Lihat ke Halaman Asli

Layanan Jemput Bola "e-KTP"

Diperbarui: 28 Maret 2022   21:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Beberapa waktu lalu, publik dihebohkan dengan pemberitaan diberbagai media tentang seorang warga Kabupaten Bulukumba yang meninggal dunia saat melakukan perekaman e-KTP untuk mengurus persyaratan BPJS Kesehatan (Kompas.com,16 Maret 2022). Kejadian tersebut akhirnya memunculkan spekulasi masyarakat mengenai adanya pemaksaan dalam pengurusan   e-KTP agar dapat mendapatkan pelayanan BPJS Kesehatan di rumah sakit.

Pada dasarnya memiliki KTP merupakan kewajiban yang harus dimiliki oleh penduduk Indonesia. Sebagaimana dijelaskan dalam UU Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan bahwa KTP adalah identitas resmi penduduk sebagai bukti diri yang diterbitkan oleh instansi pelaksana yang berlaku di seluruh wilayah NKRI. Aturan ini mendasari bahwa penduduk WNI dan orang asing yang memiliki ijin tinggal tetap yang telah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau telah kawin atau pernah kawin wajib memiliki KTP. Seiring berjalannya waktu, penggunaan KTP konvensional memungkinkan seseorang memiliki lebih dari satu KTP. Hal ini dikarenakan belum adanya basis data terpadu yang menghimpun data penduduk di seluruh wilayah Indonesia. Kondisi ini menjadi masalah karena dapat memberikan peluang kepada penduduk untuk berbuat curang dengan cara menggandakan KTP-nya. Oleh karena itu, pemerintah menginisiasi perubahan dalam pembuatan KTP berbasis elektronik atau lebih dikenal dengan nama e-KTP.

Program e-KTP merupakan langkah maju dari pemerintah untuk melakukan pendataan penduduk yang terintegrasi secara nasional.  Proses pembuatan e-KTP memanfaatkan chip yang didukung dengan teknologi biometric yang mampu mengidentifikasi ketunggalan data identitas penduduk yang berupa: 10 sidik jari, dua iris mata, dan foto wajah. Dengan teknologi ini, maka upaya mengubah identitas seseorang tidak akan berhasil. Oleh karena itu, setiap satu orang hanya bisa mendapatkan satu KTP saja. Kegunaan KTP memang tidak bisa dianggap remeh selain sebagai bukti identitas seseorang, KTP juga berfungsi sebagai akses untuk mendapatkan pelayanan publik. Sebagaimana disebutkan dalam UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan pasal 64 ayat 2 bahwa Nomor Induk Kependudukan (NIK) menjadi nomor identitas tunggal untuk semua urusan pelayanan publik. Dengan adanya aturan ini, maka kepemilikan e-KTP wajib dimiliki oleh setiap penduduk Indonesia.

Berkaitan dengan kasus warga Kabupaten Bulukumba yang meninggal saat mengurus e-KTP, ada pelajaran yang bisa diambil yaitu jika masyarakat sudah berusia 17 tahun ke atas harus segera membuat e-KTP. Kepemilikan e-KTP menjadi sangat penting agar tidak menghambat masyarakat untuk mendapatkan akses pelayanan publik. Namun demikian, pada dasarnya pelayanan administrasi kependudukan diharapkan dapat memperhatikan kebutuhan masyarakat. Kebutuhan masyarakat dapat terpenuhi jika pelayanan publik dapat memberikan pelayanan dengan memenuhi indikator pelayanan yang baik. Tahun 1990an merupakan titik awal munculnya paradigma gaya manajemen birokrasi pemerintah yang mengarah pada New Public Management. Paradigma ini mendasari bagaimana aktivitas organisasi pemerintah harus berbasis kinerja (Hood, 1991). Selanjutnya, Parasuraman et al (1988) juga mengindentifikasi beberapa dimensi yang harus ditekankan dalam meningkatkan kualitas pelayanan yaitu: tangibles (sarana prasarana), reliability (kehandalan), responsiveness (daya tanggap), assurance (jaminan),dan empathy (empati). Lima dimensi kualitas pelayanan tersebut perlu dilakukan oleh organisasi pemerintah agar dapat meningkatkan kepuasan masyarakat.

Pelayanan publik sangat berkaitan erat dengan kinerja organisasi pemerintah. Pada dasarnya kinerja organisasi merupakan gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan program yang telah dilaksanakan. Pada program "layanan jemput bola" e-KTP yang menonjol dari dimensi kualitas pelayanan adalah daya tanggap dan empati. Hal ini dikarenakan penyelenggara pelayanan berusaha merespon setiap masyarakat yang ingin mendapatkan pelayanan dan mendahulukan kepentingan masyarakat, jika memang ada suatu kondisi tertentu yang menyebabkan pemohon tidak dapat datang ke kantor pelayanan

Menanggapi permasalahan yang terjadi di Kabupaten Bulukumba, Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri menyatakan bahwa instansi pelaksana siap memberikan pelayanan "jemput bola" bagi mereka yang membutuhkan. Hal ini juga terbukti dengan beberapa pelayanan "jemput bola" yang dilakukan oleh beberapa pemerintah daerah kabupaten/kota di Indonesia. Hal ini juga diperkuat dari pernyataan dari Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Provinsi Sulawesi Selatan bahwa pelayanan "jemput bola" sudah dilakukan. Dari berbagai pernyataan ini, ada hal yang menjadikan pertanyaan mengenai apakah program tersebut sudah disosialisasikan kepada instansi terkait? Apakah program tersebut sudah disebarkan melalui saluran komunikasi yang ada misal: website pemerintah daerah, media sosial, dan lain-lain? Jika program tersebut sudah disosialisasikan dengan baik, tentunya pihak rumah sakit pun tahu bahwa ketika ada masyarakat yang mengalami kesulitan dalam mendapatkan akses pelayanan kesehatan maka pihak rumah sakit akan menginformasikan kepada pasien dan keluarganya bahwa pelayanan pengurusaan e-KTP dapat dilakukan ketika pasien berada di rumah sakit. Selanjutnya, pihak keluarga pasien atau mungkin rumah sakit dapat mengajukan permohonan kepada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil setempat untuk dapat melakukan perekaman e-KTP di rumah sakit.

Jika kita melihat kembali pada Road Map Reformasi Birokrasi 2020-2024 disebutkan bahwa penyelenggaraan pemerintahan mengarah pada dynamic governance yaitu upaya untuk meningkatkan kapasitas birokrasi untuk mewujudkan pemerintahan kelas dunia. Neo dan Chen (2007) mendeskripsikan dynamic governance dalam tiga pola yaitu thinking ahead (berpikir ke depan), thinking again (mengkaji ulang), dan thinking across (belajar dari pengalaman organisasi lain). Dengan mengamati permasalahan yang terjadi dalam pelayanan e-KTP, maka diperlukan pola thinking again artinya bagaimana instansi pelaksana penyelenggaraan administrasi kependudukan perlu mengkaji ulang terhadap program yang sudah dilakukan apakah memang selama ini program yang dijalankan sudah disosialisasikan dengan baik. Dengan peningkatan kualitas pelayanan administrasi kependudukan yang baik maka penilaian masyarakat terhadap kinerja unit pelayanan publik akan semakin baik pula.(*)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline