Paket ekonomi ke-8 yang digulirkan PemerintahIndonesia 21Desember 2015 lalu salah satunya menitikberatkan pada percepatan pembangunankilang minyak. Pemerintah menggesa paket ekonomi membangun kilang minyak ini untuk memenuhi target ketahananenergi karena selama dua dekade terakhir tidak ada pembangunan kilang baru. Denganpaket itu diharapkan ada peningkatan produksi dari 852 ribu barelperhari (bph) di tahun 2015 menjadi kisaran 1,9juta bph di tahun 2025.
Data yang dirilis di Sort Term Energy Outlook 2014 olehEIA, sejak tahun 2004 Indonesia sudah net importir minyak, dan sampai tahun2014 gap produksi dan impor minyak semakin tinggi, dimana produksi minyak secarakeseluruhan hanya mampu di kisaran 920 bph dari kebutuhan 1,6 juta bph. Berbedadengan data dari kementrian ESDM, khusus produksi minyak bumi dua tahun terakhir adalahkisaran 650 ribu bph. Jika asumsi kenaikan konsumsi minyak 4 persen setiap tahunsejak tahun 2010, maka kebutuhanminyak tahun 2014 tembus 1,2 juta bph dan bisa dipastikan gap antara produksidan impor makin besar. Meskipun beberapa refinery sudah mulai beroperasi sepertiMuba (2010), Banten dan Balikpapan (2014), Balongan dan Dumai (2015) dan Tuban(2016), tetap masihakan menyisakan defisit minyak, sehingga perlu dipikirkanbagaimana cara lain untuk menutup defisit tersebut.
Sebagaitindak lanjut dari paket ekonomi ke-8, Presiden Joko Widodo langsung meneken PeraturanPresiden (Perpres) Nomor 146 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan Pembangunan danPengembangan Kilang Minyak di dalam negeri. Perpres tersebut memuat pedomanpembangunan dan pengembangan kilang minyak oleh pemerintah dan badan usahauntuk mewujudkan ketahanan energi nasional melalui peningkatan penyediaan BBMdan produk lainnya secara terintegrasi.
DalamPerpres ini pemerintah akan memberikan pembebasan pajak dan/atau bea masuk barang impor dan insentiflainnya untuk pembangunankilang minyak.Penugasan pemerintah untukpembangunan kilang minyak diberikan kepada PT. Pertamina (Persero) dengan APBN pembiayaan tahun jamak.
Terkait pembiayaan koorporasi bisamenyertakan PT. Pertamina dan badan usaha (BUMN, BUMD, swasta,koperasi). Juga, Pemerintah memberikan fasiltas pendanaan berupa penyertaanmodal negara, labaditahan, pinjaman PT. Pertamina dari dalam/luar negeri, pinjaman pemerintahdari dalam/luar negeri danpenerbitan obligasi.
PelaksanaanPerpres agaknya membelok bukan untuk membangun kilang besar. Yang santer berkembangbeberapa bulan terakhir ini adalah justru keinginan pemerintahuntuk membangun kilang-kilang mini atau mengoperasikan kilang-kilang mini yangsudah ada yang dimiliki oleh badan usaha yang telah menerima ijin daripemerintah. (PT. Pertamina, PT. Trans Pacific Petroleum Indotama (TPPI) diTuban dan PT. Tri Wahana Universal (TWU) di Bojonegoro.) Pembangunan kilang minyak mini dari sisi hulu dan hilir memang lebih efisien dibanding kilang besar, apalagi jika dibangun di dekat mulutsumur lapangan-lapangan marjinal. Perlu diketahui bahwa pembangunan kilang mini ini paling cepat memerlukanwaktu 2 tahun dengan beaya kisaran 100juta USD untuk kapasitas antara 6000 bph sampai 20 ribu bph sesuai lokasi.
Pemerintahsudah menyusun mappingpembangunan kilang-kilang minyak mini baru di 8 cluster; Cluster I akandibangun di daerah Sumatera Utara di dekat Blok Rantau dan Pangkalan Susu,Cluster II Selat Panjang Malaka di dekat Blok Emo Malacca Strait danPetroselat, Cluster III Riau dekat dengan Blok Tonga, Siak, Pendalian, Langgak,WestArea. Sementara Cluster IV Jambi di dekat Blok PalMerah, Mengoepeh Lemangdan Karang Agung, Cluster V Sumatera Selatan di sekitar Blok Merangin III danAriodamar, Cluster VI Kalimantan Selatan di sekitar Blok Tanjung, Cluster VIIKalimantan Utara dekat Blok Bunyu Sembakung, Mamburungun dan Pamusian Juwata,serta Cluster VIII Maluku di sekitar Blok Oseil dan Bula.
Untuk itu, Pemerintahdalam hal ini Kementerian ESDM perlu segera membuat aturan main pembangunankilang mini tersebut. Permen tersebut harus menjadi dasar legalitas pembangunankilang mini agar dalam pelaksanaannya tidak ada pelanggaran, hal ini karenaadanya penggunaan dana pemerintah sebagai realisasi kebijakan ekonomi ke-8. Permentersebut juga harus memuat aturan teknis skema lelang proyek, penentuan hargakeekonomian dan kepastian pasokan produknya. Hal lainnya yang perlu diatur jugaadalah terkait dengan insentif baik insentif untuk internal rate of return (IRR) maupun insentif kepada daerahketempatan kilang mini baik berupa sharing saham maupun pajak daerah.
Lalu, yang menjadi pertanyaan adalah apakah pembangunan kilang minyak mini bisa inimendongkrak ketahanan energi nasional, atau sekedar bagi-bagi proyek ? Apabila di tahun2019 terbangun 8 kilang mini berkapasitas 15 ribu bph, berarti total produksiminyak bertambah maksimal 120 ribu bph. Pembangunan 8 kilang mini mencapai 800 juta USD atau setara 11,12 trilyunrupiah. Meskipun kilang Balongan dan Tuban memberi andilpenambahan produksi minyak, namun diperkirakan defisitmasih 300 ribu bph, dan secaranasional masih defisit 180 ribu bph. Jadi, denganpembangunan kilang-kilang mini terebut, masih tidak mampu untuk memenuhiketahanan energi, sehingga pemerintah perlu mengambil dua pilihan, masih tetapimport minyak atau menambah jumlah kilang mini. (MarsudiBudi Utomo, Dep. Techno-Industri dan Energi DPP PKS, 20.04.2016)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H