Lihat ke Halaman Asli

Ada Apa dengan "ACT"?

Diperbarui: 12 Juli 2022   23:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

                                                                                                                             Sumber: Suara.com

Beberapa hari ini, publik dihebohkan dengan dugaan penyalahgunaan dana yang dilakukan oleh salah satu lembaga filantropi terbesar di Indonesia yaitu Aksi Cepat Tanggap yang lebih akrab dikenal dengan sebutan ACT. Lembaga ini merupakan salah satu lembaga pengumpul dana masyarakat terbesar di Indonesia (tempo.co, 6 Juli 2022). Masyarakat penyumbang dana pun pastinya akan bertanya-tanya apakah memang benar terjadi penyalahgunaan dana yang telah dilakukan oleh lembaga penghimpun uang dan barang yang selama ini sudah mereka percayai? Lantas bagaimana dengan lembaga pengumpul uang dan barang lainnya? Setidaknya  perrmasalahan ACT ini dapat sedikit mempengaruhi kepercayaan masyarakat terkait dengan kinerja lembaga filantropi lainnya yang sejenis dengan ACT.

Pencabutan ijin ACT tertulis dalam Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 133/HUK/2022 tanggal 5 Juli 2022 tentang Pencabutan Izin Penyelenggaraan Pengumpulan Sumbangan Kepada Yayasan Aksi Cepat Tanggap. Baru beberapa hari lalu Keputusan Mensos tersebut dibuat sebagai tindakan awal untuk menindaklanjuti adanya laporan dugaan penyimpangan penggunaan dana oleh PPATK. 

Indikasi ini juga membuat 60 rekening transaksi ACT diblokir oleh PPATK (cnbcindonesia.com,6 Juli 2022). Sebagaimana disebutkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan pasal 6 ayat 1 yang berbunyi "Pembiayaan usaha pengumpulan sumbangan sebanyak-banyaknya 10 persen dari hasil pengumpulan sumbangan yang bersangkutan." Sedangkan berdasarkan dari hasil klarifikasi dari pihak ACT bahwa penggunaan anggaran rata-rata 13,7 persen dari dana hasil pengumpulan uang dan barang dari masyarakat (detik.com,5 Juli 2022). Oleh karena itu, prosentase 13,7 persen itulah yang tidak sesuai dengan ketentuan batasan maksimal yaitu 10 persen yang ditetapkan oleh pemerintah.

Jika kita melihat lagi berbagai pemberitaan berbagai media terutama media sosial sebenarnya terletak pada masalah "pantas" dan "kurang pantasnya". Secara fungsi kelembagaannya, ACT bergerak di bidang kemanusiaan yang mengurusi kaum fakir miskin dan dhuafa, maka gaji yang fantastis dianggap sebagian orang terlalu berlebihan dan kurang etis. Hal inilah yang menimbulkan kontra banyak pihak. Namun, dilihat dari sisi profesionalitas, jika memang penggunaan anggaran tersebut  untuk operasional kebutuhan organisasi sudah dialokasikan sebesar 10 persen, maka sebenarnya juga tidak masalah sesuai dengan ketentuan peraturan pemerintah. Oleh karena itu, jika alokasi penggunaan dana melebih batas ketentuan yaitu 13,7 persen, maka itulah yang kemudian perlu diinvestigasi lebih lanjut oleh pemerintah dan lembaga terkait. Pertanyaannya adalah apakah memang betul prosentase itu benar adanya untuk belanja operasional termasuk gaji pegawainya atau untuk hal lainnya??Apakah memang benar laporan keuangannya itu sesuai dan dapat dipertanggungjawabkan ataukah hanya dinikmati oleh sebagian petinggi ACT? Inilah yang perlu dilakukan pengawasan dan investigasi lebih lanjut apakah memang dugaan bahwa dana tersebut digunakan untuk pendanaan teroris atau tidak.

Jika kita melihat dari kegiatan kemanusiaan yang sudah dilakukan oleh ACT sudah terbukti bahwa kinerja dari ACT memang cukup cepat dan tanggap dalam membantu pemerintah dalam mengatasi segala permasalahan bencana atau memberikan bantuan kemanusiaan baik di Indonesia maupun internasional. Dari berbagai kegiatan kemanusiaan yang sudah banyak dilakukan oleh ACT tidak memungkiri bahwa peranannya begitu besar sumbangsihnya. ACT sudah dibentuk sejak 21 April 2005 sehinggga sudah belasan tahun berperan dalam kegiatan kemanusiaan baik di tingkat nasional maupun internasional. Namun, sebenarnya yang perlu dipertimbangkan dalam permasalahan ini manajemen pengelolaan dana umat yang tidak sesuai dengan aturan pemerintah karena melebihi batasan maksimal aturan pemerintah. 

Jika kinerja ACT selama ini tidak perrnah bermasalah bisa jadi itu karena manajemennya sekarang mungkin saja sedikit ada masalah karena manajemen suatu organisasi bisa diisi oleh orang yang berbeda-beda sehingga karakternya pun juga beragam. Pada dasarnya sebenarnya permasalahan ini sangat berkaitan dengan transparansi dan akuntabilitas. Baik organisasi pemerintah maupun swasta perlu memperhatikan kedua prinsip tersebut karena seringkali dapat memunculkan perrmasalahan dan mengarah pada tindakan penyelewengan ketika prinsip tersebut dilanggar. Jika memang ada indikasi dugaan penyalahgunaan anggaran seharusnya investasi lebih lanjut perlu dilakukan dan perbaikan manajemen internal ACT dapat dilakukan secepatnya. Jika memang pembenahan manajemen ACT dilakukan dan bisa mendapatkan ijin kembali dari Kemensos maka tindakan perubahan tersebut perlu dilakukan secepatnya demi menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap ACT. Belajar dari kasus ACT ini dapat menjadi catatan bagi pemerintah untuk bisa mengawasi kinerja dari para lembaga pengumpul uang dan barang agar pengelolaan anggarannya bisa lebih transparan dan akuntabel.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline