Lihat ke Halaman Asli

FX Aris Wahyu Prasetyo Saris

Menikmati menulis dan membaca dalam bertualang makna kehidupan menuju kebijaksanaan abadi.

Setelah Senja (86): Tafsiran Kehidupan dalam Kumparan Makna

Diperbarui: 24 Mei 2021   09:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi.raymond.tours 

Kehidupan adalah tafsiran dari hukum semesta dan keilahian Sang Pencipta. Kehidupan masing-masing orang begitu beragam dengan segala pemikiran, perasaan, dan perilakunya. Itulah kristalisasi dari sebuah tafsiran pada dunia abstrak penuh dengan gelombang ide dan kumparan makna.

Ternyata hidup seorang diri adalah kebahagiaan sesaat, aku anak Greenhigh yang muak dengan semua peraturan orangtua. Sudah dua minggu lamanya aku tinggal di Hideaway, pinggiran kota impianku. Semua kardus sudah habis kubongkar dan sekarang buku-buku tertata rapi di ruang belajar. 

Dari semua ruang yang ada, mataku tetap memilih ruang itu, letaknya di dekat atap rumah. Langit tampak dekat dan bintang sangat bercahaya bila dilihat dari jendela ruang itu, hal ini menyenangkan. 

Aku bekerja di Toko Paman Will, menyediakan kebutuhan sehari-hari, letaknya di ujung jalan ini. Paman sering pergi meninggalkan Hideaway dan lebih memilih bekerja di kota. Bagiku, dia sangat baik, mau meminjamkan sepeda kepadaku untuk bekerja dan mengantar pesanan pelanggan. Terkadang melayani pelanggan membuatku teringat keadaan di Greenhigh, semua orang gila hormat.

Kira-kira pukul tujuh pagi, aku memulai hari dengan memotong ilalang yang terlalu panjang di halaman depan. Sepeda kuno dan jendela kaca juga aku bersihkan dari kotoran-kotoran burung. "Hey! Kau baru pindah? Aku tidak pernah mengenalmu." Suara terdengar dari kejauhan. Aku mengabaikannya dan tidak berniat membuka hati kepada siapapun di lingkungan ini, aku tidak ingin berteman. 

Aku sibuk membereskan peralatanku dan berharap sesegera mungkin mencapai gagang pintu. Dia sudah mendekat ke halaman, tatapannya mengamati, "Kau senang membuat menara batu, huh?" Tanpa melihatnya aku menjawab, "Desa berevolusi, hutan akan hilang, ribuan manusia akan datang." Aku berharap dia mengerti maksud perkataanku itu. Kemudian, aku masuk ke dalam rumah, menenangkan diri, menikmati indahnya sungai di belakang toko Paman Will.

Ilustrasi.www.forrent.com 

Rasanya mustahil jika lelaki tadi membiarkan kami tidak berkenalan, sekarang otakku dipenuhi koma. Aku mengambil karung besar berisi ilalang dan dedaunan kering, meletakkannya di halaman belakang. Lalu, aku mandi, bergegas ke toko Paman Will, Koran terbitan lama harus dibereskan sebelum pelanggan datang. 

Seketika, darahku mengalir hingga ujung kepala, melihat lelaki tadi berada di dalam toko paman. Ia membersihkan bekas tinta bolpen pada meja kasir sambil bersiul dengan gembira. 

"Bagaimana kau bisa masuk? Lebih baik kau kembali ke rumah dan bersantai," kataku tenang. Dia memberikan senyuman aneh, "Galaknya! Namaku Jill, aku rasa toko ini milik pamanku, wajar aku masuk," balasnya. Kami terdiam, "Hey, yang benar saja hanya terdiam, siapa namamu?" Dia melihat name tag nama di dada kiriku "Hella?"

Lagu modern terdengar kencang di setiap sudut toko dan berantai-rantai lirik sudah terekam dalam pikiranku. "Aku pindah dari Greenhigh kemari, ribuan orang datang kesana dan mencari kehormatan, sangat serakah," kataku. "Lalu, untuk apa menara batu di halaman rumah? Ada hubungannya?" tanya Jill menatapku penasaran. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline