Lihat ke Halaman Asli

marsya Kayla sabina

Mahasiswi Jurnalistik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Menguasai Seni Retorika untuk Dakwah yang Berkesan

Diperbarui: 16 Juni 2024   12:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Oleh: Syamsul Yakin dan Marsya Kayla Sabina
Dosen Retorika dan Mahasiswi UIN Syarif  Hidayatullah Jakarta

Hubungan antara retorika dan dakwah sangatlah erat. Jika retorika adalah seni berbicara, maka dakwah tentu berarti mengajak dengan berbicara. Dakwah yang disampaikan dengan bahasa yang indah akan membuat Mad'u terpesona. Inilah yang disebut bentuk dakwah Billisan.

Retorika menangkap komunikasi verbal, baik lisan maupun tulisan. Dalam dakwah dikenal bentuk dakwah billisan dan bilkitabah (tulisan). Ruang lingkup dakwah tidak hanya mengajak dengan berbicara tetapi juga mengajak dengan tulisan.

Selanjutnya, retorika menangkap komunikasi non-verbal, baik tatap muka maupun virtual dalam dakwah wah, bilhal bentuk da'oh. sudah diketahui. Dakwah bilhal bisa dilakukan secara online maupun offline. Dalam retorika kita mengenal bahasa tubuh dan gerak tubuh, yang mana dalam bahasa dakwah menyampaikan suatu contoh atau pola.

Jika retorika berkembang dari seni berbicara menjadi ilmu perkataan, maka dakwah juga berkembang dari kegiatan keagamaan menjadi kajian agama. Retorika bermula sebagai warisan budaya dan kemudian berkembang, dakwah pun berkembang menjadi ilmu dakwah yang sistematis, logis dan dapat diverifikasi.

Jika tujuan retorika adalah menyampaikan pesan dengan cara yang informatif , persuasif, dan menghibur. Dengan demikian pesan dakwah yang meliputi aqidah, syarjah, dan etika dapat tersampaikan secara informatif, persuasif, dan menghibur. Bahkan tujuan retorika dan dakwah sampai batas tertentu bersifat mendidik.

Dalam konteks tujuan retorika persuasif, Dakm
Wah memiliki dakwah Dharma, khususnya bilhikmah, khotbah dan diskusi harus dilakukan dengan lembut.

Jika pengembangan retorika memerlukan penggunaan bahasa baku, berdasarkan data dan penelitian, maka syarat yang sama juga berlaku pada dakwah, baik billisan, bilkitabah, maupun bilhal. Selanjutnya jika kita melihat mad'u secara lebih kritis dan rasional.

Dalam retorika, Aristoteles mengemukakan pathos, logos dan ethos, pengkhotbah harus memiliki ketiganya, baik intelektual maupun spiritual. Namun, dalam konteks penyakit, ekspresi kesedihan atau kegembiraan para pengkhotbah lebih dari sekadar retorika.

Dakwah harus menguasai perangkat retorika verbal dan nonverbal. Di sisi lain, retorika juga harus memuat muatan dakwah, meliputi keimanan, hukum syariah, dan etika. Dakwah tanpa kefasihan adalah timpang, kefasihan tanpa isi dakwah adalah buta.*




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline