Mimpi seolah mengantar jiwa dan raga pada sebuah dunia baru yang menghapuskan kenyataan. Terlonjak dari mimpi, realita kembali menembus sukma dan darah mengalir nyata dalam raga. Mimpi terkadang memberi makna kehidupan tentang misteri semesta yang tak tertembus logika.
Malam ini aku mengayuh sepedaku menuju ke rumah setelah seharian bekerja. "Langitnya cerah hari ini, nampak bintang bersinar di mana-mana," gumamku dalam hati. Entahlah sampai kapan aku harus hidup seperti ini. Setiap pagi pergi membawa banyak buku barang dagangan ayahku, dan pulang ketika mata memandang semuanya gelap. Aku lelah, lelah dan bosan, andai saja aku bisa menentukan jalan hidupku sendiri.
Tapi sudahlah, mau berharap apa dari seorang anak desa yang tinggal di tepi sungai? Mau berteriak dari atas menara pun tidak akan merevolusi apapun. Kukayuh lagi sepedaku menuju padang ilalang dekat rumahku. Entahlah, aku sedang tidak ingin pulang, hatiku mengatakan aku harus ke sana. Aku tidak tahu apa yang membawaku ke sini, sampai akhirnya aku sampai di tempat itu.
Sesaat setelah sampai di sana, aku merebahkan ragaku ke tanah. Kurasakan bumi seakan memeluk ragaku, melemaskan turang-tulangku. Tak lama kemudian aku terlena untuk terlelap dan bermimpi, mimpi yang paling mengerikan seumur hidupku. Aku terbangun di tengah jalan raya beralaskan daun pisang yang entah kudapat dari mana. Aku mendapati sebuah koran tua di sebelah kepalaku. Tintanya sudah agak pudar, kertasnya sudah mulai menguning tanda koran itu sudah tua sekali. Baru saja aku ingin membacanya, setetes darah jatuh tepat pada koma pertama di halaman depan.
Kubaca koran itu dengan saksama walaupun ada sebagian tulisan yang tidak terbaca. Belum sampai setengah dari artikel itu yang dapat kubaca, kudapati darah menetes lebih deras dari sebelumnya. Darah itu membentuk lingkaran besar berwarna merah pada koran itu, lengkap dengan bau anyirnya. Kuputuskan untuk tidak lagi membaca koran itu karena darah yang menetes itu semakin banyak. Kuberanikan diriku untuk mengangkat kepalaku dan mencari tahu darimana darah itu berasal. Aku melihat ada sesosok laki-laki berbadan besar membawa sebuah botol berisi darah. Laki-laki itu menuangkan darah setitik demi setitik keatas koran yang masih ada di tanganku. Aku ingin lari sekencang-kencangnya sebelum aku menyadari bahwa kakiku terantai tidak dapat bergerak.
Laki-laki itu menyergapku dan menuangkan cairan pada sebuah gelas dan memaksaku untuk meminumnya. Aku didudukkan pada sebuah kursi dan dipaksa untuk membaca secarik kertas yang bertuliskan "Akhir Peradaban Manusia." Aku sungguh ketakutan dan ingin berteriak sekencang kencangnya namun tidak sepatah katapun dapat kuucap. Kuberanikan diri untuk menatap mata laki-laki itu dan meminta pengampunan agar aku dibebaskan. Namun yang kulihat ia seperti telah siap menghabisiku dengan menghujam dadaku menggunakan panah beracun di tangannya. Aku menutup mataku menyadari akhir dari hayatku, namun kemudian aku kembali lagi membuka mataku dan kembali pada duniaku. Aku segera beranjak dari tempat itu dan kupacu sepedaku menjauhi padang ilalang itu.
*WHy-rEEn
**Setelah Senja: sebuah kisah imajinatif reflektif yang mencoba mendaratkan nilai-nilai kehidupan (life value) dalam kisah fiksi ke dalam konteks zaman yang sangat nyata dalam realita hidup ini.
***Setelah Senja: Dari pagi menjelang malam ada berbagai dinamika kehidupan yang menjadi bagian cerita hidup kita. Semuanya itu akan berjalan begitu saja dan pada akhirnya terlupakan begitu saja pula jika kita tidak berusaha mengendapkannya dalam sebuah permenungan sederhana tentang hidup ini demi hidup yang lebih hidup setiap harinya. "Setelah Senja" masuk dalam permenungan malam untuk hidup yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H