Sejarah Kota Padang bagi sebagian orang yang mengetahuinya pada umumnya menarik kesimpulan berdasarkan beberapa buku atau literatur, atau melalui beberapa arsip dan peta di Leiden Belanda dan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI, Jakarta). Sebagian orang lainnya pada umumnya berpedoman pada beberapa peninggalan bangunan tua yang masih tersisa di kawasan Sungai Batang Arau, Pasa Mudiak, Pasa Gadang, dan sekitarnya. Kesimpulan itu kemudian diperkuat oleh Rusli Amran, dalam bukunya Padang Riwayatmu Dulu (1986), yang menuliskan bahwa "Hampir sepanjang abad yang lalu, Padang adalah kota metropolitan terbesar di seluruh Pulau Sumatera" (hal. 11). Berarti, diawal-awal abad 18 atau awal tahun 1900-an, Padang telah menjadi kota yang diperhitungkan sepanjang pesisir barat pulau Sumatra.
Jika ditarik lebih jauh sebelum abad 18 ternyata kota ini sudah menjadi idola bagi bangsa asing untuk singgah ataupun menetap demi kepentingan yang dibawanya. Menurut sejarah lisan (tambo), Padang dulunya dihuni oleh perantau Minangkabau jauh sebelum orang Aceh datang (Freek Colombijn, 2006:55). Yang berarti jauh sebelum Aceh menaklukkan pantai barat pada abad ke-16 dan 17. Orang Aceh adalah pendatang asing pertama di Padang. Kepentingan yang dibawa oleh Aceh adalah perniagaan. Secara perlahan Aceh mulai menguasai perniagaan di Kota Padang dengan menggantikan posisi birokrat orang Minang. Para perantau pertama ke Kota Padang tadi menetap di pinggiran selatan Batang Arau yang sekarang dikenal dengan Seberang Padang. Sedangkan perantau yang berasal dari dataran tinggi seperti Agam dan Solok mendirikan desa-desa baru (nagari) seperti di Pauh, Koto Tangah, dan Bungus.
Kekuasaan Aceh di Kota Padang semakin dominan karena di abad yang sama Selat Malaka lebih prospektif dibandingkan Padang. Seperti Portugis yang tidak tertarik dengan pantai barat dan lebih berorientasi di Selat Malaka. Situasi ini dimanfaatkan oleh Belanda dan Inggeris dengan melirik pesisir barat Sumatera karena lada dan emasnya. Aceh harus bersaing pengaruh dagang dengan Portugis di Selat Malaka namun berusaha juga menunjukan dominasinya sehingga menimbulkan ketidaksenangan dari pedagang-pedagang minang.
Para pedagang minang akhirnya bersekutu dengan Belanda yang sudah mendirikan Perusahaan Hindia Timur atau VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) yang berdiri pada tahun 1602. Tawaran ini dipandang sebagai awal untuk mengusir pengaruh dagang Aceh di Padang. Tentunya para sekutu minang tidak mengetahui jika dalam rentang yang hampir sama, Aceh sendiri kewalahan menghadapi monopoli Portugis di Malaka sehingga mulai meminta bantuan bangsa lain, salah satunya Belanda yang pernah menyerang Portugis di Malaka. Dimata Raja Aceh tindakan Belanda ini pantas diminta bantuan. Belanda melihat peluang ini kemudian menyodorkan persetujuan kontrak agar setuju memberikan peluang berniaga disepanjang pesisir barat Sumatera, termasuk Padang. Kontrak itu diajukan dan ditandatangani tanggal 17 Januari 1607 yang terdiri dari 11 pasal. Satu diantaranya berisikan perjanjian dan persetujuan bagi belanda untuk mendirikan benteng untuk tinggal para pegawainya, pedagang pelaut dan tukang-tukang lainnya. Kepada Belanda diberikan kebebasan berdagang tanpa cukai apa pun dan bangsa lainnya tidak boleh berdagang kecuali izin dari Belanda. Pada pasal lain, Kerajaan Aceh dan Belanda akan sama-sama memerangi musuh bersama yaitu Portugis.
Loji dan Pengaruhnya
Tidak salah rasanya jika sekarang ini banyak orang beranggapan bahwa tidak pernah berdirinya sebuah loji di Kota Padang ini. Pertama, bekas bangunan loji itu tidak ada sampai sekarang. Kedua, sedikit sekali tulisan sejarah yang mengupas lengkap tentang loji. Ketiga, arsip-arsip dinegeri Belanda maupun di Indonesia (ANRI misalnya) juga sedikit yang menyinggung masalah loji ini. Sehingga dapat dimaklumi, karena keterbatasan sumber dan ratusan tahun kemudian telah berdiri bangunan pengganti, sehingga generasi sekarang kurang mengetahui keberadaan loji ini.
Beberapa tulisan dalam buku hasil penelitian literatur yang menyampaikan berdirinya loji dapat dilihat dalam buku Padang Kota Tercinta (AA Navis, 1973), Paco-Paco Kota Padang (Freek Colombijn, 2006), Sumatra Barat Hinggaa Plakat Panjang (Rusli Amran, 1981), 326 Tahun Padang Kota Tercinta (Pemda Tingkat II Kotamadya Padang, 1995) dan Pemerintahan Sumatera Barat Dari VOC Hingga Reformasi (Gusti Asnan, 2006).
Loji dapat diartikan sebagai sebuah benteng besar yang mampu menampung semua aktivitas seperti tempat berdirinya tempat tinggal, kantor, gudang, dan kubu pertahanan. Mendirikan sebuah loji memang merupakan obsesi Belanda sendiri. Sehingga Loji bagi Belanda adalah lambang supremasi kekuasaan sekaligus perwujudan monopolinya dibidang perdagangan, politik dan pertahanan keamanan. Pendirian loji di Kota Padang dimulai sejak mulai terciumnya indikasi Kerajaan Aceh mulai kewalahan menghadapi sepak terjang dagang Portugis di Malaka. Pendirian loji ini telah dirintis sejak tahun 1606 dan baru menemukan bentuk idealnya pada perempat abad ke-17. Atau pada tahun 1666 dimana Belanda menjadikan Padang sebagai markas besarnya dipantai barat Sumatra dan membangun benteng (Freek Colombijn, 2006:38).
Loji di Kota Padang berada pada areal yang cukup luas. Loji itu berbentuk empat persegi. Setiap sisi mempunyai panjang hampir 100 m. Pada setiap sisi dibangun tembok tebal dengan tinggi sekitar 6 m. Pada setiap sudut yaitu karena empat persegi maka keempat sudutnya dibangun sebuah menara pengawas dengan ketinggian 8 m. Untuk keamanan disekeliling loji yaitu 5 m dari samping kiri, kanan dan belakang dibuat parit yang dalam dengan lebar 5 m. Loji dimaksud berada di kaki bagian utara Gunung Padang.
Dibagian dalam loji, sebelah kiri ketika melalui pintu gerbang terdapat pos penjagaan (wachthuis) yang selalu dijaga oleh dua orang pengawal bersenjata lengkap. Disebelah kanan pos tadi terdapat rumah komandan pasukan. Dibagian tengah, sebalah kiri dibelakang pos penjagaan terdapat rumah pejabat tertinggi VOC (opperhoofd). Disamping rumah pejabat VOC ini juga terdapat rumah wakil ketua VOC. Disisi kiri bagian belakang dan sisi kanan bagian depan berjejer gudang (pakkhuizen) tempat menyimpan berbagai barang yang akan diekspor atau barang-barang yang akan dijual kepada penduduk setempat. Dan, sisi belakang dan sisi kanan bagian belakang terdapat ruang perkantoran.