Stunting adalah permasalahan gizi kronis yang berakibat pada pendeknya balita. Seorang balita dinyatakan stunting dihitung dari hasil pengukuran tinggi badan sesuai dengan umur yang kurang dari 2SD berdasarkan standar WHO. Tidak hanya berakibat pada tinggi badan, kemampuan kognitif dan imunitas pada anak yang kurang baik juga menjadi dampak dari stunting.
Pada tahun 2018, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menyatakan bahwa 1 dari 3 balita Indonesia mengalami stunting. Pada tahun 2019, menurut Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) angka stunting di Indonesia menurun sampai dengan 27,7%. Namun, hal ini masih jauh dari target Indonesia di tahun 2024 adalah menurunkan angka stunting sampai dengan 14%.
Sudah dua tahun berlalu, pandemi COVID-19 masih menghantui kita semua. Banyak hal yang harus dilakukan untuk menangani pandemi sehingga beberapa hal mulai tertinggal, salah satunya adalah permasalahan stunting.
Angka stunting di Indonesia diperkirakan akan naik kembali selama pandemi. Adapun hubungan kenaikan angka stunting selama pandemi menurut beberapa faktor risiko terjadinya stunting diantara lain yaitu tingkat pendapatan yang rendah.
Menurut framework WHO, tingkat pendapatan yang rendah merupakan salah satu penyebab tidak langsung terjadinya stunting. Tingkat pendapatan yang rendah dapat menyebabkan beberapa penyebab langsung terjadinya stunting seperti faktor kesehatan ibu sebelum hamil maupun saat hamil yang kurang baik, faktor lingkungan yang kurang mendukung, dan makanan yang tidak cukup untuk anak.
Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia (KEMENKO PMK) menyatakan bahwa angka pengangguran dan kemiskinan meningkat selama pandemi sehingga diperkirakan bahwa angka stunting akan ikut naik. Hal ini menjadi salah satu kunci untuk mencegah angka stunting di Indonesia.
Salah satu penyebab tidak langsung lainnya adalah tingkat edukasi yang rendah. Hal ini menjadi salah satu pemicu penyebab langsung stunting diantaranya kesalahan pemberian makanan pada anak, kesalahan pemberian ASI pada anak, sampai dengan kurangnya kesadaran kesehatan.
Dari beberapa faktor risiko terjadinya stunting yang sudah ada, terdapat faktor risiko makanan dan minuman yang tidak cukup untuk anak serta kurangnya kesadaran kesehatan. Dua faktor risiko tersebut merupakan salah satu faktor yang bisa diubah.
Adapun beberapa rekomendasi yang dapat dilakukan untuk mencegah faktor risiko stunting di masa pandemi, yaitu melakukan promosi kesehatan dan edukasi terkait dengan Kekurangan Energi Kronis (KEK), Asi eksklusif, MPASI, sampai dengan stunting pada ibu hamil dan remaja sehingga ibu hamil dan remaja dapat mencegah maupun menangani faktor risiko untuk mencegah kejadian stunting.
Hal ini dapat dilakukan secara online melalui seminar ataupun edukasi promotif melalui PUSKESMAS. Peran kader juga diperlukan untuk mendukung adanya pemantauan kekurangan gizi pada anak.
Tentunya, pencegahan faktor risiko stunting ini juga membutuhkan adanya peran tokoh masyarakat dan keluarga untuk mendukung ibu maupun remaja perempuan.