Udara dingin di Kota Roma kali ini terasa menembusi sarung tangan tipisku. Memang musim dingin kali ini tidak sedingin tahun-tahun sebelumnya. Syukurlah, kataku dalam hati. Setelah perayaan Ekaristi pagi di sebuah susteran di tengah kota, aku berjalan perlahan menembusi udara dingin untuk menuju ke Basilika Santa Maria Maggiore.
Gereja yang terletak di bukit Esquilino di tengah Kota Roma ini, dikenal sebagai gereja dimana Bunda Maria menampakkan diri pada malam hari tanggal 5 Agustus tahun 352, kepada Paus Liberius dan seorang bangsawan Romawi. Bunda Maria meminta mereka untuk membangun gereja ini yang lokasinya ditandai dengan munculnya salju lebat yang muncul di musim panas. Basilika ini juga dikenal dengan nama "Santa Maria ad Nives". Gereja yang jika diterjemahkan sebagai gereja Santa Maria Salju ini selalu menjadi salah satu spot menarik bagiku, untuk berdoa atau sekedar mengagumi keindahannya.
Ketika sedang berkeliling, secara tidak sengaja seorang ibu tua menyenggol lenganku dan meminta maaf sambil tersenyum. Saya pun membalas senyumannya sambil mengatakan tidak apa-apa. Setelah mengobrol sebentar dan dia tahu bahwa saya seorang pastor, dia mulai memperkenalkan dirinya. "Io sono Maria. Ho unico figlio, e lui un sacerdote in Benin, Africa. Si chiama Padre Matteo", kata Maria memperkenalkan dirinya dan anak semata wayangnya yang adalah seorang pastor di salah satu negara di Afrika. Dalam kisahnya, ia bangga menjadi ibu dari seorang pastor. Akan tetapi ia kadang merasa sedih karena jarak antara mereka terlalu jauh dan mengakibatkan sulitnya berkomunikasi. "Tetapi saya bersyukur, karena dia harus pergi untuk suatu hal yang lebih tinggi nilainya. Untuk hidup orang lain".
Dia pergi untuk sesuatu yang bernilai lebih, adalah kalimat yang terus menggema dalam hati saat saya kembali ke tempat tinggal saya. Ada yang harus dikorbankan untuk mendapatkan sesuatu. Dia pergi, dan ibunya ditinggalkan sendirian. Saya jadi teringat injil Matius, yang menggunakan kata kerja pergi dan kata kerja tinggal untuk menunjukkan awal dari kegiatan Tuhan: ia meninggalkan tempat pertumbuhannya, hubungan keluarga, memotong sejarah hidupnya, untuk tinggal di Kapernaum.
Firman Tuhan memasuki sejarah manusia, keluar dari atas ke bawah, untuk hidup bersama dengan kita, di kota kita. Yesus adalah Firman yang telah tinggal di antara kita untuk menjangkau telinga kita dengan bahasa kita dan ruang waktu kita. Ia keluar dari cakrawala sempit orang-orang Yahudi dan masuk ke dalam panorama seluruh umat manusia: dalam perjalanan melewati danau, di seberang Yordan, dan orang-orang Galilea!
Kehadiran Tuhan di dalam dunia bukanlah tanpa hambatan. Salah satu tantangan yang ditemuinya adalah melihat sulitnya hubungan antar manusia. Hal ini ditandai dengan keegoisan yang mendominasi manusia yang konon bermartabat. Dalam dunia dewasa ini pun, kita bisa melihatnya. Contohnya media sosial cenderung dimuliakan, ketimbang komunikasi interpersonal. Hal ini menjadi tanda bahwa adanya degradasi dalam pols hidup manusia. Apakah sikap kurang jelas manusia ini mencerminkan hubungannya dengan Allah ??
Apakah kita bisa menjadikan kabar sukacita Injil sebagai terang yang bersinar? Ya, kita bisa. Pewartaan itu tidak mesti di kampung Betlehem saja, tetapi seperti yang dilakukan oleh para murid Yesus, yaitu menyeberangi danau Galilea untuk membawa kabar sukacita Injil dan menjangkau semua orang. Injil menjadi bermakna ketika cahayanya dibawa keluar dari Bethelem ke tempat lainnya sebagaimana ditekankan dalam Injil Matius 28:20,
"Dan kesebelas murid itu berangkat ke Galilea, ke bukit yang telah ditunjukkan Yesus kepada mereka. Ketika melihat Dia mereka menyembah-Nya, tetapi beberapa orang ragu-ragu. Yesus mendekati mereka dan berkata: "Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi. Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman. "
Bagaimana hal ini diterapkan dalam konteks kita agar setiap orang percaya diundang dalam proyek keselamatan ini ? Keluarlah dari kenyamanan kita dan tunjukkan keberanian untuk menjangkau semua wilayah yang membutuhkan terang Injil. Hal ini sebagaimana tertulis dalam dokumen Gereja Evangelii Gaudium 20, bahwa,
Sabda Allah senantiasa menunjukkan pada kita bagaimana Allah menantang mereka yang percaya kepada-Nya "untuk bergerak keluar." Abraham menerima panggilan untuk pergi ke negeri baru (bdk. Kej. 12:1-3). Musa mendengar panggilan Allah, "Pergilah, Aku mengutus engkau" (kel. 3: 10) dan menuntun bangsanya menuju tanah terjanji (bdk. Kel 3:17). Kepada Yeremia, Allah bersabda, "kepada siapa pun engkau Kuutus, haruslah engkau pergi" (Yer. 1:7). Di zaman kita perintah Yesus untuk "pergi dan menjadikan murid" tampak rencana-rencana dan tantangan- tantangan yang selalu baru bagi tugas perutusan penginjilan Gereja, dan kita semua dipanggil kepada tugas perutusan baru "bergerak keluar" ini. Setiap umat Kristiani dan setiap komunitas harus mencari dan menemukan jalan yang ditunjukkan Tuhan, tetapi kita semua diminta untuk mematuhi panggilan-Nya untuk keluar dari zona nyaman kita untuk menjangkau seluruh "periferi" yang memerlukan terang Injil.