuah keadaan yang terkadang egois dalam sanubari manusia, yang terus menuntut pada orang lain dan keadaan. Menerima begitu dahsyat mendorong diri untuk mengharapkan segala sesuatu di luar diri merujuk pada diri pribadi. Tangan tengadah ke atas menjadi simbolik gestur yang egois untuk membalikkan telapak tangan, memberi dengan ketulusan tanpa menghitung apa yang akan kembali.
Menerima bukan sebuah identitas kekurangan atau pun kemiskinan duniawi. Menerima bisa jadi menandakan pada sebuah dorongan hati yang menghitung minus tatkala harus memberi. Memberi apapun adalah sebuah kerugian bagi pribadi yang penuh harapan diberi, menerima pemberian apapun dari siapapun. Memberi perhatian pada sesama dan lingkungan, memberi bantuan nyata bagi yang membutuhkan, memberi perasaan pada mereka yang sedang krisis, memberi energi dan waktu pada mereka yang dalam keterbatasan dan kekangan, adalah sebuah gerakan jiwa dalam membangun rasa dan asa dunia.
Pada waktunya kehormatan datang sebagai kuasa semesta pada kebaikan dan ketulusan, bukan sebuah paksaan ataupun perhitungan matematis dalam rumus eksakta. Jabatan pun terkadang tidak menghadirkan kehormatan, justru sebaliknya menghempaskan kehormatan karena perilaku yang menyimpang nurani dan melukai nilai-nilai kesemestaan yang memuliakan harga diri yang sejati. Jabatan tak jarang begitu egois menuntut keadaan untuk memberi keuntungan dan kelimpahan yang mengabaikan nilai-nilai kehidupan yang menumbuhkembangkan nurani.
Kehormatan adalah proses dari logika pikir manusia dalam mengembangkan kehidupan melalui buah-buah pikiran yang menjelaskan, mengembangkan, menyimpulkan, dan merancang dunia menjadi sebuah peradaban moral yang dapat dipertanggungjawabkan. Kehormatan adalah proses dari olah nurani dalam mengurai pengalaman hidup, memaknai, dan menggerakkan komitmen diri pada empati dan simpati untuk sesama dan semesta. Kehormatan semakin menjauh dari peradaban manusia modern.Kehormatan bukanlah sebuah tujuan, sejatinya kehormatan adalah proses menghidupi hidup untuk lebih hidup. Kehormatan sebagai tujuan hidup, hanya akan melahirkan kehampaan belaka.
Belum memberi, tetapi berharap untuk menerima, adalah sebuah keegoisan yang akan melahirkan frustasi, kecewa, dan sedih tanpa henti. Tidak mau memberi, tetapi harus menerima, adalah sebuah anarkisme diri pada sesama dan semesta. Inilah yang disebut sebagai pemaksaan situasi, ingin mengendalikan segala sesuatu di luar dirinya agar menuruti kemauan dirinya. Mau memberi, dan berharap juga menerima, adalah sebuah perhitungan hidup yang jauh dari ketulusan dan keikhlasan dalam bersikap. Mau memberi, dan tidak mempertimbangkan imbal baliknya, adalah sebuah kebijaksanaan hidup yang harus terus-menerus diolah dan dikembangkan.
Kini, sudah waktunya kita mengolah hidup kita sebagai proses membangun kehormatan sejati. Siap memberi dengan segala ketulusan dan keikhlasan. Memberikan yang terbaik: energi, waktu, uang, kesempatan, kehadiran, perjumpaan, loyalitas, kredibilitas, integritas, dan segala yang baik dalam kerangka kebaikan dan kebajikan. Mari.
Menulis Makna: adalah sebuah uraian untuk mencecap kehidupan yang begitu agung dan mulia ini. Hidup ini penuh dengan makna sebagai kristalisasi pengalaman dan refleksi untuk menjadi inspirasi bagi diri sendiri, sesama, dan semesta. Menulis Makna akan menjadi sejarah perjalanan makna kehidupan yang selalu abadi, tidak hilang ditelan badai kehidupan yang merusak peradaban manusia. Menulis Makna, menulis kebijaksanaan hidup.
@Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H