Lihat ke Halaman Asli

Martino

Peneliti dan Freelance Writer

Pamali, Edukasi Keluarga dalam Bingkai Tradisi

Diperbarui: 20 Juli 2017   11:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seorang ibu mengantarkan anaknya mengikuti tradisi khatam Al-Quran dan peringatan maulid Nabi Muhammad SAW di Lok Baintan, Kalimantan Selatan. (Dok.Pribadi)

Sistem nilai budaya lokal masyarakat Indonesia memiliki cara yang unik dalam membentengi kehidupan sosial dari gempuran globalisasi. Nilai-nilai globalisasi yang bertentangan dengan budaya dan adat istiadat, ditangkal dengan mekanisme kontrol perilaku berupa tradisi adat larangan yang dikenal dengan istilah pamali. Saat ini kepercayaan masyarakat awam tentang pamali umumnya mengalami desakralisasi. Bahkan oleh generasi kekinian dianggap sekadar ungkapan fiktif yang tidak memiliki arti secara sosial. Namun dibeberapa daerah, eksistensi budaya pamali masih terus dilestarikan oleh masyarakat sebagai bentuk didikan dilingkungan keluarga.

Istilah Pamali diartikan sebagai ungkapan nasihat, larangan dan pantangan  melakukan sesuatu yang menurut tradisi dan keyakinan adat istiadat dapat menyebabkan datangnya dampak buruk dan kesialan. Pamali biasanya berisi larangan-larangan seputar perilaku sehari-hari yang lazim ditemui dikehidupan keluarga. Ungkapan larangan tersebut oleh masyarakat selalu dirangkaikan dengan peringatan tentang konsekuensi kerugian yang akan dialami jika larangan tersebut dilanggar. Konsekuensi pelanggaran terhadap larangan umumnya dikaitkan dengan urusan rezeki, jodoh, kesehatan, keturunan dan juga keselamatan.

Secara kebudayaan, pamali tergolong kedalam folklor lisan, yakni suatu bentuk kebudayaan kolektif yang tersebar dan diwariskan turun temurun melalui tradisi lisan kelompok masyarakat. Tradisi pamali masih dipelihara oleh masyarakat yang sarat akan tradisi dan menjunjung tinggi kearifan budaya lokal dalam kesehariannya. Misalnya pada masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan, Sunda di Jawa Barat, masyarakat Jawa, Minangkabau di Sumatera Barat, serta Wolio di Sulawesi Tenggara. Pada masyarakat tersebut, tradisi bertutur pamali kepada keturunan dan sanak keluarga masih terbilang kental. Meskipun secara sosiokultural dan geografis memiliki perbedaan, namun pesan dalam tradisi pamali pada masyarakat di wilayah tersebut memiliki benang merah yang sama.

Sebagai contoh, di Masyarakat Banjar terdapat ungkapan 'Pamali manduduki bantal, kaina bisa babisul'(jangan menduduki bantal, nanti bisa berbisul). Ungkapan bermakna serupa juga terdapat pada masyarakat Jawa dan Walio. Di Jawa diungkapkan dengan 'ora ilok lungguh neng nduwur bantal, mengko wudunen'/ 'aja nglungguhi bantal mundhak wudunen'(tidak baik duduk di atas bantal, nanti bisulan). Sementara masyarakat Walio memiliki keyakinan 'pepali neuramiki polango, roonamo kokabisuakea' (pemali duduk di bantal, nanti dapat bisul). 

Masyarakat Walio juga memiliki ungkapan lain seperti 'pepali kole konowia, roonamo masimbakea angangkanai panyaki' (pemali tidur menjelang sore hari, nanti dimasuki penyakit). Uniknya, masyarakat Banjar memiliki hal serupa yaitu 'pamali guring waktu sanja, kaina garing bangat' (jangan tidur ketika senja, karena akan menyebabkan sakit parah).

Ungkapan larangan lainnya di masyarakat Banjar adalah 'pamali badiri atawa baduduk di muhara lawang, kaina lambat balaki' (jangan duduk atau berdiri di depan pintu, nanti lama mendapat jodoh). Di masyarakat Sunda hal ini dituturkan dengan ungkapan 'ulah cicing di lawang panto' (jangan duduk didepan pintu). Hal yang sama juga dimiliki masyarakat Minangkabau, 'anak gadih indak buliah duduak di muko pintu, beko taambek razaki' (anak gadis tidak boleh duduk di depan pintu, nanti terhambat rezeki). Adapun di masyarakat Jawa menggunakan ungkapan 'ora ilok perawan lungguh neng ngarep lawang, mengko iso dadi perawan tuwa' (tidak baik anak gadis duduk di depan pintu, bisa jadi perawan tua).

Contoh lain, di masyarakat Jawa terdapat larangan 'aja tangi kawanen mundhak rejekine dithothol pitik' (jangan bangun kesiangan nanti rejekinya dipatuk ayam) dan 'yen mangan kudu dientekke mundhak pitike padha mati' (kalau makan harus dihabiskan agar ayamnya tidak mati). Istilah bermakna serupa juga digunakan oleh masyarakat Banjar dalam kehidupan sehari-hari dengan ungkapan 'pamali bangun malandaw, kada parajakian' (jangan bangun kesiangan, nanti tidak memperoleh rezeki) serta 'pamali makan kada habis, banih di pahumaan rusak' (Jangan makan sampai tidak dihabiskan, nanti padi di sawah akan rusak). Sementara di Sunda ada larangan "ari dahar ulah ngaremeh" yang maknanya jika makan haruslah dihabiskan.  

Kesamaan makna ungkapan pamali merupakan cerminan kearifan budaya lokal dalam menciptakan sistem nilai dan tata perilaku. Meskipun terkesan sederhana, namun larangan-larangan yang disertai kiasan tersebut sarat makna. Misalnya larangan duduk diatas bantal bertujuan supaya terbiasa menggunakan peralatan sesuai fungsinya agar terjaga kebersihannya. Sementara pamali duduk didepan pintu mengandung makna agar melakukan aktivitas sesuai tempatnya sehingga tidak mengganggu orang lain. 

Adapun pantangan tidur menjelang sore, mengandung nasihat agar kita tidak memupuk rasa malas. Sebab waktu sore dianggap baik digunakan untuk menyelesaikan pekerjaan rumah, mandi dan bersiap diri untuk ibadah. Larangan lain seperti pamali bangun siang dan nasihat untuk menghabiskan makanan mengandung pesan yang bertujuan membentuk kedisiplinan, etos kerja serta kesyukuran atas rejeki yang dimiliki. Pesan-pesan tersebut menandakan fungsi pamali pada masyarakat lokal digunakan sebagai alat pendidikan karakter, pembentuk kebiasaan, serta peningkat rasa religiusitas dan keyakinan. 

Penanaman Nilai Keluarga

Pada praktiknya, penuturan pamali umumnya dilakukan oleh orang tua kepada anak atau dari yang tua kepada yang muda di lingkup keluarga. Pamali erat kaitannya dengan mitos dan tabu. Sehingga walaupun terkadang hubungan antara ungkapan larangan dan konsekuensi pelanggaran tidak selalu berselaras, namun kepercayaan terhadap tradisi menjadikan pamali dihormati dan ditaati. Meskipun demikian, bagi masyarakat dengan budaya pamali, larangan tersebut bukanlah ungkapan yang mengada-ada tanpa makna dibaliknya. Larangan pamali tersebut selalu dituturkan secara wajar, ringan dan sederhana sehingga dapat diyakini dan diterima.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline