Lihat ke Halaman Asli

marsya Kayla sabina

Mahasiswi Jurnalistik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Pentingnya Meratakan Sasaran Retorika dalam Dakwah Islam

Diperbarui: 29 Juni 2024   18:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Oleh: Syamsul Yakin dan Marsya Kayla Sabina
Dosen Retorika dan Mahasiswa UIN Syarif  Hidayatullah Jakarta

Secara umum, sasaran retorika dakwah adalah manusia, baik yang beriman, yang tidak beriman, maupun yang munafik. Pada masa awal Islam, Nabi berdakwah berdasarkan titah Allah yang tercantum dalam al-Qur'an. Untuk menyusun peta sasaran dakwah retorika, dapat merujuk pada respons manusia terhadap al-Qur'an.

Ayat yang menunjukkan tespons manusia terhadao al-Qur'an terukir secara permanen dalam makna ayat, "Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah." (QS. Fathir/35: 32).

Berdasar ayat ini, kelompok pertama merespons turunnya al Quran dengan cara menganiaya diri sendiri (zalim linafsih).

Menurut Ibnu Katsir dalam tafsirnya, orang yang lalai terhadap sebagian dari perintah yang diwajibkan dan malah mengerjakan sebagian dari larangan yang diharamkan adalah mereka yang menyimpang dari ajaran Islam. Misalnya, ketika al-Qur'an memerintahkan menyembah Allah, mereka malah menyembah berhala. Ketika al-Qur'an mengharuskan membayar zakat, mereka justru mangkir dan mengemplangnya. Ketika al-Qur'an menyuruh berbuat yang makruf, mereka malah melakukan yang munkar.

Berdasarkan respons mereka terhadap turunnya al-Qur'an, dapat disimpulkan bahwa mereka termasuk kalangan kafir. Mereka adalah sasaran retorika dakwah yang pertama.

Kelompok kedua merespons secara setengah-setengah atau berada di pertengahan, yakni bimbang mengenai kebenaran al-Qur'an. Termasuk dalam kelompok ini, menurut pengarang kitab Tafsir Jalalain, adalah mereka yang mengamalkannya secara separuh-separuh.

Padahal Allah menandaskan, "Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang al Qur an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal al-Quran itu." (QS. al-Baqarah/2: 23).
Karakter lain dari kelompok kedua ini, menurut Ibnu Katsir, adalah orang yang menunaikan perintah yang diwajibkan kepada dirinya dan meninggalkan larangan yang diharamkan, namun di lain waktu dia tidak mengerjakan sebagian dari perbuatan yang disunahkan dan mengerjakan sebagian dari perbuatan yang dimakruhkan (dibenci).

Secara kontekstual, ini mencerminkan kondisi psikologis orang-orang munafik (hipokrit). Secara historis, sikap ini yang paling ditakutkan akan menimpa umat Nabi, terutama ketika ada sekelompok orang yang mengaku beriman dan ikut dalam Perang Badar, namun ketika musuh datang mereka pulang. Kaum munafik adalah sasaran retorika dakwah yang kedua.

Kelompok ketiga merespons dengan bersegera berbuat kebaikan (sabiq bil-khairat). Sikap kelompok ini linier dengan perintah Allah, "Maka berlomba-lombalah (dalam berbuat) kebaikan." (QS. al-Baqarah/2: 148). Frasa "berlomba-lomba (dalam berbuat) kebaikan", bagi pengarang kitab Tafsir Jalalain, artinya segera menaati dan menerimanya. Inilah sasaran retorika dakwah ketiga.

Itulah tiga sasaran retorika dakwah yang didasarkan pada respons mereka terhadap diturunkannya al-Qur'an. Yang disebut terakhir adalah yang terbaik. Mereka adalah sasaran retorika dakwah yang diharapkan mampu melanjutkan gerakan dakwah dari masa ke masa secara konsisten dan kontinu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline