Lihat ke Halaman Asli

Paragraf untuk Engkau, Adik Perempuanku...

Diperbarui: 17 Juni 2015   11:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Kepada engkau, adik perempuanku....

Bagaimana warna langit beberapa hari ini tampak dari bibir jendelamu ? si bujang bungsu dan aku tak lagi sua dengan biru yang laut, atau laut sedang didera ombak dari belahan lain membawa serpih-serpih pedih yang jelaga, saat bulir-bulir airmata menjelma menjadi butir-butir hujan, deras yang menebar perih dan guntur sebagai suara pekik hati yang tak mampu lagi kau tahan ? Si bujang bungsu dan aku, kami sudah berjam-jam berhujan-hujan meresapi gigil dari rintik sedih yang sedang engkau tumpahkan, lalu kepada rintik-rintik itu pulalah si bujang bungsu titipkan cinta yang tlah susah payah dia bangun pada lapang masa mudanya, dia membangunkanmu sebuah kastil, di ruang hatinya yang mungkin lebih luas dari semesta, hingga apabila engkau berdiri di puncaknya, engkau mungkin akan mampu merasa hanya sejengkal dari surga, karena bukankah Tuhan dan Manusia hanya berjarak sejauh daging dengan kulit ?. Dan, kini si bujang bungsu tak lebih dari seorang raja pada kastil yang hampir menuju ketiadaannya, sudah kusaksikan bagaimana dia memunguti balok batu yang satu-persatu berjatuhan menghujam tubuhnya yang lelah. Hati nya ?, membiru seperti sudah disapu seribu teguk racun.

Kepada, engkau adik perempuanku...

Bertahun-tahun aku menghabiskan hari bersama si bujang bungsu, maka untuk menyambut engkau, sudah kusemai benih lavender di taman paling rahasia, agar dapat kupetik pada permulaan Agustus dan engkau akan mampu menghirup harumnya dari sudut-sudut kamar. Nanti si bujang bungsu akan merangkainya, apabila engkau mau pulang ke kastil si bujang bungsu. Bahkan apabila cinta hanya sisa-sisa dari keikhlasan, biarkan si bujang bungsu yang akan membenahinya menjadi sebuah utuh untuk engkau miliki selamanya, aku tahu betapa terampilnya dia.

Kepada engkau, adik perempuanku...

Engkau dan aku adalah turunan Hawa berikut segenap aura perasaan yang dititipkan surga, warna yang sama, cecap yang getir bila engkau sebut getir, manis bagi engkau bila kusebut manis. Aku mampu meraba setiap gurat perih diruang dadamu akhir-akhir ini, perasaan yang akan engkau benarkan bila kuuraikan. Aku juga mencoba menceritakan perih di ruang dada si bujang bungsu untuk kumengerti sendiri, lalu kutuliskan semuanya pada satu rangkai paragraf, untuk engkau baca dan untuk direnungi si bujang bungsu.

Kepada engkau, adik perempuanku...

Sepanjang pengetahuan yang resap pada nalar dan kalbuku sepertiga abad ini, cinta tak pernah menjadi demikian nestapa :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline