Lihat ke Halaman Asli

Demokrasi Premanisme di Aceh

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1391478968279853845

[caption id="attachment_293727" align="aligncenter" width="407" caption="Dua orang pembunuh bayaran Cekgu (Kader Partai Nasional Aceh) berhasil ditangkap. Cekgu dibunuh karena sering mengkritisi petinggi Partai Aceh"][/caption]

Dalam era demokrasi modern, rakyat tidak menghendaki prinsip “the king can do no wrong”. Demokrasi justru berpijak kuat pada dialektika, komunikasi dua arah antara “king” dengan “demos” atau rakyat. Kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat. Sehingga kritik rakyat kepada pemimpin menjadi bagian dalam berdemokrasi. Demokrasi harus sejalan dengan penghormatan hak asasi manusia. Jabatan yang dipegang oleh pemimpin, bukan diartikan sebagai kekuasaan melainkan amanah.

Indonesia menjadi salah satu negara demokrasi terbesar di dunia. Saat ini, masyarakat di berbagai daerah dapat berpatisipasi secara politik dalam membangun daerahnya sendiri. Walaupun dalam prakteknya tidak sesuai harapan, karena demokrasi sering kali menjadi topeng bagi kelompok yang haus akan kekuasaan. Demokrasi menjadi kendaraan bagi sedikit orang untuk menguasai banyak orang. Itulah resiko dari implementasi demokrasi di tengah masyarakat Indonesia yang belum matang dalam berpolitik.

Salah satu fenomena yang menarik dalam demokrasi di Indonesia adalah hadirnya Partai Politik lokal di Aceh. Untuk di Papua, UU Otsus Papua mengatur pembentukan Partai Politik Lokal, namun hingga saat ini belum terbentuk. Harapannya, Partai Politik Lokal ini dapat menjadi wadah masyarakat untuk mendapatkan kesempatan yang lebih luas untuk membangun daerahnya. Kenyataannya tidaklah demikian, Partai Politik Lokal di Aceh masih jauh dari harapan idealnya.

Dalam Pemilu 2014 mendatang, terdapat tiga Parpol Lokal Aceh yang akan menjadi peserta dalam memperebutkan kursi DPRK (Kabupaten) dan DPRA (Aceh). Tiga Parpol tersebut adalah Partai Aceh yang dipimpin oleh Muzakir Manaf (Wakil Gubernur Aceh), Partai Damai Aceh yang diketuai oleh Muhibbussabri, dan Partai Nasinal Aceh yang diketuai oleh Irwansyah.

Keamanan, Masalah dalam Berpolitik di Aceh.

Surat Kabar harian Kompas, 30 Januari 2014, menerbitkan hasil wawancara dengan Ketua Umum tiga Parpol Lokal tersebut. Hasil Wawancara tersebut menunjukkan, masalah keamanan masih menjadi penghalang dalam pembangunan dan berpolitik di Aceh. Muzakir Manaf berpandangan bahwa citra Aceh sebagai daerah yang kurang aman telah mereduksi minat investor masuk ke Aceh. Daerah ini masih menghadapi permasalahan kemiskinan yang serius sekitar 17,6 persen dengan tingkat pengangguran 10,3 persen. Angka itu diatas rata-rata nasional yaitu 11,7 persen dan 6 persen.

Muhibbussabri, Ketua Partai Damai Aceh berpandangan citra Aceh yang menakutkan masih menjadi momok. Walaupun kewenangan yang dimiliki Pemerintah Aceh sudah cukup besar jika dibandingkan dengan daerah lainnya di Indonesia, namun implementasi kewenangannya masih srudak-sruduk. Penerapan syariat Islam di Aceh masih tumpul ke atas dan hanya tajam ke bawah. Bahkan dalam beberapa kasus, polisi syariat justru menjadi pelanggar syariat.

Irwansyah, Ketua Umum Partai Nasional Aceh mengungkapkan keprihatinan terhadap kekerasan politik yang masih bersemayam di Aceh. Betapa sulitnya menjadi berbeda secara politik di Aceh. Hal itu mengacu pada teror yang selama ini dialami oleh Partai Nasional Aceh yang dilakukan oleh Partai Aceh sejak awal pembentukannya. Menurutnya, untuk mendirikan Partai Nasional Aceh, sangat disayangkan karena telah menimbulkan korban nyawa dan luka-luka di kalangan kadernya karena adanya penolakan dari Partai Aceh sebagai partai penguasa.

Prediksi : Merosotnya Perolehan Suara Partai Aceh.

Dengan adanya aturan mengenai Partai Lokal, GAM bertranformasi ke dalam Partai Aceh. Partai Aceh sukses merebut 46,91 persen suara pada Pemilu 2009. Menurut beberapa pengamat politik, sukses besar Partai Lokal dalam mengalahkan Partai Nasional di Aceh tidak terlepas dari cara-cara yang tidak demokratis, diantaranya dilakukan dengen meneror pemilih. Cara tersebut sudah lumrah dilakukan oleh GAM dalam perjuangannya, mereka tidak segan-segan mengorbankan nyawa masyarakat untuk mencapai tujuannya.

Perolehan suara Partai Aceh diyakini akan jauh menurun karena adanya gesekan internal. Beberapa tokoh dan kadernya terpaksa pecah kongsi karena rebutan kekuasaan menjelang Pemilihan Gubernur Aceh pada tahun 2012. Akibat gesekan tersebut lahirlah Partai Nasional Aceh.

Selain adanya perpecahan internal dalam kalangan mantan GAM di Partai Aceh, rakyat Aceh juga sudah menyadari bahwa kemampuan mantan GAM dalam memimpin Aceh tidak dapat diharapkan. Akibatnya Partai Nasional kembali menguat, beberapa pemilihan kepala daerah Kabupaten/ Kota dimenangkan oleh Partai Nasional seperti Kota Banda Aceh, Bener Meriah, Gayo Lues, Singkil dan Simeulue.

Partai Aceh menjalankan Demokrasi Premanisme

Sejak diberlakukannya MoU Helsinski, keamanan masih menjadi permasalahan di Aceh. Ironisnya dari data yang ada, konflik tidak lagi didominasi antara GAM dengan TNI dan Polri, tetapi lebih banyak terjadi di kalangan antar sesama mantan GAM.

Mantan GAM merasa paling berjasa untuk Aceh dalam mendapatkan Otonomi Khusus dengan gelontoran dana yang besar. Akibatnya terjadi rebutan kekuasaan dan sumber ekonomi. Perpecahan dalam tubuh Partai Aceh menjadi contoh paling nyata dari gesekan antar sesama mantan GAM tersebut. Saat ini, konflik politik antara Partai Aceh dengan Partai Nasional Aceh paling sering terjadi.

7 Januari 2014 di Desa Tanjung Awe, Kecamatan Samudra, Aceh Utara, Syamsuddin (50) seorang kader Partai Nasional Aceh dianiaya oleh belasan orang yang ditenggarai dilakukan oleh kader Partai Aceh. Penganiayaan yang sama juga terjadi di Lhokseumawe pada 10 Januari 2014, Jufrizal (20) yang memasang bendera Partai Nasional Aceh ( PNA) di jalan Medan-Banda Aceh, tepatnya di kawasan Panggoi, Kecamatan Muara Satu, Lhokseumawe, dilaporkan telah dianiaya sekelompok pria.

Posko pemenangan Pemilu milik Partai Nasional Aceh ( PNA) di Desa Keude Karieng Kecamatan Meurah Mulia, Aceh Utara juga menjadi sasaran Partai Aceh. Pada Sabtu 25 Januari 2014, bertepatan dengan waktu shalat maghrib, posko pemenangan PNA tersebut dirusak sekelompok pria yang menggunakan mobil berstiker caleg Partai Aceh (PA).

Kekerasan politik yang dilakukan Partai Aceh, juga telah menimbulkan korban jiwa. Pada Jum’at, 26 April 2013, Muhammad bin Zainal Abidin (33 tahun) biasa dipanggil Cekgu ditemukan tewas dengan luka tembak di Desa Geulumpang Blang Bereueh, Beureuneun. Awalnya Kepolisian Aceh menyatakan bahwa korban dibunuh karena terkait permasalahan Narkoba. Namun PNA meyakini bahwa pembunuhan tersebut terkait politik, karena korban merupakan Caleg dari PNA. Pada proses di pengadilan terbukti bahwa pembunuhan tersebut dilatarbelakangi persaingan politik. Munir, salah satu pelaku, mengatakan dirinya membunuh Cekgu atas perintah anggota DPRK Pidie, Tgk Ilyas dari Partai Aceh, karena Cekgu telah menghina petinggi Partai Aceh.

Rentetan peristiwa tersebut merupakan gambaran bagaimana Partai Aceh menjalankan roda politik dengan cara-cara preman. Dalam sejarah demokrasi, kekuasaan yang diperoleh dengan cara-cara kekerasan tersebut tidak pernah akan bertehan lama. Pemimpinnya akan tumbang dengan kehinaan karena dibenci rakyatnya. Pemilu 2014, rakyat Aceh menentukan masa depannya. Pertarungan antara Partai Lokal dipastikan akan sengit. Rakyat Aceh harus bijak dalam memilih, bahwa demokrasi tidak pernah menghendaki kekerasan dalam prosesnya. Partai Aceh bukanlah pilihan bijak, jika rakyat Aceh ingin maju, sejahtera dan damai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline