Lihat ke Halaman Asli

FX Aris Wahyu Prasetyo Saris

Menikmati menulis dan membaca dalam bertualang makna kehidupan menuju kebijaksanaan abadi.

Tatkala Muridku Menulis (Seri 8), Belajar Tanpa Buku Teks

Diperbarui: 7 Desember 2015   08:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Menengok proses pembelajaran di sekolah pada umumnya sangatlah mengerikan dan merepotkan. Lihat saja, anak-anak di sekolah dasar sudah direpotkan dengan berbagai tuntutan pekerjaan rumah (PR) dan lebih payah lagi, mereka harus membawa berbagai buku teks ke sekolah. Begitupula dengan anak-anak di sekolah menengah (pertama dan atas), mereka harus berpacu dengan waktu untuk menghafalkan dan memahami segala teori di buku teks sehingga mereka tidak punya waktu yang cukup untuk berekspresi atas ilmu yang ada. Brittney Celine Dyhan Handoyo cukup beruntung karena dia bisa belajar lewat lingkungan sekitar tanpa tekanan teori-teori. Dia berusaha belajar lewat eksistensi nasi kuning yang ada di kantin sekolah. Sungguh menyenangkan.

Aku adalah sosok yang unik. Kulitku tidaklah putih, tapi aku kuning. Tubuhku kecil, tapi aku selalu berkumpul bersama teman-temanku, baik yang sejenis ataupun tidak, sehingga aku tidak tampak sebagai orang kecil. Terkadang aku minder, karena orang tuaku bukan hanya dua, akan tetapi orang tuaku lebih dari 5. Rumahku adalah rumah yang unik juga, karena rumahku transparan. Rumahku terletak di antara rumah-rumah lain di dalam istana Nori yang terletak di pulau LC.

Aku menderita tinggal di rumahku. Aku seringkali ditempelkan dengan orang-orang yang tak kukenal. Sakit kutahan, karena terkadang posisiku terletak di paling bawah. Aku merasa sedih saat posisiku paling bawah, karena aku tidak akan terlihat oleh pembeli-pembeli yang pasti hanya melihat pada bagian yang paling atas. Membuat hatiku menjadi lesu, lemas, karena pada saat orang-orang di atasku telah terjual, aku masih diam tak tersentuh. Terlebih lagi, aku tidaklah secantik dahulu sebelum aku ditindih oleh orang-orang lain, sehingga aku merasa aku kurang menggoda.

Jika aku adalah soto, mungkin nasibku tidak akan seperti ini. Mungkin aku tidak akan pernah berada pada posisi di paling bawah. Mungkin aku tidak akan pernah tertinggal, karena aku akan selalu diletakkan paling atas. Melihat soto… Ah! Aku iri! Dicintai warga LC, mulai dari siswa-siswi, guru, karyawan, dan lainnya. Sensasi hangat yang ia berikan, seringkali mengalahkan sensasi keramaian yang kuberikan.

Walaupun begitu, aku merasa bersyukur karena aku mempunyai banyak teman di rumahku. Timun, telur, tempe, kremesan, kering kentang, dan abon, mereka adalah teman sejatiku. Tidak lupa juga kerupuk, yang selalu membuatku merasa lebih ramai dan lebih lezat. Aku juga merasa bangga sekaligus bahagia, sebab aku dan teman-temanku bisa memuaskan dan memberi semangat, kepada mereka para kaum kelaparan. Aku juga senang karena aku disukai turis-turis dari luar negeri, sebab aku hanya berada di Indonesia. Meskipun terkadang aku dijual di luar negeri, tapi rasanya tidak akan seenak aku yang dijual di Indonesia.

Aku bangga menjadi diriku. Mempunyai warna mencolok, yang membuatku berbeda dari orang lain. Membuatku merasa unik dan mempunyai pesona tersendiri. Rasa nikmat yang kuberikan, selalulah menjadi pemuas bagi mereka yang kelaparan. Walaupun pada akhirnya aku akan berubah menjadi sesuatu yang kotor, namun aku bangga karena aku telah berjasa dan rela untuk dilahap oleh para pembeliku. Mungkin karena itu jugalah, banyak orang menyukai aku.

Ya, itulah aku. Aku adalah nasi kuning. Walau seringkali hidupku dalam kesedihan, tapi aku adalah pribadi yang teguh, aku tidak pernah menyerah untuk bertahan. Sebab menurutku tugasku adalah menyenangkan dan memuaskan para pembeliku. Di sini, tugasku khusus untuk memuaskan para warga-warga LC. Itulah aku, nasi kuning, yang akan selalu senantiasa menemanimu di saat lapar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline