Lihat ke Halaman Asli

Martino

Peneliti dan Freelance Writer

Arisan Ruang Publik : Pendekatan Gotong Royong Membangun Ruang Publik

Diperbarui: 30 September 2015   23:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

             Kota selalu dicitrakan memiliki segalanya yang menjadi pemenuhan kebutuhan manusia. Perihal sandang, pangan, papan, kota menyediakannya dengan berbagam macam rupa dan harga. Di ruang modern ini, berbagai prasarana dan sarana aktifitas manusia banyak tersedia. Namun saat bertanya dimana udara segar dan lingkungan asri dapat ditemui? Dimana interaksi sosial dan ekologis dapat dijumpai? Dimana ruang-ruang yang mampu mewadahi kepentingan umum secara cuma-cuma? Kota kesulitan menghadirkan jawabannya.

              Pembangunan kota merupakan wujud dari upaya peningkatan taraf kehidupan masyarakat. Semakin tinggi jumlah penduduk, semakin tinggi pula upaya pembangunan demi pemenuhan kebutuhannya. Salah satu sumberdaya penting dalam pemenuhan kebutuhan adalah lahan. Tingginya kepadatan penduduk diperkotaan yang disebabkan oleh pertumbuhan penduduk dan urbanisasi berpengaruh pada kebutuhan akan lahan. Pemanfaatan lahan sebagai sumberdaya membangun pemukiman, perkantoran, industri, pusat perdagangan, dan sarana prasana publik serta merta turut meningkat. Namun tingginya kebutuhan tersebut tidak sebanding dengan sumberdaya lahan kota yang terbatas. Maka pemenuhan kebutuhan manusia yang terkait dengan pemanfaatan lahan harus saling bersaing untuk mendapatkan prioritas. Faktanya, pemanfaatan lahan untuk pemenuhan kebutuhan yang bersifat materiil dan bermotif ekonomi selalu mendapat tempat di ruang kota. Bangunan fisik gedung perkantoran, pusat perdagangan, pemukiman pada akhirnya memenuhi ruang kota dengan identitasnya masing-masing dan menciptakan lingkungan baru bagi rutinitas keseharian penduduknya.

              Wajah kota masa kini tergambar hiruk pikuk aktifitas sosial ekonomi masyarakat yang terkotak dalam rutinitas rumah-jalan-kantor. Tidak dapat dipungkiri bahwa kualitas dan daya dukung lingkungan kota juga kian menurun. Hal ini disebabkan berbagai pembangunan fisik yang menggeser arti penting pembangunan lingkungan, sosial dan ekologis masyarakat. Maka yang terjadi kemudian, interaksi sosial masyarakat semakin jarang terjadi. Begitupun halnya interaksi masyarakat dengan lingkungan ekologisnya. Kondisi yang demikian mempengaruhi kondisi psikologis masyarakat kota yang cenderung kian individualis. Tuntutan aktivitas keseharian dalam ruang kota yang padat juga akan memicu tingkat stress dan kejenuhan yang tinggi. Sementara ruang untuk sekedar melepas lelah, berkumpul, bersantai dan berdiskusi lebih banyak dikemas dalam bentuk komersial seperti cafe dan pusat perbelanjaan. Ruang-ruang yang tidak semua lapisan masyarakat dapat menikmatinya. Hal sama terjadi ketika masyarakat ingin berolahraga, berekreasi, atau sekedar menghirup udara segar dan menikmati aktifitas dalam lingkungan hijau dan asri. Ruang-ruang tersebut mulai jarang ditemukan diperkotaan. Kondisi ini secara berlarut tidak hanya dapat mempengaruhi menurunnya produktivitas tetapi juga kualitas hidup masyarakat secara umum.

 Mencipta Fungsionalitas Ruang Publik

              Pada dasarnya pembangunan lingkungan merupakan bagian tak terpisahkan dalam proses pembangunan kota itu sendiri. Meskipun pembangunan ekonomi seringkali bertolak belakang dengan kepentingan lingkungan, pada kenyataannya sebuah kota yang dibangun tanpa daya dukung lingkungan yang baik justru akan kontraproduktif. Oleh sebab itu kota yang ideal bagi habitat manusia dirancang memiliki komposisi lahan sebesar 30 persen dari luas wilayahnya untuk pembangunan ruang publik. Hal ini telah diakomodir dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang mengamanatkan bahwa setiap wilayah harus mengupayakan penyediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebesar 30 persen dari luas wilayah. Proporsi bagi kehadiran ruang publik ini bertujuan untuk menciptakan keseimbangan ruang kehidupan sosial-budaya dan ekologis. Ruang-ruang inilah yang semakin dirindukan kehadirannya bagi masyarakat kota. Ruang yang dapat digunakan secara bebas tanpa berbayar untuk beragam aktivitas sosial, budaya sembari bercengkrama meraih kemanfaatan alam.

              Ditengah lahan kota yang semakin terbatas, pembangunan ruang publik harus tetap menjadi prioritas dalam perencanaan tata ruang kota. Untuk itu setidaknya ada tiga upaya dalam rangka pemanfaatan lahan bagi penyediaan ruang publik. Pertama, pembangunan di lahan baru yang sebelumnya minim pemanfaatan. Hal ini dilakukan dengan mengisi lahan-lahan kosong di tengah maupun pinggiran kota, di sekitar sarana umum, maupun bantaran sungai dan waduk. Upaya ini diimplementasikan oleh Kota Bandung yang membangun Taman Film dan Taman Pasupati sebagai ruang publik. Adapun di Jakarta, revitalisasi lahan sekitar waduk menghasilkan Taman Waduk Pluit dan Taman Waduk Ria Rio. Kedua, melakukan alih fungsi lahan bangunan yang telah ada untuk menjadi ruang publik. Alih fungsi tersebut dilakukan terhadap bangunan yang tidak berfungsi optimal atau bahkan mengganggu bagi fungsi lingkungan. Langkah ini pernah ditempuh oleh Kota Surabaya yang mengalihfungsikan 13 Stasiun Pengisian Bahan Bakar menjadi taman kota. Ketiga, merevitalisasi ruang-ruang publik yang tidak berfungsi dengan baik akibat kurangnya fasilitas, penurunan kualitas karena berkurangnya kenyamanan, kebersihan dan keamanan.

            Pembangunan ruang publik harus mengedepankan prinsip kemudahan akses dan pemanfaatan bagi semua golongan, dari berbagai usia dan status ekonomi. Oleh sebab itu pembangunan ruang publik tidak cukup hanya mengedepankan nilai estetika semata, namun juga mampu memberikan nilai manfaat bagi masyarakat. Pembangunan ruang publik dalam bentuk taman, hutan kota, pedestrian, maupun public square harus memenuhi asas 4K yaitu kemudahan, keasrian, kenyamanan, dan keamanan. Asas kemudahan berarti ruang publik tersebut mudah diakses oleh masyarakat. Adapun asas keasrian artinya ruang publik tersebut harus memiliki tanaman dan pepohonan yang dapat berfungsi sebagai peneduh, pengurang polusi, penghasil udara segar dan bernilai keindahan. Asas kenyamanan diwujudkan kedalam ruang publik yang memiliki kelengkapan fasilitas bagi beragam kegiatan dan aktifitas masyarakat seperti tempat duduk, tempat berkumpul, tempat sampah, penerangan, area bermain anak, jogging track. Sedangkan asas keamanan berarti ruang publik yang dibangun harus terbebas dari ancaman yang muncul dari lingkungan maupun perbuatan manusia sehingga mampu menciptakan rasa aman bagi pengunjungnya.

Arisan Ruang Publik

              Ruang publik merupakan hak bagi seluruh masyarakat yang penyediaannya menjadi tanggung jawab pemerintah. Meskipun demikian dalam upaya menghadirkan ruang publik yang berkualitas membutuhkan kerjasama dan dukungan dari semua pihak. Pemerintah, pihak swasta dan masyarakat dapat bekerjasama mulai dari tahap perencanaan, pembangunan, hingga pemeliharaan. Ruang publik sejatinya adalah ruang yang dibangun dengan sumberdaya yang berasal dari masyarakat. Maka selayaknya ruang publik dibangun berdasarkan kebutuhan masyarakat, dikelola bersama masyarakat serta dimanfaatkan bagi kepentingan masyarakat. Hal ini penting dilakukan agar ruang-ruang publik yang terbangun terjaga kualitasnya karena didasari dengan rasa memiliki dan rasa kebersamaan.

              Arisan ruang publik merupakan upaya menghadirkan ruang publik dengan pendekatan makna arisan, yaitu upaya bersama dengan melibatkan beberapa pihak untuk mengerahkan sumberdaya yang diperuntukkan bagi objek yang ditentukan secara bergiliran. Pendekatan arisan ruang publik dapat dilakukan untuk membangun ruang publik di tingkat kabupaten/kota maupun ditingkat administratif yang lebih kecil seperti kecamatan. Di tingkat kabupaten/kota misalnya, seluruh kabupaten/kota yang berada pada wilayah administratif sebuah provinsi, dalam kurun waktu tertentu akan menyediakan sejumlah anggaran yang disepakati bersama untuk pos belanja arisan ruang publik. Sumberdaya anggaran yang terkumpul secara kolektif ini selanjutnya akan dikoordinir oleh pemerintah provinsi sebagai operator penyelanggaraan ruang publik. Dana kumulatif ini akan diberikan kepada masing-masing kabupaten/kota dalam bentuk pembangunan ruang publik secara bergiliran pertahun. Adapun penentuan kabupaten/kota yang berhak memanfaatkan dana kumulatif ini terlebih dahulu dilakukan dengan sistem undian. Sembari menunggu giliran mendapatkan dana kumulatif arisan ruang publik, masing-masing kabupaten/kota dapat mereplikasi sistem arisan ruang publik pada wilayah administratifnya dalam bentuk arisan ruang publik tingkat kecamatan.

              Pendekatan arisan ruang publik tidak hanya dapat dikembangkan dalam tahap pembiayaan pembangunan ruang publik, tetapi juga dapat dilakukan pada perawatan dan pemanfaatannya. Bila dalam tahap pembiayaan pembangunan pemerintah daerah yang berperan aktif, dalam arisan ruang publik di tahap perawatan dan pemanfaatan, masyarakat menjadi pemain utama. Inti arisan pada tahapan ini adalah mendorong partisipasi aktif masyarakat secara bergilir untuk ikut turun tangan melakukan perawatan serta mengisi kegiatan seni budaya di ruang publik yang ada di wilayahnya. Skema arisan ini akan lebih efektif dijalankan dalam lingkup administrasi wilayah yang lebih kecil seperti kecamatan dan kelurahan. Pada ruang publik tingkat kecamatan, selama satu bulan sekali akan dilakukan perawatan dan pengisian kegiatan seni dan budaya secara bergiliran oleh masyarakat perkelurahan yang berada diwilayah administrasinya. Adapun penentuan giliran untuk melaksanakan tugas tersebut dilakukan dengan sistem undian. Hasil penentuan giliran ini kemudian dijadikan sebagai pedoman bagi masyarakat untuk berpartisipasi meningkatkan kualitas ruang publik diwilayahnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline