Lihat ke Halaman Asli

Si Empas

Diperbarui: 26 Juni 2015   06:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humor. Sumber ilustrasi: PEXELS/Gratisography

Dia masih kelas 6 SD. Memang prestasi sekolahnya biasa biasa saja, tak ada nilai mata pelajaran yang menonjol, layak dibanggakan. Tapi kegiatannya diluar sekolah mendapatsimpati dihatiku. Kalau kawan sebayanya melepas hari sore bermain main, bersendau gurau sekitar halaman rumah, Empas tidak selera terlibat bersama mereka. Empas gunakan waktu sorenya untuk memancing ikan, pasang jerat tupai, bawa ketapel jalan kaki sendirian ke pinggir hutan. Dan, kembali ke rumah setelah matahari terbenam.

Ada 5 koleksi ketapel, 2 jerat tupai, 1 perangkap ikan, yang dibuatnya sendiri. Dan, sebenarnya Empas juga sudah mampu membuat senapan lantak( senjata api tradisonil Dayak). Tapi, dilarang ayahnya.

Nampaknya ayah Empas sudah tak heran melihat anaknya yang begitu menyatu dengan kegiatan di hutan rimba. Karena sejak bayi Empas selalu dimasukan ke jarai habiskan waktu di hutan karet. Jam 4 subuh Empas yang masih bayi sudah berada didalam jarai bersama ayah ibu jalan kaki kehutan karet. Lantas Empas dibaringkan di celah celah pohon menunggu ayah ibu menoreh karet. Ibunya istirahat sambil menyusui atau kasih makan bubur si Empas dibawah rimbunan pohon karet.

Jarai = alat pikul beban dipundak terbuat dari rotan

Satu hal yang menarik, Empas memberi perhatian terhadap dunia tulis menulis. Beberapa sikap, pandangan hidup dan pengalamannya bersama rimba raya dipaparkan melalui tulisan. Tak diperdulikannya penggunaan huruf besar huruf kecil. Tak menjadi perhatiannya menggunakan tanda baca sesuai dengan ketentuan pelajaran bahasa Indonesia. Dalam hati aku berpikir, betapa potensialnya si Empas untuk melanjutkankarya tulis: ”kumpulan cerpen unkonvensionil jilid III” Hua….ha…ha…Matilah kita ini.

Ayahnya memaksa Empas harus ke gereja setiap minggu. Biasanya mereka sekeluarga misa masuk jam 8 pagi. Tapi, sudah empat kali Empas bersamaku naik motor ke gereja jam 6 pagi. Lebih enak ngobrol sama bapak Jati diatas motor, inilah alasan Empas terpikat bersamaku ke gereja. Memang diatas motor maupun selama waktu pulang pergi gereja aku ajak Empas diskusi. Kuciptakan suasana diskusi tukar menukar pendapat tentang berbagai aspek kehidupan dengan gaya orang dewasa.Dan, Empas nampaknya tertarik.

“Sebenarnya, kau suka ke gereja”: Kutanya Empas menyelidik. Empas menggeleng gelengkan kepala sambil katakan:”Ngak suka”. “Kenapa ?”. Dengan penih gairah Empas berkata:”Tak tahan aku duduk diam patuh tertib mendengar

kotbah”. Akupun mengangguk :”Aku juga sebenarnya ngak suka”. Kemudian Empas melanjutkan pembicaraan:”Lagi pula di gereja ini banyak orang senyum lemah gemulai penuh lembut cinta kasih”. Padahal hatinya (mungkin) tidak seperti itu. Pakaiannya juga mahal dan cantik manis.”Oooo…Disini masih lumayan Empas”. Kalau gereja prosetan (maksudnya protestan) di Medan jauh lebih parah. Pakaian orang ke gereja kayak toko berjalan. Segala macam asesori emas berlian digantungkan di leher, di kuping, pergelangan tangan atau di lengketkan dibaju. Semua berlomba memamerkan harta bendanya. Pandangan Empas menerawang seolah membayangkan suasana yang kugambarkan. Pulang gereja, restoran china, rumah makan batak penuh oleh jemaat.”Mungkin di gereja mereka mendengar kotbah orang kristen harus hidup sederhana” Kata Empas memelas.

Nah !! kalau begitu, apa komentarmu tentang kotbah”: Kutanya Empas. Empas senyum manis sambil kesal menggosok gosok kepalanya.”Sejak kecil aku selalu mendengar isi kotbah yang membosankan. Terus menerus dikatakan Tuhan itu mengorbankan nyawanya untuk menyelamatkan manusia. Tapi manusia tak patuh dan selalu menentang firmanNya. Manusia harus tekun berdoa tekun membaca alkitab. “Terus menerus itu saja yang diucapkan dalam kotbah”. Tak ada perkembangan. Kubiarkan Empas mengoceh panjang mengutarakan berbagai pendapatnya tentang kotbah. Tiba tiba... Empas terdiam beberapa saat, kemudian berkata :”Aku muak mendengar kotbah”. Hua…ha…ha…Aku tertawa melihat Empas yang sudah kelelahan.

“Sebenarnya kotbah yang membosankan tak usah disimak”. Masuk dari kuping kiri keluar dari kuping kanan. Supaya kita tak kesal mendengar kotbahnya . Aku coba memahami perasaan Empas. Tapi…Empas justru tertawa terbahak bahak, sambil berkata :”Jadi kasihanlah orang yang kuping kanannya sakit disumbat kapas”. Aku heran:”Loh !!! Kenapa, Empas ?”. Karena kotbah yang masuk dari kuping kiri tak bisa keluar dari kuping kanan yang disumbat kapas. Terpaksa kotbah yang memuakan itu harus ditelannya.

Hua…ha..ha…Kami berdua ketawa terbahak bahak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline