Apabila kita berbicara tentang Pelecehan Seksual yang merupakan tindakan tidak sah, melanggar hak asasi manusia, serta bertentangan dengan prinsip kesetaraan gender.
Pada konteks ini bukan hanya perempuan saja yang menjadi korban, meskipun mayoritas korban pelecehan seksual adalah perempuan, tidak memutus kemungkinan bahwa laki-laki tidak mengalami hal tersebut. Indonesia Judicial Research Society (IJRS) dan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) pada 2020 menunjukkan ada 33 persen laki-laki dan 67 persen perempuan yang mengalami kekerasan seksual.
Lantas siapa yang bertanggung jawab apabila hal tersebut terjadi?
Pertanggung jawaban terhadap tindakan pelecehan seksual sepenuhnya terletak pada pelaku, bukan pada korban atau cara berpakaian korban. Pakaian seharusnya tidak menjadi alasan atau pembenaran bagi pelecehan seksual.
Banyak masyarakat di luar sana masih beranggapan bahwa pakaian dapat mempengaruhi pelecehan seksual. Hal ini seringkali digunakan untuk menyalahkan korban dan mengalihkan tanggung jawab dari pelaku. Fokus seharusnya diletakkan pada pentingnya menghormati batas-batas personal dan memahami bahwa setiap orang berhak untuk merasa aman dan dihormati, terlepas dari pakaian yang mereka kenakan.
Koalisi Ruang Publik Aman pada 2019, pernah membuat survei mengenai model pakaian yang dikenakan perempuan saat mengalami pelecehan seksual. Hasilnya pakaian yang dikenakan korban, yakni rok panjang dan celana panjang sebanyak 17,47 persen. Kemudian, diikuti oleh korban yang memakai baju lengan panjang 15,82 persen, baju seragam sekolah 14,23 persen, baju longgar 13,80 persen, berhijab pendek atau sedang 13,20 persen, baju lengan pendek 7,72 persen, baju seragam kantor 4,61 persen, berhijab panjang 3,68 persen, dan rok atau celana selutut 3,02 persen.
Menyalahkan pakaian terhadap kasus pelecehan merupakan sudut pandang yang harus diluruskan. Mengapa dikatakan demikian? Survei telah membuktikan bahwa pelecehan terjadi bukan hanya kepada mereka yang berpakaian terbuka. Kita harus stop memperbincangkan tentang pelecehan seksual yang berangkat dari menakar ketelanjangan dan menghakimi korban.
Faktanya pelecehan seksual paling banyak terjadi di tempat umum dan siapapun bisa menjadi sasaran pelecehan, bahkan hal itu mungkin sering terjadi di depan kita. Sementara kita hanya bisa menyaksikan dengan sepasang mata terpaku membatu, tidak tau harus berbuat apa karena terlalu terkejut. Lalu apa yang bisa kita lakukan saat hal itu terjadi tepat dihadapan kita? Salah satu metode yang bisa kita lakukan adalah 5D, atau 5 cara melindungi seseorang yang mengalami pelecehan yang terdiri dari Ditegur, Dialihkan, Dilaporkan, Ditenangkan dan terakhir Direkam.
Pakaian bukanlah faktor utama seseorang melakukan pelecehan seksual, dapat disimpulkan niat buruk dan pemikiran pelakulah yang seharusnya ditindaklanjuti. Hal tersebut diperkuat dengan masih banyaknya perempuan atau laki-laki yang menjadi korban pelecehan seksual meskipun berpakaian sopan.
Oleh karena itu, kita sebagai seorang mahasiswa generasi muda yang akan memperjuangkan masa depan bangsa harus bersama-sama mencari solusi untuk mengatasi permasalahan ini. Serta berani melawan pelecehan seksual, sekaligus membantu dan merangkul para korban.
Tentunya kita juga harus mencegah diri sendiri agar nantinya tidak menjadi korban atau bahkan menjadi pelaku tindakan pelecehan seksual, mari saling menjaga karena kita semua berharga.