Lihat ke Halaman Asli

Maria Theressa

Seorang praktisi pendidikan yang senang belajar, menulis, dan dikritisi. Karena segala pujian hanya milik Sang Pencipta semata. Akun twitter : @hommel_edu

Cinta di Balik Sepotong Bambu

Diperbarui: 8 Januari 2016   16:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

 

Arti ke-5 dari kata 'NILAI" menurut KBBI yaitu, sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan.  Sedangkan, arti ke-6 dari kata yang sama, yaitu sesuatu yang menyempurnakan manusia sesuai dengan hakikatnya.  Wah berat nih!  Tenang, hari ini mood saya lagi ingin menulis hal-hal yang ringan saja kok.

Euforia Hari Ibu yang jatuh tepat hari ini, mengingatkan saya tentang kata NILAI ini. Saya harus menempuh jalan yang "berdarah-darah" kala ibu saya mengajarkan tentang nilai yang satu ini.  Ada masanya dalam salah satu fase hidup yang saya tempuh, (mau tak mau) saya harus berhadapan dengan sosok ibu yang tegas.  Seorang ibu yang memiliki sepotong bambu yang panjangnya kira-kira semeter dan memiliki diameter sekitar satu sentimeter, dan ... bertuliskan nama saya pada salah satu ujungnya.

Saya masih mengingat jelas hari-hari ketika saya tidak bisa tidur hingga larut malam.  Penyebabnya yah tak lain karena ada sehelai kertas tersembunyi rapi, tepat di bawah ranjang saya.  Kertas itu kertas "spesial".  Secarik kertas hasil ulangan Matematika yang dihiasi dengan angka 40 yang tertoreh dengan tinta merah.  Kenapa saya harus sembunyikan? Karena saya takut ibu marah.  Sebenarnya, ibu telah menanyakan hasil ulangan Matematika, apakah telah dibagikan atau belum.  Saya pun berbohong.  Saya bilang 'belum'.  Akibatnya, yah itu tadi, semalaman saya tak bisa tidur.

Singkat cerita, kebohongan saya terbongkar keesokkan harinya.  Tak pelak lagi, ibu memerintahkan untuk mengambil sebilah bambu yang bertuliskan nama saya.  Inilah yang saya maksud "berdarah-darah" tadi.  Akh, mungkin saya terlalu hiperbolis.  Ibu tak pernah memukul saya hingga berdarah-darah.  Seluruh tubuh saya 'hanya' biru-biru dan lecet saja kok.  Sakit?  Yah iya lah! Sakit bangeeeeett!  Manalagi, saat berangkat ke sekolah, ada pelajaran olahraga.  Saya harus memakai celana pendek.  Semakin jelas terlihat bekas "tanda-tangan" si bambu.  Beberapa guru ada yang bertanya, saya pun jujur mengakui bahwa ibu memukul saya karena telah berbohong.

Peristiwa 'kertas ulangan' ini bukan hanya sekali terjadi.  Saya harus menerima upah saat terpaksa "dielus' dengan si bambu setiap kali ibu mendapati ketidakjujuran saya.  Saya pernah sembunyi-sembunyi membaca komik, saat tiba-tiba ibu memergoki.  Spontan, saya berkelit.  Saya mengaku sedang membaca buku pelajaran.  Si Bambu pun dipanggil.  "Kenapa gak jujur saja sih?  Bilang saja secara jujur kalau kamu tadi sedang baca komik!" kata Ibu di sela-sela kemarahannya.

Hingga saat ini, saya selalu mengingat kata-kata "penutup" yang selalu ibu lontarkan setelah selesai beraksi dengan si bambu.  "Ibu benci dusta.  Tuhan juga benci dengan dusta.  Ibu tidak mau mempunyai seorang anak yang suka berdusta.  Ibu tidak ingin anak ibu dibenci Tuhan."  Lalu ibu melanjutkan, "Lebih baik kamu berkata jujur ..."

Nilai kejujuran, itulah sebuah nilai yang ingin beliau tanamkan untuk saya. 

Nilai kejujuran merupakan nilai penting yang berguna bagi kemanusiaan.  Nilai kejujuran merupakan sesuatu yang menyempurnakan manusia sesuai dengan hakikatnya.  Hakikat manusia itu apa sih?  Saya percaya, manusia diciptakan serupa dengan gambaran Sang Pencipta.  Manusia diciptakan untuk mewakili Sang Pencipta untuk mengelola ciptaan-ciptaanNYA yang lain.  Sebagai 'perwakilan' Sang Pencipta, manusia perlu menunjukkan 'karakter' Sang Pencipta, bukan?  Pernahkah Sang Pencipta berdusta? 

Menjadi seorang ibu yang super tegas hanyalah salah satu teknik ibu saya untuk mengajarkan saya tentang nilai kejujuran.  Ibu saya mengajarkan melalui sebilah bambu, bahwa ketidakjujuran menyebabkan 'rasa sakit'. Sebuah kesakitan yang tidak hanya saya sendiri yang mengalami,  melainkan orang-orang di sekeliling saya juga ikut merasakannya.  Tak pernah ada istilah  White Lies atau Black Lies yang ibu ajarkan kepada saya.  Dusta ya dusta.  Segala sesuatu pasti konsekuensinya, meskipun kita memilih untuk jujur.  Itulah sebabnya, ibu tak pernah memerintahkan 'mengusir tamu yang tak diinginkan' dengan kata-kata "Biilang saja ibu tidak ada ya!'.  Ibu memilih untuk menghadapi tamu tersebut dengan jujur dan apa adanya.  "Pilihlah kejujuran, karena Tuhan tidak pernah mengajarkan kita untuk berdusta."  Itulah nilai yang ibu saya ajarkan.  

Seiring berjalannya waktu, beliau juga mengajarkan kepada saya bagaimana untuk bisa tetap jujur tanpa harus menyakiti perasaan orang lain.  Kejujuran itu seni.  Sebuah seni yang menjadikan kita menjadi wakil Tuhan di tengah-tengah ciptaanNYA yang lain.  Masih adakah seseorang yang jujur mengelola hasil alam ciptaan Tuhan?  Alih-alih mengeksplotasi, justru malah mengelolanya secara bertanggung jawab supaya berguna bagi ciptaan-ciptaan Tuhan yang lain?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline