“Ada polisi, gimana ne ga pakai helem”, ujar seorang remaja putri berseragam SMA.
“uda low tenang aja” kata temannya.
“Gimana mau tenang, orang kamunya ga ada SIM”. Sahut sahabatnya yang digonceng dengan penuh kepanikan.
“hehehe, DAMAI ITU GOCENG neng”,
maksud low?. Uda banyak nanya low, kayak polisi aja. Siapkan aja, sepuluh ribu, palingan damai.
Percakapan di atas merupakan fenomena kepolisian kita saat ini, meskipun tidak semua polisi melakukannya. Namun, tidak jarang kita jumpai di sebagian kota-kota besar di Indonesia, bahkan mungkin kitapun mengalami hal itu. Pada saat yang lain, korps yang kita kenal dengan kata “penegak hukum” itu justru melanggar hukum.
Kasus 4 anggota satuan narkoba Sumut yang digerebek intel TNI dan warga (liputan 6 SCTV) dan kasus-kasus lain yang mungkin luput dari perhatian media; hingga anggota polisi keluar dari satuan dan menjadi artis adalah “warna” polisi kita saat ini. Namun, saya di sini dan menulis, bukan untuk menjelek-jelekan polisi. Toh mereka bukan polisi tidur yang nota benenya adalah bongkahan semen dan pasir yang dipakai untuk menghalangi laju kendaraan di jalanan, tetapi mereka juga manusia biasa yang kadang bisa saja berbuat salah.
Litani tentang polisi, tak jarang membuat geram para warga. Namun, masih ada banyak polisi kita yang tindakannya sangat membanggakan dan patut kita contoh; dari seorang polisi yang berani menilang istrinya sendiri karena melanggar aturan lalu lintas, polisi yang “menggadaikan nyawa” mereka hanya untuk memberantas terorisme atau polisi yang menjelma menjadi “bunglon” demi memberantas peredaran narkoba adalah sisi lain dari polisi yang patut diberi apresiasi karena tugas dan pengabdiannya untuk nusa dan bangsa.
1 Juli 2015 kepolisian Repoblik Indonesia bertambah lagi 1 tahun usianya menjadi 69 tahun. 69 tahun bukanlah usia yang muda. Jika usia satuan polisi itu disamakan dengan manusia maka seharusnya makin bijaksana sesuai dengan semboyannya, pelindung dan pengayam rakyat. Namun, fakta miris kadang “disajikan”, melanggar kode etikpun dilakoni maka tugas kita bersamalah untuk memperbaikanya; sebab khilaf dan salah adalah sah sebagai manusia.
Pernyataan ini bukan untuk membenarkan tindakan aparat polisi yang tidak berkenan dan melanggar kode etik profesi. Tetapi, mengajak kita bersama untuk memperbaiki citra polisi kita agar menjadi lebih baik. Mereka bukan Polisi Hongkong atau Polisi India. Mereka POLRI, Kepolisian Repoblik Indonesia. kita adalah pemilik rebolik ini sehingga menjadi tugas kita bersama untuk memperbaiki citra buruk kepolisiaan kita sebab mereka bukan polisi tidur yang terbuat dari pasir dan semen. Mereka juga manusia yang punya kebutuhan hidup dan tuntutan zaman sehingga bisa saja berbuat khilaf. Kepolisian kita akan berdaya pikat apabila polisi mempolisikan masyarakat dan masyarakat mendukung kinerja polisi. Polisi dan masyarakat laksana dua keeping mata uang saling mengikat satu sama lain dan sama-sama membutuhkan kerja sama dan pengertian bersama.
Cara kita memperbaiki citra polisi kita, menurut hemat saya, pertama adalah merekam semua tindakan polisi yang tidak sesuai dengan tugas dan panggilannya menjadi polisi kemudian dimasukan ke YOUTUBE, lalu sebar luaskan ke seluruh jejaring sosial dan biarkan masyarakat yang “mengadilinya”. Kedua, sebagai pengguna jalan taatilah rambu-rambu lalu lintas sehingga tidak ada peluang polisi untuk menilang warganya. Ada kesempatan karena ada peluang. Ketiga, bersikaplah kritis jangan diam. DIRHAHAYU POLISI REPOLIK INDONESIA.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H