Lihat ke Halaman Asli

Maria Theressa

Seorang praktisi pendidikan yang senang belajar, menulis, dan dikritisi. Karena segala pujian hanya milik Sang Pencipta semata. Akun twitter : @hommel_edu

Model Sekolah Sehat, Mungkinkah?

Diperbarui: 30 Mei 2016   09:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

bozekentung.bl.ee

Di penghujung bulan Mei yang disebut-sebut sebagai Bulan Pendidikan, ada satu masalah pendidikan yang sering luput dari perhatian masyarakat.  Bicara soal pendidikan anak dan remaja sebenarnya tidak lepas dari proses tumbuh-kembang mereka sebagai seorang individu. 

 Asupan nutrisi yang seimbang adalah perkara penting untuk menunjang performa akademik siswa di sekolah.  Sayang, sisi yang satu ini kurang mendapat mendapat perhatian.  Para praktisi pendidikan terlalu sibuk dan fokus meningkatkan performa akademik siswa di sekolah, dan mengabaikan sisi nutrisi yang dikonsumsi siswa sehari-hari.

Performa akademik siswa dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu, jumlah absensi siswa, perilaku positif siswa dan kemampuan siswa dalam berkonsentrasi selama proses belajar-mengajar (KBM).  Siswa yang memiliki kesehatan prima, otomatis akan lebih mudah mengikuti pelajaran (baik di rumah maupun di sekolah).  Bukan hanya itu, siswa yang sehat cenderung memiliki tingkat absen yang rendah di sekolah.

Berdasarkan penelitian Brown pada tahun 2008, siswa yang terbiasa sarapan pagi memiliki emosi yang lebih stabil dan mudah mengikuti sistem disiplin yang diterapkan di sekolah.  Menurut  Bellisle (2004) dan Sorhando dan Feinstein (2006), asupan nutrisi yang menggabungkan protein, karbohidrat dan glukosa dapat meningkatkan kinerja otak siswa dan kemampuannya berkonsentrasi dalam KBM.  Kekurangan nutrisi (seperti zat besi, vitamin B, lemak Omega-3 dan protein) pada anak-anak usia sekolah akan menyebabkan perkembangan sel otak (kognitif) menjadi terhambat.  Jika perkembangan kognitif siswa terhambat, otomatis siswa akan menemui kesulitan dalam mengikuti pelajaran di sekolah.

Sekolah-sekolah di Finlandia dan beberapa negara bagian Amerika Serikat telah mengambil langkah serius dalam penyamarataan asupan nutrisi bagi anak dan remaja usia sekolah di wilayahnya.  Mengutip jurnal yang diterbitkan oleh Finnish National Board of Education pada tahun 2014, pihak sekolah-sekolah di Finlandia bahkan menyediakan makan siang gratis bagi siswa-siswa dari level TK hingga SMA.  Menunya sendiri disusun sedemikian rupa untuk menunjang tujuan pembelajaran siswa di sekolah dan disesuaikan dengan tahap tumbuh-kembang siswa per jenjang kelas.  Dalam penyusunan menunya, pihak katering sekolah berkolaborasi bersama pihak orang tua siswa.  Di beberapa negara bagian Amerika Serikat, pemerintah daerah bahkan membentuk divisi khusus yang menetapkan standar nutrisi yang harus terkandung dalam menu makanan siswa di sekolah.

Kondisi di Indonesia tentu saja jauh berbeda dengan kondisi di Finlandia maupun di negeri Amerika sana.  Namun, minimnya perhatian sekolah-sekolah di Indonesia terhadap makanan dan jajanan yang dikonsumsi oleh siswa selama jam sekolah patut memperoleh perhatian khusus.  Alih-alih menjejali siswa dengan berbagai ilmu pengetahuan ke dalam otaknya, bahkan setelah jam sekolah bubar pun siswa masih harus diikutkan berbagai kursus tambahan, mengapa asupan nutrisi yang masuk ke dalam tubuhnya justru diabaikan?

Sudah menjadi pemandangan biasa, ada begitu banyak pedagang jajanan bertebaran di sekitar lingkungan sekolah.  Aneka jajanan yang ditawarkan tentu saja menggugah selera tentunya, namun minim gizi.  Sudah menjadi rahasia umum jika para pedagang tak terlalu memperhatikan kandungan gizi dalam meramu aneka jajanan yang dijual.  Yang penting lezat dan menarik mata dengan aneka warna-warni (yang belum tentu dibuat menggunakan pewarna makanan).  Di dalam kantin sekolah pun, penggunaan penyedap rasa (MSG) tak pernah ada takaran bakunya.  Yang penting sedap dan siswa-siswa suka!  Tak heran jika anak-anak dan remaja di Indonesia masih banyak yang mengalami kekurangan gizi.

tipsserbaserbi.blogspot.com

Adapun Kementrian Kesehatan mengemukakan dalam Profil Kesehatan yang diterbitkan pada tahun 2014, bahwa telah diberlakukan beberapa upaya peningkatan program kesehatan di beberapa sekolah.  Upaya-upaya tersebut antara lain penyuluhan tentang Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR), dan lain sebagainya.  Program-program ini sebenarnya sangat positif dan bermanfaat bagi siswa.  

Namun, pelaksanaan yang diskontinyu mengakibatkan program ini hanya BERHENTI pada tataran ilmu pengetahuan saja.  Tanpa program lanjutan yang bersifat kontinyu, maka konsep-konsep hidup sehat hanya berhenti menjadi 'jargon' dan diingat siswa dalam rentang waktu yang pendek saja.  Sama halnya dengan asupan nutrisi yang dikonsumsi siswa.  Adanya penyuluhan tentang makanan dan jajanan sehat yang kerap dilakukan oleh beberapa instansi pemerintah maupun non-pemerintah, hanya akan berhenti pada tataran 'sekedar tahu' jika minim program yang berkelanjutan dari pihak sekolah.

MODEL SEKOLAH SEHAT 

Confusius pernah mengatakan, "Apa yang saya dengar saya lupa, apa yang saya lihat saya ingat, apa yang saya kerjakan saya paham."  Demikian halnya siswa-siswa di sekolah.  Jika hanya disuruh duduk dan mendengar penyuluhan tentang bagaimana memilih makanan dan jajanan yang sehat, mereka hanya akan berhenti pada tahap 'sekedar tahu' saja.  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline