Lihat ke Halaman Asli

Marsya Naila Pratiwi

Mahasiswa UIN Jakarta

Mengapa Kasus Brigadir J Tidak Diadili di Pengadilan HAM?

Diperbarui: 17 Juni 2023   10:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Indonesia sangat melekat dengan adanya demokrasi. Berdasarkan KBBI, demokrasi adalah bentuk atau sistem pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya; pemerintahan rakyat. maka sederhananya demokrasi adalah suatu sistem yang melindungi kemuliaan, kebebasan, kesetaraan, toleransi, partisipasi, dan keadilan yang bertujuan mencapai suatu kesejahteraan.

Demokrasi dan HAM sangat berkaitan erat karena HAM yang terealisasikan dengan baik di dalam pemerintahan yang demokratis yang menghormati dan melindungi HAM setiap warga negaranya. Namun apakah HAM di indonesia sudah berjalan dengan baik? apakah indonesia termasuk negara yang demokrasi?

Maka dari itu penulis mengangkat kasus brigadir J sebagai tolak ukur demokrasi di indonesia dimana HAM sudah ditegakkan dengan sebagaimana mestinya atau bahkan sebaliknya.

Kasus brigadir J sebagai penembakan FS atasan korban dan sahabat korban brigadir RE, telah menjadi pertanyaan apakah kasus brigadir J merujuk pada UU nomor 29 tahun 1999 tentang hak asasi manusia dan UU nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM? atau bahkan tidak?

Keterangan Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Ahmad Taufan Damanik alasan kasus pembunuhan berencana Brigadir J alias Nofriansyah Yosua Hutabarat tidak masuk dalam kategori pelanggaran HAM berat. lantaran tidak sesuai spesifikasi kejahatan sebagaimana Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM).

Keterangan Taufan selaku Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), bahwa pelanggaran HAM berat tidak diukur dengan gambaran sadistis atau ukuran kejam tidaknya suatu tindak pidana. Karena spesifikasi itu bukan jadi tolak ukur kejahatan HAM berat. Pasalnya pelanggaran HAM berat itu bisa terjadi atas sebuah operasi serangan terhadap masyarakat sipil yang disebut sebagai penduduk sipil. Lalu, kedua sebagaimana Statuta Roma harus disebut sebagai kejahatan berganda atau berulang-ulang.

Menurut keterangan Taufan, Memeriksa orang dengan kekerasan memukul menyiksa bahkan ada pemerkosaan dan pembunuhan di berbagai tempat dalam satu periode tertentu itu yang disebut sebagai state crime, jadi bukan kejahatan yang sifatnya individual (seperti kasus kematian Brigadir J).

Lalu ada pandangan yang berbeda dari keterangan taufan selaku Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Menurut Usman Hamid menyebut kasus Brigadir J sebagai pelanggaran HAM berat karena merujuk pada Pasal 104 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Penjelasan Pasal 104 Ayat (1) disebutkan yang dimaksud dengan pelanggaran HAM berat adalah genosida, pembunuhan sewenang-wenang tanpa putusan pengadilan (extra judicial killing), penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, pembudakan, atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis.

Menurut Usman, dengan menggunakan dasar hukum tambahan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang pelanggaran HAM berat itu, maka Komnas HAM bisa melakukan penyelidikan lanjutan. Penyelidikan lanjutan tersebut, bisa bersifat pro justicia dan mengungkap akar masalah pembunuhan Brigadir J.

Dalam pengamatan penulis pada pelanggaran HAM berat yang dimaksud dalam pasal 7 UU nomor 26 tahun 2000 meliputi: a. kejahatan genosida dan b. kejahatan terhadap kemanusiaan. Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dikemukakan pada pasal 7 UU nomor 26 tahun 2000 huruf b  ialah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik, yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa: a. pembunuhan, b. pemusnahan, c. perbudakan, d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukuminternasional, f. penyiksaan, g. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara, h. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional, i. penghilangan orang secara paksa, atau j. kejahatan apartheid.

Sedangkan kejahatan genosida sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnik, kelompok agama, dengan cara: a. membunuh anggota kelompok, b. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok, c. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya, d. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok, atau e. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline