Lihat ke Halaman Asli

FX Aris Wahyu Prasetyo Saris

Menikmati menulis dan membaca dalam bertualang makna kehidupan menuju kebijaksanaan abadi.

Seri untuk Negeri (7): Nilai Edukatif Angkringan Semarang

Diperbarui: 7 April 2021   18:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi. www.tokome.id

Di zaman serba modern dengan teknologi super canggih ini gaya hidup manusia pun turut mengalir dalam arus kemajuan itu. 

Begitupula kemajuan dalam bidang kuliner pun semakin canggih, hal itu terbukti dengan mulai menjamurnya berbagai tempat kuliner, seperti: kafe, restauran, bar, warung makan, atau berbagai konsep tempat nongkrong dengan ciri khas tertentu.

Kota Semarang merupakan kota strategis dengan posisi sebagai kota transisi sekaligus perlintasan yang sibuk di Pulau Jawa turut dilanda "euforia" kuliner tersebut. Bukan hal yang sulit untuk menemukan tempat-tempat makan dengan berbagai selera kuliner dan konsep tempa tertentu. Bahkan Kota Semarang termasuk kota yang sangat "lapar" dengan berbagai kuliner sehingga tempat-tempat kuliner baru akan ramai diburu oleh masyarakat. 

Rasa lapar kuliner itu semakin kentara ketika dalam beberapa bulan setelah opening, tempat-tempat baru itu akan mulai sepi ditinggalkan pengunjung. Masyarakat sangat tertarik dengan kuliner yang baru, unik, dan inovatif. Maka, untuk menjawab rasa lapar masyarakat  Semarang tersebut dibutuhkan inovasi dan variasi dalam menu dan konsep tempat.

Di balik hingar-bingar kuliner di Kota Semarang tersebut, angkringan menjadi satu jenis kuliner yang paling stabil dari sisi penjual maupun pembeli. Dari sisi penjual, angkringan tidak membutuhkan inovasi dan variasi yang super canggih karena pada dasarnya makanan dan minuman yang dijual berupa kuliner sederhana yang sehari-hari dimakan oleh masyarakat, seperti: teh, jeruk, kopi, nasi telur, nasi ayam, nasi sarden, nasi babat, nasi sayur, kerupuk, berbagai jenis sate, gorengan, mie rebus, dan lainnya. 

Dari sisi pembeli, angkringan sesungguhnya bukan hanya sekedar tempat makan tetapi sebagai tempat nongkrong untuk sekedar kumpul-kumpul dan ngobrol-ngobrol. Jadi, makanan dan minuman yang sederhana bukanlah masalah bagi pembeli.

Sedikit mengenang sejarah angkringan, awalnya berasal dari bahasa Jawa "Angkring" yang berarti alat dan tempat jualan makanan keliling yang pikulannya berbentuk melengkung ke atas. Selanjutnya, angkringan merupakan sebuah gerobag dorong yang menjual berbagai macam makanan dan minuman yang biasa terdapat di setiap pinggir ruas jalan di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Di Solo dikenal sebagai warung "HIK", singkatan dari Hidangan Istimewa ala Kampung.

Ilustrasi. www.pinterest.com

Angkringan pada awalnya memiliki kekhasan di mana gerobag angkringan ditutupi dengan terpal plastik dan menggunakan penerangan tradisional seperti senthir, yakni lampu dengan minyak tanah dan semprong.  Selain itu, angkringan menggunakan arang untuk masak air minum. 

Dalam perkembangannya, angkringan sudah banyak menggunakan penerangan listrik dan menggunakan kompor gas. Bahkan saat ini sudah banyak angkringan dengan konsep caf atau tempat nongkrong yang modern dengan hingar-bingar lampu dan musik. Walaupun demikian, angkringan tradisional masih diminati dan menjamur di Kota Semarang dan kota-kota lain di Jawa Tengah dan Yogyakarta.

Nilai Edukatif

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline