Lihat ke Halaman Asli

Don't Ask "Why Me...?"

Diperbarui: 25 Juni 2015   02:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(foto: marthin/koleksi pribadi) Why me? adalah sebuah kalimat tanya yang cenderung berkonotasi ke arah yang negatif. Ini adalah kalimat tanya untuk mengekspresikan rasa terkejut, rasa kecewa ataupun protes karena sesuatu yang tidak menyenangkan atau tidak mengenakkan kita. Misalnya saja ketika pak bos memanggil saya lalu mengatakan, "Thin..kamu tahun ini tidak bisa naik gaji karena nilaimu jelek..! Wah..pasti, kalimat yang kemudian meluncur dari mulut saya adalah, "lho..kenapa pak, kenapa saya? apa salah saya.. dan seterusnya. Tidak mungkin saya bilang, "Ooo.. terimakasih pak..bapak baik sekali," karena saya tentu saya merasa kecewa dengan pernyataan itu, apa lagi karena saya merasa sudah bekerja dengan baik, lha kok tiba tiba dinilai jelek. Sebaliknya, kalau pak bos tadi bilang, "thin, tahun ini gajimu saya naikkan 50 persen..kamu kerjanya bagus dan saya suka itu.." Hehehe..tidak mungkin saya bilang "lho..kenapa pak, kenapa saya? apa salah saya.. Kenapa? karena saya mendapatkan perlakuan yang menyenangkan, sehingga ya mengapa harus mempertanyakan atau memprotesnya. Nah dalam konteks kehidupan rohani kita sehari-hari, kalimat tanya "Why me?" --kalau mau jujur-- pasti sering kita gunakan. Sakit sedikit saja, lalu kita bilang "Ya Tuhan,,kenapa saya diberi sakit..tolong Tuhan!" atau kalau misalnya kita kehabisan duit padahal lagi butuh sesuatu, pasti kita merasa Tuhan sudah meninggalkan kita, lalu kita bertanya, "Kenapa saya Tuhan? saya sudah berbuat baik, tapi kenapa saya tidak diberkati..." Ya memang, sikap mengeluh, mempertanyakan sesuatu atau memprotes sesuatu yang menyenangkan hati kita adalah sikap yang manusiawi. Ayub, hamba Tuhan yang sangat setia itupun pernah mengeluh, mempertanyakan tentang musibah yang menimpa dirinya dengan cara mengutuki tanggal lahirnya, mempertanyakan kenapa ia harus dilahirkan dan seterusnya. Tetapi, apakah kita pantas mempertanyakan atau memprotes apa yang kita alami kepada Tuhan? layakkah kita marah? layakkah kita kecewa? apalagi kalau dibumbui dengan kalimat "Apa salah saya Tuhan..?? Beranikah kita membandingkan seberapa banyak hal-hal yang baik yang Tuhan sudah berikan kepada kita dengan hal-hal tidak menyenangkan yang Tuhan ijinkan terjadi pada diri kita? Saya kira, kita tidak akan berani membandingkan kedua hal itu untuk kemudian menggunakannya sebagai dasar bahwa kita patut memprotes Tuhan. Tuhan sudah memberikan berkah yang sangat melimpah, mulai dari nafas kehidupan setiap hari hingga segala harta benda dan kenikmatan lain, lalu mengapa tidak kita juga harus merasakan hal-hal yang tidak menyenangkan. Jika kita tidak pernah merasa sakit, tentu kita tidak akan pernah bersyukur jika diberi kesehatan. Jika kita tidak pernah merasa kelaparan, tentu kita tidak akan pernah bersyukur karena bisa menikmati segala macam makanan. Jika kita tidak pernah merasa gagal, maka kitapun tidak akan pernah bersyukur karena meraih keberhasilan. Mari kita belajar dari kesetiaan dan ketabahan Ayub dalam kisah kitab suci. Meski mengeluhkan kondisinya yang sudah jatuh miskin dan ditimpa penyakit mengerikan, Ayub tetap bisa berkata: "..apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?" Saya ingat naskah pidato terakhir mantan Menteri Kesehatan Endang Sedyaningsih sebelum beliau wafat karena direnggut penyakit kanker paru. "Diagnosa kanker paru stadium empat baru ditegakkan lima bulan yang lalu. Dan sampai kata sambutan ini saya tulis saya masih berjuang untuk mengatasinya. Tetapi saya tidak bertanya: Why me? Saya menganggap ini adalah salah satu anugerah dari Allah SWT. Sudah begitu banyak anugerah yang saya terima dalam hidup ini: hidup di negara yang indah, tidak dalam peperangan, diberi keluarga besar yang pandai-pandai, dengan sosial ekonomi lumayan, dianugerahi suami yang sangat sabar dan baik hati, dengan dua putra dan satu putri yang alhamdullilah sehat, cerdas dan berbakti kepada orang tua. Hidup saya penuh dengan kebahagiaan. So, Why not? Mengapa tidak, Tuhan menganugerahi saya kanker paru? Tuhan pasti mempunyai rencana-Nya, yang belum saya ketahui, tetapi saya merasa siap untuk menjalankannya. Insya Allah. Setidaknya saya menjalani sendiri penderitaan yang dialami pasien kanker, sehingga bisa memperjuangkan program pengendalian kanker dengan lebih baik. Bagi rekan-rekanku sesama penderita kanker dan para survivor, mari kita berbaik sangka kepada Allah. Kita terima semua anugerah-Nya dengan bersyukur. Sungguh, lamanya hidup tidaklah sepenting kualitas hidup itu sendiri. Mari lakukan sebaik-baiknya apa yang bisa kita lakukan hari ini. Kita lakukan dengan sepenuh hati. Dan, jangan lupa, nyatakan perasaan kita kepada orang-orang yang kita sayangi. (diambil dari liputan6.com) Mari kita renungkan..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline