Lihat ke Halaman Asli

FX Aris Wahyu Prasetyo Saris

Menikmati menulis dan membaca dalam bertualang makna kehidupan menuju kebijaksanaan abadi.

Memenangkan Diri untuk Dunia

Diperbarui: 27 Maret 2018   10:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Berbicara tentang pendidikan tidak hanya sekedar membahas berbagai hal tentang sekolah dengan segala dinamika di dalamnya, namun lebih dari itu pendidikan menembus batas-batas adminitrasi dan birokrasi rumit yang ada. Hidup ini sesungguhnya merupakan proses pendidikan termasyur yang kaya akan inspirasi dan nilai-nilai kehidupan (life value). Manusia, semesta, dan Sang Pencipta adalah sebuah komunitas pembelajar terbesar dan teragung yang tak akan habis untuk dipelajari dari berbagai peradaban dunia yang pernah ada, yang sedang berjalan, atau yang akan datang.

Keagungan dan kasih Sang Pencipta merupakan ilmu tertinggi yang sudah seharusnya kita dalami dan resapi setiap saat. Kedalaman iman dan kasih pada sesama menjadi materi penting pengolahan diri dalam menjalin relasi dengan Sang Pencipta. Kedekatan ilahi dengan Sang Pencipta pasti melahirkan cinta kasih, kepedulian, respek pada sesama yang sama maupun yang berbeda, dan keteduhan hidup bermasyarakat. Sang Pencipta tidak pernah mengajarkan tentang anarkisme dan brutalisme.

Begitu pula kecintaan pada lingkungan hidup (ekologi) juga menjadi proses belajar mengolah diri untuk bersyukur sekaligus berkomitmen menjaga dunia. Kerusakan lingkungan karena perilaku manusia yang tidak bijak sesungguhnya berakibat pada penderitaan dan kesengsaraan manusia juga. Hal ini terbukti dari berbagai bencana alam dan kerusakan lingkungan yang sudah memakan korban nyawa begitu banyak. Manusia yang berbuat, manusia pula yang menanggung akibat.

Sebagai manusia yang terus belajar, dari awal hingga akhir dari proses kehidupan tak akan lepas dari pengembangan diri secara utuh dan kontekstual. Kehidupan seseorang sangat dipengaruhi oleh bagaimana orang memandang segala sesuatu dalam hidupnya, bahkan siapa diri kita menentukan cara kita memandang segala sesuatu. Dengan kata lain, kita tidak bisa memisahkan identitas diri kita dari persepektif kita sendiri. Diri kita adalah lensa bagi diri kita sendiri.

Pendidikan akan kepemimpinan diri merupakan proses membangun lensa diri bagi diri masing-masing orang di dunia ini. Eksistensi diri dan berbagai pengalaman diri sangat berpengaruh pada diri seseorang dalam membentuk lensa diri yang pada akhirnya terwujud dalam cara pandang orang itu pada kehidupan ini. Dalam bukunya Winning with People, Maxwell mengisahkan sebuah cerita dua orang musafir dengan lensa diri yang berbeda.

Seorang musafir mendekati sebuah kota besar dan bertanya pada seorang tua yang duduk di pinggir jalan, "Seperti apa orang-orang yang tinggal di kota ini?"

"Seperti apa orang-orang yang tinggal di kota yang baru Anda kunjungi?" kata orang tua balik bertanya pada musafir itu. "Mengerikan," jawab musafir itu. "Jahat, tidak dapat dipercaya, sangat menyebalkan dalam segala hal."

"Oh," sahut orang tua itu, "Anda akan menjumpai orang-orang serupa di kota yang akan Anda tuju."

Baru saja musafir tadi pergi, datang lagi seorang musafir lain dan berhenti untuk bertanya tentang penduduk kota di depannya. Lagi-lagi orang tua itu menanyakan penduduk kota yang baru saja ditinggalkan si musafir.

"Mereka orang-orang baik: jujur, rajin, dan suka memaafkan kesalahan orang," jawab si musafir. Orang tua tadi menjawab, "Orang-orang seperti itulah yang akan Anda jumpai di depan sana."

Kisah dua orang musafir bersama seorang tua di pinggir jalan itu sangat menarik sebagai media kita untuk berefleksi diri tentang lensa diri kita dalam hidup ini. Musafir pertama cenderung memandang sesuatu dari sisi sudut pandang negatif. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline