Campur aduk antara rasa geram, marah, kesal terhadap tim JPU, mungkin itulah yang dirasakan rekan-rekan sejawat dan keluarga para terdakwa perkara bioremediasi Chevron. Bagaimana tidak, tuntutan JPU untuk ketiga rekan mereka Kukuh, Rumbi, dan Widodo sangat di luar dugaan dan akal sehat. Kukuh dituntut 5 tahun, Rumbi 4 tahun, dan siang tadi Widodo dituntut 7 tahun. Mengapa di luar dugaan? Karena serangkaian fakta kuat yang membuktikan perkara ini adalah hasil rekayasa sangat gamblang dibuktikan di persidangan. Bukti mengenai saksi ahli sekaligus saksi fakta Edison Effendi yang sarat konflik kepentingan dan tidak berkompeten, tidak satupun digubris JPU dan Ketua Majelis Hakim. Belum lagi keterangan-keterangan dari saksi ahli bioremediasi dari IPB, ITB yang menguatkan dakwaan JPU salah alamat. Mereka dengan tegas menyatakan bahwa tuntutan jaksa tidak sesuai dengan peraturan perundangan dan dari sisi ilmu pengetahuan metoda yang dilakukan saksi ahli kejaksaan dalam membuktikan dakwaannya jauh melenceng dari kaidah-kaidah yang dianut para ilmuwan. Tidak sampai disitu, keterangan para saksi ahli hukum dari Unpad dan UGM pun ikut mematahkan seluruh dakwaan JPU. Saksi Ahli Hukum dengan tegas menyatakan bahwa kasus ini layaknya masuk ranah perdata (bukan pidana) dan saksi ahli dengan tegas pula menyatakan dakwaan JPU melanggar kewenangannya karena tidak melibatkan Kementrian Lingkungan Hidup dari awal penyidikan.
Nurani keadilan pun semakin terkoyak dengan sikap Majelis Hakim yang tidak imparsial karena condong pro kepada JPU. Kritik dari KY terhadap Majelis Hakim pun sudah berulang kali diutarakan. Kritik yang terakhir adalah ketika Majelis Hakim memutuskan untuk melanjutkan pembacaan tuntutan terdakwa Kukuh dari jam 14.30 sampai jam 3.30 pagi! Waktu sidang yang mungkin layak masuk rekor MURI karena berlangsung sampai subuh! Hal ini yang sudah di luar batas nalar dan akal sehat.
Rumbi, Kukuh, Widodo serta 2 rekanan kontraktor Chevron Ricksy dan Herland sebenarnya salah satu contoh (dari sekian banyak contoh) ketidak adilan hukum di Indonesia. Salah satu contoh dari proses peradilan yang tidak mencari kebenaran materiil. Reaksi keras dari berbagai elemen masyarakat, seperti ikatan alumni UI, ITB, UI, ITS, Trisakti, UPN, Komnas HAM, Menteri ESDM, bahkan kabarnya sudah sampai di telinga SBY pun sepertinya tidak menggoyangkan niatan para penegak hukum untuk membawa proses persidangan ini ke arah yang mereka inginkan dari awal. Hal ini menimbulkan banyak spekulasi, bahwa ada sponsor di belakang JPU. Tidak berlebihan dugaan ini, karena begitu luar biasanya energi yang dicurahkan tim gedung bundar untuk menggempur kasus ini. Mereka bertahan dalam situasi yang melawan arus, tidak gentar untuk meneruskan kasus yang terang benderang tercium aroma kriminalisasinya. Banyak juga yang berpendapat, bahwa mungkin Kejaksaan Agung tidak mau kehilangan muka, walau sadar mereka salah, namun karena kasus ini sudah mendapat ekspos dari masyarakat, jadi kepalang tanggung, maju terus pantang mundur. Namun menurut hemat penulis, apalah rasa malu itu ketimbang hukuman di akhirat kelak karena telah salah menghukum orang. Hal yang bertentangan dengan adagium terkenal bagi Sarjana Hukum, "Lebih baik melepaskan 1000 orang bersalah daripada menghukum 1 orang ebnar. Terlepas dari itu semua, mari kita kembalikan kepada Majelis Hakim, agar mereka bisa mempertimbangkan fakta-fakta persidangan dengan seadil-adilnya. Walaupun harapan ini agak tipis, karena diduga Majelis Hakim pun tidak mau kehilangan muka, karena sebelumnya sudah “terlanjur” mengetok vonis bersalah terhadap kontraktor Chevron: Ricksy dan Herlan. Malangnya, Riksy dan Herlan sampai saat ini pun belum menerima salinan keputusan majelis hakim, sehingga mereka masih mendekam di penjara dan tidak bisa melakukan banding.
Wahai penegak hukum, hendaklah gunakan kekuasaan yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa kepadamu dengan sebaik-baiknya. Karena hidup di dunia ini hanya sementara, kalian kelak harus mempertanggung jawabkannya di depan Tuhan pencipta Langit dan Bumi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H