Kebahagiaan dari hari ke hari semakin menjauh dari sekolah-sekolah di Indonesia. Anak-anak pergi sekolah sudah dengan beban belajar yang begitu besar dan pulang sekolah semakin berat lagi beban mereka. Sekolah menjadi tempat formalitas untuk belajar yang penuh dengan tuntutan yang harus dikerjakan dan berbagai target yang harus dicapai. Sekolah menjadi lingkungan yang penuh dengan rasa stress, frustasi, dan depresi karena orang tidak memiliki pilihan-pilihan yang menyenangkan untuk mengembangkan dirinya.
Berangkat sekolah sudah dibebani dengan tas yang begitu berat, bahkan tas anak-anak sekolah dasar pun sudah seperti mau berangkat camping 3 hari saja karena banyak buku dan peralatan yang harus dibawa setiap pagi. Di samping itu, anak-anak di sekolah dituntut belajar banyak materi pelajaran tanpa memperhitungan kedalaman dan maknanya dalam kehidupan sehari-hari. Materi pelajaran itu harus dipelajari dan tuntas dalam tes yang dilakukan oleh para guru. Semua itu harus dijalani anak-anak di sekolah dengan iming-iming masa depan yang cerah di kemudian hari.
Ketika ada jam kosong karena guru berhalangan hadir atau sekolah harus pulang lebih awal karena ada kegiatan sekolah, para siswa akan berteriak senang dan sangat antusias menyambutnya. Kejadian ini sesungguhnya menyiratkan sebuah pesan penting dari anak-anak tentang betapa tertekannya mereka menjalani rutinitas sekolah yang begitu menjenuhkan dan mengekang mereka.
Selain itu, sepulang sekolah anak-anak masih harus dihadapkan dengan berbagai les demi memenuhi kemantapan diri untuk menghadapi berbagai tes di sekolah. Apalagi menjelang ujian nasional atau ujian sekolah, intensitas les berbagai mata pelajaran akan semakin padat. Itu semua dilakukan demi masa depan yang cerah di kemudian hari. Akibatnya, dari pulang sekolah sampai malam mereka disibukkan dengan belajar di tempat-tempat les yang begitu menjamur dewasa ini. Hal ini semakin memperkeruh psikis anak-anak dalam belajar karena beban belajar semakin menumpuk dan anak-anak kurang memiliki waktu luang untuk berekspresi dan berapresiasi di luar aktivitas sekolahnya.
Kebahagiaan sebagai Kebutuhan
Kesibukan yang mengarah pada "kebrutalan akademik" pada anak itu dapat menjadi sebuah bencana besar bagi dunia pendidikan. Celakanya, sebagian besar sekolah di Indonesia sangat taat dengan instruksi kurikulum yang cenderung membuat guru dan siswa frustasi dalam belajar. Kelas-kelas belajar menjadi seperti pacuan kuda dengan target yang harus dicapai dengan cepat dan tepat.
Penelitian Talebzadeh dan Samkan (2011) telah membuktikan bahwa karakter dan kemampuan akademik siswa akan terbentuk dengan optimal jika siswa mengalami kebahagiaan dalam proses belajar di sekolah. Kebahagiaan sesungguhnya menjadi kebutuhan dasar bagi guru dan siswa dalam menciptakan komunitas belajar yang bermakna dan bermanfaat bagi kehidupan nyata.
Kisah Totto-chan yang ditulis Tetsuko Kuroyanagi serasa mengingatkan kembali pada filosofi pendidikan yang seharusnya dan sesungguhnya. Totto-chan sudah dikeluarkan dari sekolah sewaktu masih kelas 1 SD karena dianggap nakal dan bertindak yang tidak wajar. Setelahnya, Totto-chan menemukan kegembiraan, semangat, dan rasa ingin tahu yang begitu besar di sekolah barunya yang berada di gerbong kereta, Tomoe Gakuen.
Di Tomoe Gakuen, para murid boleh mengubah urutan pelajaran sesuai keinginan mereka sehingga ada yang memulai hari dengan belajar fisika, menggambar, bahasa, atau yang lainnya Karena sekolah ini begitu unik, Totto-chan pun merasa begitu senang dan kerasan sehingga muncul semangat belajar tinggi yang tampak dari kreativitasnya, keingintahuannya begitu besar, dan daya eksploratifnya yang tinggi.
Hebatnya, di Tomoe Gakuen para murid tidak hanya belajar fisika, berhitung, musik, bahasa, dan mata pelajaran lainnya, lebih dari itu mereka belajar tentang persahabatan, rasa hormat, rasa menghargai orang lain, dan kebebasan menjadi diri sendiri dalam kegembiraan dan kebahagiaan belajar.
Bawa Perubahan