Hari itu kumandang takbir gegap gempita seantero negeri. 17 Juli 2015, kala umat Islam khidmat merayakan hari raya Idul Fitri, kabar insiden Tolikara menghentak kedamaian kehidupan beragama. Kabar luka dari timur negeri segera menggelinding via jejaring sosial menggemparkan jagad nasional. Informasi apa yang sebenarnya terjadi begitu simpang siur.
Berhembus kabar tentang pelarangan ibadah, penyerangan umat muslim saat shalat idul fitri, hingga perusakan dan pembakaran rumah, kios dan masjid oleh sekelompok massa. Peristiwa yang memantik keprihatinan serta kemarahan banyak pihak. Beragam reaksi tumpah ruah dalam berbagai ujaran di media sosial. Banyak yang berusaha menenangkan, tapi tidak sedikit yang meneriakan balas dendam. Sebuah ujian besar bagi kerukunan beragama, yang hampir saja memecah belah bangsa lewat persepsi konflik antaragama.
Bara Tolikara
Tolikara, sebuah kabupaten di provinsi Papua terlahir dari proses pemekaran wilayah Kabupaten Jayawijaya pada tahun 2002. Tolikara dihuni oleh penduduk berjumlah 114.427 jiwa yang mayoritas memeluk agama kristen. Merujuk pada hasil Sensus Penduduk tahun 2010, penduduk pemeluk agama kristen berjumlah 113.763 jiwa, sementara pemeluk agama islam berjumlah 475 jiwa serta 78 jiwa memeluk agama katolik. Selama bertahun-tahun kehidupan sosial budaya masyarakat berlangsung damai tanpa gejolak. Tumbuh saling menghidupi lewat ruang-ruang ekonomi dari pertanian, perikanan, perdagangan dan pengelolaan sumberdaya daerah.
Wajah damai kehidupan masyarakat di Tolikara yang seolah tanpa gejolak, mendadak terkoyak. Isu intoleransi kehidupan beragama kencang berhembus menjadi bingkai insiden kekerasan yang bertepatan pada hari raya umat muslim. Insiden pecah di Karubaga, salah satu distrik di Kabupaten Tolikara pada 17 Juli 2015 yang berujung pada penyerangan dan pembakaran rumah, kios, dan tempat ibadah.
Pecahnya insiden ini disinyalir berawal dari beredarnya surat dari Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) Badan Pekerja Wilayah Toli yang isinya memberitahukan kegiatan seminar dan kebaktian Kebangkitan Ruhani (KKR) Pemuda Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) tingkat Internasional pada tanggal 13-19 Juli 2015 di Tolikara. Dalam rangka kegiatan tersebut selanjutnya umat muslim di Tolikara tidak diijinkan melakukan perayaaan, dilarang melaksanakan ibadah shalat Idul Fitri, serta menggunakan jilbab.
Keberadaan surat edaran yang mencederai toleransi kehidupan umat beragama dan berpotensi menimbulkan konflik tersebut diketahui oleh pihak kepolisian. Hal tersebut ditindaklanjuti oleh Kapolres Tolikara dengan melakukan konfirmasi kepada Bupati Tolikara dan Presiden GIDI agar edaran tersebut dicabut sehingga tidak memicu keresahan. Untuk mencari solusi atas masalah tersebut dilakukan pertemuan antara pihak Kepolisian, Bupati, Presiden GIDI dan perwakilan umat muslim. Hasinya, tercapai kesepakatan bahwa umat Islam tetap diijinkan melaksanakan Shalat Ied di Tolikara, namun tidak dilaksanakan di tempat terbuka dan tidak menggunakan pengeras suara.
Atas dasar kesepakatan tersebut, umat islam lantas melaksanakan shalat Idul Fitri di lapangan asrama Koramil 1402-11 Karubaga. Ketika pelaksanaan ibadah shalat berlangsung, sejumlah massa mendatangi lokasi dan meminta umat muslim untuk menghentikan aktivitas disertai intimidasi. Pihak kepolisian yang berusaha melakukan negosiasi dan menenangkan massa mendapati perlawanan yang berujung pada bentrokan. Para pelaku bahkan melakukan penyerangan terhadap aparat keamanan serta umat muslim yang berada dilokasi. Insiden ini bahkan berbuntut panjang dengan pembakaran kios, rumah dan masjid serta jatuhnya korban jiwa.
Kabar penyerangan di Tolikara menyebar sangat cepat lewat andil media arus utama serta media sosial. Segera mengejutkan dan membakar emosi umat muslim di Indonesia yang kala itu tengah merayakan hari suci, Idul Fitri. Berbagai informasi dan reaksi yang hadir di media sosial menjadikan insiden Tolikara viral di media sosial. Sayangnya, situasi ini belum cukup membantu memperbaiki keadaan. Dalam kondisi yang genting, dimana belum ada keterangan resmi dari pemerintah, aparat kemanan maupun narasumber tentang fakta yang sebenarnya.
Riuhnya berita di media sosial justru memicu lahirnya informasi yang bias dan semakin liar. Informasi yang beredar terus bergulir bersama ungkapan keprihatinan, simpati, kecaman, kemarahan hingga ujaran kebencian bercampur menjadi satu. Menimbulkan potensi kesalahan persepsi dan pembentukan opini yang dapat memecah belah bangsa
Media sosial menjadi elemen krusial dalam penyikapan masyarakat terhadap insiden Tolikara. Tanpa informasi lengkap melalui investigasi yang mendalam, cenderung bermunculan aksi tudingan kepada salah satu kelompok sebagai pihak yang harus bertanggung jawab dan pantas disalahkan. Tudingan yang bila tak terkendali dapat menimbulkan ekses negatif dengan munculnya reaksi balasan secara nyata.