Berkembangnya wilayah perkotaan telah memunculkan pusat ekonomi yang menjadi daya tarik bagi penduduk usia produktif. Tidak terkecuali bagi Tino (28 tahun), yang kini bekerja di ibu kota.
Agustus mendatang, genap enam tahun sejak ia memutuskan bermigrasi dari daerah asalnya untuk mengadu nasib. Terbatasnya lapangan pekerjaan dan sumber penghasilan di desa, disertai desakan pemenuhan kebutuhan hidup, mendorongnya mencari peruntungan diperkotaan.
Dengan harapan, kesempatan kerja, pengembangan diri serta upah lebih baik dapat diraih. Tino memutuskan untuk melakukan migrasi hanya untuk bekerja, bukan untuk menetap secara permanen. Untuk itu, ia rutin pulang minimal sekali sepekan untuk menemui keluarganya yang ia hidupi didaerah asalnya.
Keputusan Tino untuk melakukan hal itu bukanlah tanpa alasan. Tingginya biaya hidup di ibu kota membuat hitungan finansialnya akan lebih efisien jika keluarganya tetap tinggal di desa dibanding harus diboyong bersama. Konsekuensinya, ia harus pulang pergi secara berkala dengan moda transportasi publik yang kini kian bersaing.
Pola yang dijalani Tino dikenal dengan istilah pekerja sirkuler. Sebutan untuk para pekerja yang rutin melakukan mobilitas pergi untuk bekerja ke suatu wilayah, mondok untuk sementara waktu dan kembali pulang dalam jangka waktu mingguan atau bulanan untuk menemui keluarga di daerah asalnya.
Tidak heran jika setiap akhir pekan, stasiun, terminal dan bandara dibeberapa kota kerap ramai dipenuhi oleh mobilitas pekerja sirkuler pulang dan pergi.
Tino merupakan satu dari banyak pekerja sirkuler yang rela mengorbankan jarak, waktu dan tenaga demi kehidupan yang lebih baik. Berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional 2018, ada sekitar 2,7 juta pekerja sirkuler dengan rentang usia mayoritas merupakan generasi milenial, yakni usia 20 hingga 40 tahun.
Dinamika kehidupan pekerja sirkuler yang dijalani oleh milenial menyajikan romantika yang menarik untuk ditilik. Bagi pekerja sirkuler, berkah kemajuan teknologi komunikasi dan informasi tidak hanya menjadi tumpuan dalam aktivitas keseharian namun juga memiliki arti mendalam.
Layaknya milenial lainnya, Tino menjadikan ponsel dan internet sebagai andalan untuk tujuan produktivitas, hiburan dan berjejaring sosial. Lewat ponsel dan internet pula ia berusaha tetap dekat dengan keluarga. Sekedar untuk mengobati kerinduan atau bahkan menjalankan peran kepala keluarga dan calon ayah ditengah jarak yang memisahkan.
Internet seakan telah menjadi nyawa kedua bagi mereka yang harus selalu mensiasati modernisasi tanpa kehilangan tanggung jawab manusiawi. Itu sebabnya internet cepat dan stabil akan selalu menjadi kebutuhan.
Apalagi jika keduanya dapat diakses dengan harga ekonomis, tentu sangat membahagiakan para pekerja sirkuler seperti Tino. Maklum saja, hitung-hitungan biaya paket data harus selalu ada disela deretan pengeluaran bulanan yang perlu diatur seefisien mungkin.