#Kalau kita diganggu, tandanya kita sedang membuat perubahan. Kalau kita dizalimi, jangan mengeluh karena Tuhan selalu bersama orang-orang baik.
Oktober 2003 menjadi awal bagiku menjadi guru muda dengan segala harapan dan idealismenya. Beberapa bulan awal aku mengajar dengan sangat konvensional, menggunakan buku teks penuh teori dan diakhiri dengan tes atau tugas di rumah. Aku mulai merasa jenuh dan monoton dengan gaya mengajar seperti itu, semua terasa hambar dan biasa-biasa saja. Pelan-pelan namun pasti aku mulai belajar dari berbagai sumber dan mengubah gaya mengajarku.
Para siswa sering aku ajak keluar kelas bahkan menyusuri gang-gang perkampungan di sekitar sekolah. Mereka mencoba belajar dari realita masyarakat, yang cenderung kontras dengan keadaan keluarga dan sekolah. Pengalaman belajar di masyarakat ini setidaknya memberi kesempatan bagi anak-anak untuk merefleksikan (merenungkan) nilai-nilai kehidupan (life value) yang seharusnya dihidupi setiap hari. Minimal ada nilai kepedulian dan nurani pada sesama manusia di sekitarnya.
Kesempatan yang lain, aku juga sering mengajak anak-anak nonton film bermakna ketika jam pelajaran. Dari film itu, anak-anak didorong untuk menggali berbagai inspirasi kehidupan yang berguna untuk hidupnya dan lingkungannya. Tak jarang juga, jam pelajaran diisi dengan berbagai game atau dinamika permainan yang memudahkan mereka memehami materi serta tentunya memberikan kegembiraan dan semangat dalam belajar. Masih banyak lagi metode-metode yang aku coba untuk memberikan nuansa pembelajaran yang beragam dan kontekstual.
Perubahan-perubahan ini tidak berjalan mulus. Suara-suara yang tidak mengenakkan dari kolega sering terdengar yang bernada nyinyir dan tidak solutif, bahkan cenderung merendahkan. Namun di sisi lain, ada kolega yang mulai tertarik dengan model pembelajaran itu dan bisa diajak berdiskusi sehingga semakin kaya ragam metode pembelajaran. Nyinyiran itu justru menjadi kekuatan untuk terus belajar, karena pendidikan memang sejatinya proses berubah secara dinamis, kontekstual, dan bermakna.
#Mereka yang bertahan adalah yang paling cocok dengan lingkungan dinamis dan memiliki sifat yang adaptif.
Ketika aktif dalam kegiatan kemahsiswaan, Litbang Senat Mahasiswa Fakultas, ada pengamalan di mana satu per satu anggota litbang hilang dari peredaran kegiatan senat. Litbang sebagai motor penggerak kegiatan senat, sudah pasti membutuhkan perjumpaan anggotanya setiap hari di sela-sela kuliah bahkan sore hingga malam hari di basecamp, ruang senat. Kumpul, ngobrol, makan-makan, bercanda, sambil mengerjakan tugas kuliah, sharing, curhat, dan pastinya diskusi tentang pengembangan kegiatan mahasiswa di fakultas adalah aktivitas rutin tim litbang.
Pelan-pelan namun pasti satu per satu anggota hilang dari peredaran tanpa meninggalkan pesan atau kabar apapun. Dari delapan orang, dalam setahun tersisa 3 orang saja yang aktif di tim litbang. Miris kalau dari segi jumlah anggota. Namun, luar biasa dari segi kualitas kerja tim litbang karena dengan tersisa tiga orang, justru kami bisa bekerja secara solid dan tahan banting. Mungkin ini yang disebut seleksi alam, sehingga alam sendiri yang menyaring anggota-anggota yang siap bekerja dalam tim litbang. Mereka yang tidak kuat, tidak mau, tidak mampu, dengan sendirinya mundur alon-alon (pelan-pelan).
Rhenald Kasali dalam BAPER (Bawa perubahan) menegaskan:
#Dengan berbuat baik saja, belum tentu orang akan mengangap kita baik. Jangan harapkan semua orang senang dengan diri kita.