Lihat ke Halaman Asli

Emmanuel Martin Nugraha

Mahasiswa Hubungan Internasional UPN Veteran Yogyakarta

Media Massa sebagai Balance of Power pada Kasus Invasi Rusia ke Ukraina

Diperbarui: 28 November 2023   19:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Digitalisasi memberikan dampak signifikan terdahap cara suatu negara menjalankan kebijakan luar negerinya. Penggunaan media sosial untuk pemberitaan tentang konflik, dapat dengan mudah memengaruhi persepsi politik, menyuarakan pendapat tentang konflik, dan meminta dukungan publik di seluruh dunia. Hal ini dapat kita lihat Pada konflik Rusia - Ukraina yang cukup banyak menuai respon publik.

Dinamika narasi publik dalam internet pada kenyataannya memberikan kesempatan untuk memperkuat para aktor politik maupun pemangku kepentingan pro-Ukraina dalam membuat disinformasi. Media massa dalam hal ini melakukan pembawaan berita palsu sebagai bentuk disinformasi terkait aksi keji pembunuhan, penyiksaan, serta pelecehan terhadap warga sipil oleh tentara Rusia di kota Bucha, Ukraina.

Media Massa pro-Ukraina menuding Rusia menjadi pihak yang harus bertanggung jawab atas kejadian yang menimpa penduduk kota Bucha di masa invasi Rusia, hal ini dipicu oleh munculnya rekaman video yang menampakkan mayat-mayat yang telah berserakan di jalanan dengan kondisi ikatan yang tampak melingkar di pergelangan tangan mereka.

Potongan video ini direkam oleh salah satu anggota kepolisian Ukraina dan berhasil mendapatkan atensi publik sejak video ini tersebar di berbagai media sosial dan ditonton oleh jutaan penggunanya. Awalnya publik turut mengecam dan menyuarakan pembebasan bagi Ukraina. Namun, hal ini dibantah oleh pihak Rusia dengan memberikan penjelasan bahwa selama dalam kendali Rusia, warga Bucha dapat bergerak bebas.

Rusia menjelaskan bahwa selama pasukan kontrol milih Rusia berada disana, tidak ada satupun warga setempat yang menderita. Bahkan pasukan milik Rusia tersebut turut mengirimkan dan mendistribusikan 452 ton bantuan kepada warga setempat. Bahkan Rusia membalikan tuduhan dengan mengatakan pasukan ukraina yang gencar menembaki kota itu dengan arteri dan peluncuran rocket.

Disisi lain Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy menyebutkan bahwa peristiwa yang terjadi di Bucha ini merupakan Genosida. Pada akhirnya kedua sentimen ini membuat masyarakat mulai meragukan kedua pihak dan mulai netral kembali. Namun, kecaman publik kembali menjadi besar ketika Komisioner hak asasi manusia Ukraina menceritakan mengenai pemerkosaan yang terjadi di Ukraina.

Komisoner HAM Ukraina yaitu Denisova melaporkan bahwa kejahatan yang dilakukan Rusia cukup mengkhawatirkan dan mencakup pemerkosaan terhadap bayi, pemerkosaan berulang dan sistematis terhadap 20 wanita di ruang bawah tanah, serta pelecehan dan penyiksaan terhadap seorang pria yang keluar dari persembunyiannya untuk mengambil air.

Selain menyulut simpati dan reaksi publik yang mendukung pihak Ukraina, hal ini pada kenyataannya juga menjadi celah bagi para propagandis dan media untuk memanfaatkan rasa simpati para pengguna sosial media. Pasalnya, pasca serangan tersebut, berbagai video penghormatan kemudian memenuhi beranda media sosial dan tidak sedikit yang mengutuk tindakan Rusia secara apriori.

Hal ini menjadi kekuatan penting dalam dunia Internasional karena dengan adanya rasa simpati ini, negara-negara menjadi turut mendukung Ukraina dalam konflik tersebut, dukungan moral maupun barang juga telah mereka dapatkan sehingga pada akhirnya Ukraina berhasil bertahan sejauh ini terhadap serangan Rusia.

Meskipun pada akhirnya, Denisova terungkap berbohong tentang insiden tersebut. Ia sendiri mengungkap bahwa ia sengaja 'melebih-lebihkan' laporan kejahatan seksual yang dilakukan oleh tentara Rusia kepada warga sipil Ukraina dalam upaya untuk mendapatkan simpati seluruh dunia. Akhirnya pada 31 Mei 2022 Denisova dipecat atas tuduhan memberikan laporan palsu terhadap kasus pelecehan tersebut.

Berdasarkan pemeriksaan, saat diinterogasi kejaksaan, Denisova mengaku mendapat informasi kekerasan seksual dari putrinya, Oleksandra Kvitko. Putri Denisova mengatakan kepada kantor kejaksaan bahwa dia telah menerima 1.040 panggilan melalui hotline, 450 di antaranya berkaitan dengan pemerkosaan anak. Namun catatan resmi menunjukkan hanya 92 panggilan yang dilakukan. Hal ini tentunya merupakan salah satu bukti bahwa Denisova memberitakan berita palsu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline