Melintasi dunia dengan mata hati dan pikiran adalah sebuah anugerah jiwa yang menembus persepsi diri yang terkadang tidak punya kompromi. Melintasi dunia merajut makna adalah olah rasa merangkai cinta pada sesama tanpa harus mengurai penyesalan. Pikiran dan perasaan kitalah yang membentuk peradaban ini.
Galaksi Mata Raya disebut sebagai rumah bagi jutaan jenis makhluk. Komposisinya yang unik membuka peluang kehidupan. Di salah satu bintang yang diposisikan paling ujung, hiduplah Langit. Langit, layaknya remaja lain memiliki minat terpendam terhadap sepeda. Baginya, ada sesuatu yang unik dari mesin yang begitu sederhana ini. Ia mencoba untuk mengambil informasi dari berbagai macam sumber. Mulai dari ibunya, ayahnya, buku yang tergeletak di ruang tamu, bahkan pamannya. Ia merasa sudah menguras tiap sumber daya yang ia miliki akan ilmu mereka tentang sepeda.
Melalui cintanya terhadap sepeda, ia terus menerus belajar. Iapun pergi menimba ilmu keluar dari desanya. Ilalang ungu dan sungai biru ia lewati dengan keriangan. Di kejauhan ia melihat menara. Berdirinya tegak dan kokoh, walau ia tahu waktunya mungkin tidak lagi lama. Melihat menara tersebut, ia teringat akan akan sepedanya di rumah. Ia kembali ingat dalam hatinya bahwa revolusi sepedanya berhenti pada angka yang cacah.
"Sungguh bahagia rasanya keluar dan melihat dunia" tuturnya. Ia merasa bisa menulis sendiri kisah hidupnya beserta titik dan komanya. Namun, euforia yang ia rasakan tidak akan bertahan lama. Sesampainya di jalan raya yang menuju keluar desa, langit digegerkan oleh orang-orang yang berlari berlawanan arah. Seketika jalan menjadi sepi. Iapun hanya ditemani gemerisik daun yang berhembusan salah satu koran yang ditinggalkan membawa tulisan berdarah dalam tinta yang akan meninggalkan trauma mendalam baginya.
Masih tercium dengan jelas bau arang dan terlihat sebercak warna merah kobaran api dari kejauhan.
Diambil koran itu dan dibacanya dengan saksama. Serasa tertusuk belati hatinya ketika ia mencapai titik terakhir. Rantaian kata yang ia baca membuatnya bergegas kembali ke rumah. Ia berlari secepat mungkin sembari memikirkan tentang keluarganya. Namun, begitu ia sampai halaman kampungnya, yang Ia lihat hanyalah abu dan sebuah botol kuning dengan pola lingkaran milik adiknya.Kuberteriak sekuat mungkin untuk mencari keluargaku. Aku tidak lagi sanggup bersuara, sudah kuhabiskan semua yang kupunya agar dapat melontarkan nama ibuku ke kejauhan bagaikan panah. Hatiku lalu berhenti ketika aku sampai di depan rumahku, tempat yang sudah kukenal dengan begitu dekat, yang tidak lagi berbentuk. Di situ kutemukan ayahku berbaring. Ia tampak begitu tenang duduk di kursi kesayangannya. Kertas dan gelas yang kutinggalkan di kamarku masih berada di meja. Di situ kulihat ibuku memeluk adikku dalam rangkulannya. Aku duduk termenung, seperti begini peradaban di desa kecilku harus berakhir. Baru kusadari sifat dasar manusia.
*WHy-wUR
**Setelah Senja: sebuah kisah imajinatif reflektif yang mencoba mendaratkan nilai-nilai kehidupan (life value) dalam kisah fiksi ke dalam konteks zaman yang sangat nyata dalam realita hidup ini.
***Setelah Senja: Dari pagi menjelang malam ada berbagai dinamika kehidupan yang menjadi bagian cerita hidup kita. Semuanya itu akan berjalan begitu saja dan pada akhirnya terlupakan begitu saja pula jika kita tidak berusaha mengendapkannya dalam sebuah permenungan sederhana tentang hidup ini demi hidup yang lebih hidup setiap harinya. "Setelah Senja" masuk dalam permenungan malam untuk hidup yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H