Semua orang sepertinya pernah merasakan rindu yang kelabu, namun cara mengungkapkannyalah yang berbeda-beda. Mungkin dengan sedu sedan tak tentu, ada pula dengan tangis bisu, atau bahkan tanpa air mata rindu. Dan aku adalah satu diantara jutaan orang yang menumpahkan kerinduan lewat tangis, entahlah mungkin karena aku adalah wanita, hatiku lembut dan kadang terlampau ungu.
Malam ini, setelah sekian lama, aku kembali tergugu dalam kerinduanku pada seorang Ibu, aku kembali bereinkarnasi dengan perasaanku sendiri. Menghamburkan jutaan kenangan lama, yang menyesakkan dadaku. Menyemburkan kekesalan dan rasa gregetan akan ketidakberdayaan untuk bertemu dengan orang-orang tersayang di kampungku nan jauh di seberang sana. Bukan lagi antar pulau, seperti saat aku mondok di Al-Amien dulu yang hanya Banjarmasin-Madura, kali ini adalah antar benua, Asia-Afrika... Indonesia-Kairo. Aduhai jauhnya. Dengan apa ku belah lautan kerinduan ini? Andai bisa ku pinjam tongkat milik Nabi Musa, niscaya samudera ini akan ku belah lalu aku berlari di atasnya untuk menghampiri orangtuaku. Namun bagaimanapun, realita adalah realita. Ini memang Mesir tapi tongkat Musa itu hanya tinggal sejarah. Semua yang aku angankan pun terbang tanpa sisa. Aku harus bersabar... itu saja yang bisa aku lakukan. Hanya itu saja. Tak lebih.
Rasa ini mengiris hati. Harusnya mungkin Mama Abah tak perlu mengunjungiku ke Kairo untuk menengok sepasang cucunya yang baru lahir. Semua tidak akan menjadi begini. Perasaan kehilangan benar-benar menggangguku, setelah selama 20 hari kemaren rumah ini begitu ceria dengan kehadiran kedua kakek nenek yang baru menikmati masa-masa memiliki cucu pertama mereka.
Kenyataannya sekarang, bayangan-bayangan mereka ada dimana-mana. Bayangan saat keduanya menggendong Atikah bergantian dengan penuh syukur dan bahagia. Bayangan Kakek Atikah yang dengan suaranya yang terdengar semakin menua, sedang menggendong cucunya sambil melantunkan iringan lafadz tauhid yang begitu jelas di telinga ini."Laa...ilaaha illa Allah al Maliku Al Haqq ul-Mubien.. Muhammadurrasulullah...Shadiqul Wa'dul Amien.." Teringat jelas juga, nenek Atikah yang mencoba mendiamkan sang cucu yang sedang menangis. Tangan tuanya menepuk-nepuk pantat Atikah kecil sambil sesekali ia bermain cilukba dengannya. Memori-memori itu terlalu sulit ku abaikan.
Di saat bayangan demi bayangan itu mendominasi memoriku, air mata ini mengalir deras. Melihatku yang tergugu seperti anak kecil yang baru saja dimarahi Ibunya, suamiku hanya bisa tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala. Atikah kecil sedang lelap tertidur, ia masih bayi mungil yang kesehariannya hanya tidur, bangun ketika haus lalu tidur lagi.
Aku masih asyik dengan lamunanku. Seraya sesekali mencoba menyembuhkan perasaanku sendiri. Namun kenangan demi kenangan itu terus menyusup masuk, memaksaku untuk terbang ke masa-masa indah, dimana pertemuan mampu menyejukkan hati seorang anak yang baru saja menjalani hari-harinya sebagai Ibu. Sebuah metamorfosa yang nyata, bahwa bumi berputar dan waktu pun berjalan. Aku yang tadinya bayi mungil di gendongan Mama, kini berubah menjadi seorang Ummi bagi Atikah.
Masih tergambar nyata, saat itu adalah tanggal 03 oktober 2008, Mama Abah datang ke Kairo tepat seminggu setelah Atikah lahir dan kurang seminggu sebelum kelahiran sepupu Atikah, Muhammad Zainal Arifin. Ya, keduanya bela-belain berkunjung ke Kairo demi menjenguk kedua orang puterinya yang akan melahirkan cucu-cucunya. Aku adalah puteri yang nomor tiga. Dan kakak kandungku yang juga kuliah di Azhar adalah puteri yang nomor dua.
Menakjubkan. Aku menikah tiga bulan lebih dulu daripada kakakku. Namun aku dan kakakku "Ami" hanya beda masa kehamilan dua minggu saja. Walhasil, usia Atikah dan Zain hanya terpaut dua minggu. Subhanallah, kebahagiaan terpancar dari wajah tua Abah dan Mama, karena mereka akhirnya memiliki sepasang cucu yang cantik dan ganteng dalam satu deretan waktu. Syukur kepada Allah, aku dan kakakku melahirkan normal. Putra-putri kami pun lahir dalam keadaan selamat.
*******
Kesibukan mengurusi cucu itu membuat Abah dan Mama belum sempat berjalan-jalan mengunjungi obyek-obyek wisata dan sejarah yang ada di negeri Anbiya' ini. Hanya Abah saja yang sudah beberapa kali menyusuri pengadilan-pengadilan di Mesir, sambil melaksanakan studi banding kehakimannya. Bagi seorang Hakim seperti Abah`, tentu tidak mudah mendapatkan cuti lebih dari seminggu. Akhirnya, Abah memutuskan untuk mengajukan permohonan cuti dengan alasan melakukan studi banding ke Mesir dengan biaya sendiri sekaligus menengok anak cucu. Begitulah, cutinya yang tadinya hanya diberi waktu 10 hari bisa ditambah menjadi 20 hari. Dan dari 20 hari itu, hanya ada waktu 5 hari sebelum pulang yang mereka gunakan untuk jalan-jalan. Selebihnya adalah mengurus anak cucu. Ckckck.