Pendidikan di Indonesia selalu mengedepankan keseragaman dalam banyak hal dengan melupakan keragaman yang ada. Keseragaman yang telah berlangsung berpuluh tahun dalam dunia pendidikan di Indonesia sesungguhnya telah membunuh banyak potensi terpendam yang ada dari generasi ke generasi.
Sekolah-sekolah menjadi tempat pembentukan keseragaman layaknya sebuah tempat pembuatan batubata yang harus sama ukuran dan warnanya. Jika ditemukan batubata yang berbeda sedikit saja, lekas disisihkan dari kumpulannya dan dianggap cacat atau tidak layak digunakan.
Semua anak di kelas menggunakan seragam yang sama, bahkan jika tidak menggunakan seragam yang seharusnya dianggap sebagai sebuah pelanggaran kedisiplinan. Tidak jarang ditemukan dalam pendidikan kita di mana anak-anak dihukum karena tidak berseragam dengan benar dan lengkap. Ketakutan dan kekhawatiran telah bertumbuh-kembang lewat seragam.
Beberapa sekolah di Indonesia yang memberi kebebasan para siswanya untuk "berseragam tidak seragam" alias bebas dengan kepantasan dan kewajaran justru dapat melatih daya pikir dan nalar anak dalam menentukan pakaian yang layak dan pantas dipakai untuk belajar di sekolah.
Anak-anak diberi kebebasan dengan kerangka norma dan sopan santun tanpa harus menjadi liar dan hedonis. Melalui kebebasan ini, mereka menjadi terlatih dalam mengambil keputusan yang tepat setiap pagi. Inilah yang disebut pendidikan humanis dengan membangun habitus baik secara terus-menerus.
Lebih dari seputar seragam, pembelajaran dalam pendidikan di Indonesia pun sangat kental dengan keseragaman dalam berpikir, berasa, dan bertindak.
Sekolah tidak jauh beda dengan pabrik pembuat robot dengan segala programnya. Tidak ada kebebasan dalam eksplorasi dan aktualisasi diri secara intelektual, namun semua rutinitas pendidikan jatuh pada instruksi-instruksi yang secara seragam harus dilakukan. Pendidikan bukan lagi menjadi proses memanusiakan manusia tetapi menjadi proses robotisasi manusia. Mengerikan.
Robot-robot pendidikan secara terus-menerus dituntut dengan pelajaran yang begitu banyak, materi yang begitu menumpuk, tugas yang sama, dan pekerjaan rumah yang sama pula sehingga tidak heran jika ketidakjujuran bertumbuh subur di dunia pendidikan. Ketidakjujuran adalah akibat dari pemaksaan intelektual yang menuntut keseragaman dalam banyak hal atas dasar standardisasi semu belaka.
Negera-negara maju bahkan Finlandia yang kualitas pendidikannya terbaik di dunia telah meninggalkan: berbagai beban belajar yang begitu banyak, standardisasi dalam bentuk ujian, dan keseragaman kualitas bagi para siswa. Sekolah-sekolah di sana menjadi sebuah lingkungan belajar yang menyenangkan, bermakna, dan fokus pada keragaman potensi diri.
Anak-anak dapat belajar berdasarkan potensinya masing-masing dalam pendampingan yang terukur dan teruji. Sekolah benar-benar menjadi tempat belajar tentang hidup dan untuk hidup itu sendiri. Beda dengan pendidikan di Indonesia, yang hingga hari ini pendidikan kita masih begitu lekat dengan pencapaian skor-skor yang berujung pada frustasi dan dikotomi.
Titik lemah dalam pendidikan kita adalah kepemimpinan yang sangat formalitas. Kepemimpinan yang humanis sejatinya perlu dikedepankan dengan cara memandang manusia sebagai manusia yang layak untuk dihargai potensinya dalam bentuk dan level apapun.